Legalisasi Ganja untuk Pengobatan, Mungkinkah di Indonesia?
Tiga ibu asal Sleman, Yogyakarta, memohon kepada Mahkamah Konstitusi agar penggunaan ganja untuk kesehatan dapat dilegalisasi. Ketiganya membutuhkan minyak ganja untuk pengobatan bagi anak-anak mereka.
Oleh
Susana Rita
·5 menit baca
Dwi Pertiwi, warga Sleman, Yogyakarta, kini tengah berjuang untuk pengobatan anaknya, Musa, yang menderita celebral palsy. Ia tak sendiri. Bersama dengan Santi Warastuti dan Nafiah Murhayanti, sama-sama berasal dari Sleman, mereka mengupayakan hal yang sama. Mereka memohon kepada Mahkamah Konstitusi agar penggunaan narkotika golongan I, ganja, diperbolehkan untuk pengobatan buah hati mereka.
Dwi harus terus-menerus membeli obat-obatan antikejang untuk Musa yang kini sepenuhnya bergantung kepada orang lain selama 24 jam penuh. Otot-otot Musa sangat kaku sehingga sulit dilakukan terapi. Ia juga kesulitan mengeluarkan dahak dan kejang hampir seminggu sekali. Pada 2016, Dwi mengantarkan Musa ke Negara Bagian Victoria, Australia, untuk mendapat pengobatan dengan minyak ganja.
Setelah pengobatan dengan ganja melalui sistem pengasapan atau bakar dupa dan menggunakan minyak ganja selama satu bulan penuh, kondisi Musa menunjukkan perbaikan yang signifikan. Musa menjadi lebih rileks, lebih tenang, kondisi otot dan tulangnya pun menjadi lebih lembut, serta gejala kejang berhenti total. Akan tetapi, pengobatan itu tidak bisa dilanjutkan karena di Indonesia masih ada larangan pemakaian ganja, termasuk untuk pengobatan.
Pengalaman Santi Warastuti tak jauh berbeda. Awalnya, ia memperoleh informasi tentang penggunaan minyak ganja untuk penyembuhan penyakit anaknya, japanese encephalistis, yaitu infeksi otak yang disebabkan virus. Bahkan, salah satu rekannya akan membawakan minyak cannabidiol atau CBD oil yang berasal dari ganja itu ke Indonesia, tetapi hal itu tidak dapat dilakukan karena adanya larangan ganja.
Nasib serupa dialami Nafiah, yang memiliki putri yang menderita epilepsi dan spastic diplegia (gangguan pada otak). Ia pun ingin menerapkan pengobatan dengan CBD oil untuk anaknya, tetapi mustahil dilakukan karena penggunaan ganja dilarang di dalam negeri.
Bersama dengan Perkumpulan Cemara Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan LBH Masyarakat, ketiga ibu tersebut menguji konstitusionalitas Pasal 6 Ayat (1) Huruf a dan Pasal 8 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang melarang penggunaan narkotika golongan I untuk pelayanan kesehatan. Mereka meminta Mahkamah Konstitusi untuk menafsirkan ulang pasal tersebut karena sangat merugikan para pemohon, terutama ketika anak-anak mereka membutuhkan perawatan dengan obat-obatan yang mengandung ganja.
MK diminta untuk menyatakan larangan penggunaan narkotika golongan I dapat dikecualikan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan pelayanan kesehatan.
Hari Selasa (12/10/2021), MK menggelar sidang pengujian UU Narkotika untuk keenam kalinya. Dalam sidang kali ini, para pemohon berusaha meyakinkan sembilan hakim konstitusi mengenai perkembangan pemanfaatan ganja yang terjadi di dunia. Dua ahli dari Korea Selatan dan Thailand dihadirkan secara daring. Pastur Sung Seok Kang dari Korea Medical Cannabis Organization (KMCO) serta Kepala Pusat Pengobatan Tradisional dan Herbal Thailand dokter Pakakrong Kwankhao memberikan keterangan dengan dibantu penerjemah.
MK diminta untuk menyatakan larangan penggunaan narkotika golongan I dapat dikecualikan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan pelayanan kesehatan.
Menurut Pastur Sung Seok Kang, warga Korea Selatan awalnya juga menghadapi ancaman pidana saat menggunakan ganja meski untuk pengobatan. Namun, upaya untuk mengubah kondisi tersebut mulai dilakukan pada 2017. Tujuan utamanya adalah untuk melindungi pasien dan keluarga dari tuntutan hukum ketika membutuhkan pengobatan ”dengan ganja”. Perjuangan itu berhasil ketika pada 2018 Korea mengatur penggunaan obat-obatan psikotropika di dunia medis.
Pemerintah Korea mengeluarkan pedoman penggunaan psikotropika untuk pengobatan agar tidak terjadi penyimpangan. Salah satunya, dengan membatasi lembaga yang dapat mengeluarkan resep penggunaan obat-obatan psikotropika, termasuk ganja. Tidak sembarang organisasi dapat meresepkan penggunaan obat-obatan tersebut. Pemanfaatannya juga hanya untuk penyakit-penyakit parah.
”Kami melihat bahwa sebetulnya bukan di Korea Selatan saja, negara lain pun perlu untuk melihat kembali penggunaan obat-obatan terlarang seperti mariyuana, ganja, dan yang lain agar bisa digunakan untuk kepentingan medis,” ujar Sung Seok Kang.
Sementara itu, pengalaman Thailand tidak jauh berbeda dengan Korea Selatan. Legalisasi penggunaan ganja untuk kepentingan medis, menurut dokter Pakakrong Kwankhao, dilakukan setelah meningkatnya penelitian dan pengalaman penggunaan ganja terutama untuk kasus perawatan standar, seperti kanker, pada 2019. Selain itu, ada gerakan untuk mendekriminalisasi dan melegalisasi kanabis secara global.
”Ada permintan tinggi kanabis di antara warga Thailand. Sebelum kami melegalisasi, orang-orang di Thailand harus ke pasar gelap untuk bisa mendapatkan produk kanabis. Kita tahu bahwa produk-produk di pasar gelap tidak memiliki kualifikasi dan itu tentunya tidak baik bagi populasi kami. Dan, kanabis sebetulnya juga adalah bagian dari pengetahuan tradisional kami,” ujar Pakakrong.
Menurut Pakakrong, Thailand tidak menggunakan obat-obatan yang mengandung ganja atau kanabis medis sebagai pengobatan lini pertama. Kanabis medis menjadi penggobatan lini kedua jika pengobatan lini pertama tidak berhasil. Penggunaannya pun harus dilakukan setelah berkonsultasi dengan tenaga medis.
Produk kanabis medis, tambahnya, kini telah dimasukkan ke dalam daftar obat-obatan esensial nasional. Apabila seorang pasien memenuhi syarat atau memiliki indikasi medis tertentu, mereka akan mendapatkan obat-obatan dengan ekstrak kanabis dari rumah sakit atau fasilitas layanan kesehatan. Penggunaannya harus sesuai dengan pedoman yang dikeluarkan oleh Departemen Layanan Kesehatan atau Medis Thailand dan Departemen Obat-obatan Tradisional dan Alternatif Thailand untuk resep obat-obatan tradisional.
Saat ini, setiap rumah sakit di bawah Kementerian Kesehatan Publik Thailand telah membuka layanan kanabis medis untuk pasien. Ini dibarengi dengan adanya keharusan dokter untuk melaporkan efektivitas penggunaan kanabis medis ini kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan Thailand. Pengobatan tersebut biasanya diberikan untuk pasien dalam perawatan paliatif, epilepsi, parkinson, atau gangguan saraf. Untuk pasien kanker, kanabis medis ini signifikan untuk mengurangi rasa nyeri, meningkatkan nafsu makan, dan kualitas tidur.
Pada 2018, Amerika Serikat juga telah menyetujui penggunaan cannabidiol, kandungan dalam ganja, untuk pengobatan kejang, terutama untuk dua bentuk epilepsi: sindrom Lennox-Gastaut dan sindrom Dravet.
Selain kedua negara tersebut, pada 2018, Amerika Serikat juga telah menyetujui penggunaan cannabidiol, kandungan dalam ganja, untuk pengobatan kejang, terutama untuk dua bentuk epilepsi: sindrom Lennox-Gastaut dan sindrom Dravet.
Bagaimana dengan di Indonesia? Kebijakan tersebut kini berada di tangan MK. Mengutip keterangan dari Pastur Sung Seok Kang, yang diperlukan hanyalah perhatian terhadap penderitaan pasien dan keluarganya. Itulah inti dari penggunaan kanabis untuk kepentingan medis.