Ganja untuk Kesehatan, Diperlukan Regulasi Bukan Legalisasi
Pemerintah didorong untuk mengatur pemanfaatan ganja untuk kepentingan medis melalui revisi UU Narkotika, menyusul dikeluarkannya ganja dari golongan IV Konvensi Tunggal Narkotika 1961 oleh Komisi PBB untuk Narkotika.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dikeluarkannya ganja dari golongan IV Konvensi Tunggal Narkotika 1961 oleh Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Narkotika dapat menjadi dasar pemerintah Indonesia mengatur pemanfaatan ganja untuk medis. Hal itu diharapkan dapat diakomodasi melalui revisi Undang-Undang tentang Narkotika.
Pada 2 Desember 2020, Komisi PBB untuk Narkotika menyelenggarakan pemungutan suara terhadap beberapa rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terkait perubahan sistem penggolongan narkotika khususnya untuk ganja dan turunannya. Salah satu rekomendasi yang disetujui ialah dihapuskannya cannabis dan cannabis resin atau ganja dan getahnya dari golongan IV Konvensi Tunggal Narkotika 1961.
Direktur Eksekutif Institute of Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu yang juga anggota Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan, Kamis (3/12/2020), mengatakan, dengan dikeluarkannya ganja dan getahnya dari golongan IV, ganja tidak lagi disamakan dengan heroin atau opioid yang memiliki ancaman risiko tertinggi hingga menyebabkan kematian. Hal itu dijelaskan di dalam uraian rekomendasi dari WHO.
Salah satu rekomendasi yang disetujui ialah dihapuskannya cannabis dan cannabis resin atau ganja dan getahnya dari golongan IV Konvensi Tunggal Narkotika 1961.
”Rekomendasi itu menjadi dasar anggota konvensi narkotika Internasional. Kekuatan mengikatnya sama seperti konvensi internasional lainnya. Karena selama ini Indonesia selalu bilang mengikuti keputusan konvensi internasional, maka sebaiknya segera diatur ulang penggolongan ganja dan pemanfaatannya,” kata Erasmus.
Sebelumnya, ganja dan turunannya ditempatkan pada golongan I dan golongan IV. Berdasarkan ketentuan Konvensi Tunggal Narkotika 1961, narkotika dalam golongan IV hanya memiliki manfaat medis terbatas dengan tingkat ketergantungan dan potensi penyalahgunaannya sangat tinggi. Karena itu, narkotika dalam golongan IV termasuk dalam subyek kontrol yang paling ketat dibandingkan dengan narkotika golongan I sampai golongan III.
Dengan dikeluarkannya ganja dan getahnya dari golongan IV, lanjut Erasmus, manfaat kesehatan dari tanaman ganja semakin diakui. Hal itu dibuktikan dari hasil penelitian dan praktik pengobatan ganja medis di sejumlah negara, seperti dalam bentuk terapi dan pengobatan gejala epilepsi.
Oleh karena itu, Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan berharap agar Pemerintah Indonesia juga terbuka dengan potensi pemanfaatan ganja medis di dalam negeri. Keputusan Komisi PBB untuk Narkotika tersebut dapat dijadikan sebagai legitimasi medis dan konsensus politis serta menjadi momentum bagi pemerintah untuk merombak kebijakan narkotika yang berbasis bukti.
”Sebagai langkah konkret, pemerintah perlu menindaklanjutinya dengan menerbitkan regulasi yang memungkinkan ganja digunakan untuk kepentingan medis,” ujar Erasmus.
Menurut Erasmus, jalan terbaik untuk memasukkan keputusan Komisi PBB untuk Narkotika ke dalam sistem hukum di Indonesia adalah melalui revisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Demikian pula saat ini Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan tengah mendampingi tiga ibu dari anak-anak yang mengalami cerebral palsyuntuk mengajukan permohonan uji materi terhadap UU Narkotika ke Mahkamah Konstitusi.
Uji materi itu mengenai UU Narkotika yang melarang penggunaan narkotika golongan I untuk kepentingan kesehatan. Permohonan telah diajukan 19 November lalu dan saat ini, menurut Erasmus, tahap pemeriksaan awal masih tertunda karena pandemi Covid-19.
Komisi PBB untuk Narkotika dikenal sebagai komisi yang konservatif dalam konteks penggunaan narkotika, baik untuk kesehatan maupun untuk pribadi. Karena itu, keputusan komisi itu untuk mengeluarkan ganja dan getahnya dari golongan IV Konvensi Tunggal Narkotika 1961 cukup mengejutkan.
Secara terpisah, pengajar hukum pidana Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Miko Ginting mengatakan, Komisi PBB untuk Narkotika dikenal sebagai komisi yang konservatif dalam konteks penggunaan narkotika, baik untuk kesehatan maupun pribadi. Karena itu, keputusan komisi itu untuk mengeluarkan ganja dan getahnya dari golongan IV Konvensi Tunggal Narkotika 1961 cukup mengejutkan.
”Tentu keputusan itu diambil bukan karena sekadar kepentingan politis, tetapi didukung berbagai riset dan penelitian. Ini bukan sekadar tren, di dunia ilmu pengetahuan terbukti bahwa paling tidak ganja untuk kepentingan medis itu bisa dilakukan,” kata Miko.
Menurut Miko, keputusan itu dapat diadopsi dalam sistem hukum di Indonesia melalui revisi UU Narkotika. Namun, hal itu dilakukan dalam kerangka meregulasi atau mengatur untuk kepentingan medis, bukan melegalisasi. Sementara dalam dunia medis, penggunaannya pun luas, tidak hanya fisik, tetapi juga untuk mental.
Sebenarnya, lanjut Miko, sebelum dikobarkan perang terhadap narkotika (war on drugs) yang dikampanyekan Amerika Serikat pada 1970-an oleh Presiden Richard Nixon, Indonesia dan pemerintah kolonial Hindia Belanda pernah meregulasi perdagangan opium. Setelah itu, narkotika dilarang dan diperangi, termasuk dengan pendekatan politik moralitas sebagaimana terjadi selama ini.
Maka, yang perlu dilakukan adalah meregulasi, bukan melegalisasi. Justru yang perlu didorong adalah pengelolaan dan pengaturan, termasuk ketersediaannya oleh pemerintah, sama seperti obat. (Miko Ginting)
Salah satu akibat dari pendekatan politik moralitas pada narkotika adalah penolakan terhadap Keputusan Menteri Pertanian (Kepmentan) Nomor 104 Tahun 2020 tentang Komoditas Binaan Kementerian Pertanian yang kemudian dicabut. Dimasukkannya tanaman ganja sebagai komoditas tanaman obat, menurut Miko, tentu didasarkan pada kajian ilmiah.
Dengan contoh seperti itu, pendekatan ilmu pengetahuan kalah oleh pendekatan hukum atau pidana. ”Maka yang perlu dilakukan adalah meregulasi, bukan melegalisasi. Justru yang perlu didorong adalah pengelolaan dan pengaturan, termasuk ketersediaannya oleh pemerintah, sama seperti obat,” ujar Miko.
Sementara itu, ketika dikonfirmasi, Kepala Biro Humas dan Protokol Badan Narkotika Nasional (BNN) Sulistyo Pudjo Hartono mengatakan, Indonesia juga mengikuti pertemuan yang dilakukan secara virtual oleh Komisi PBB untuk Narkotika. Hingga tulisan ini dibuat, pertemuan masih berlangsung. Dari beberapa agenda Komisi tersebut, salah satunya adalah pengambilan suara untuk penggolongan sistem ganja.
”Untuk voting tingkat negara, sekitar 60 persen anggota menyatakan wait and see. Sementara kita (Indonesia) berada dalam kelompok yang menolak yang jumlahnya kalah dari negara yang setuju,” kata Sulistyo.
Menurut Sulisyto, hasil pemungutan suara tersebut akan dilaporkan kepada pemerintah, yakni presiden daninstitusi pemerintah terkait lainnya. Sebab, hasil voting itu menyangkut berbagai peraturan dan kesepakatan internasional.
Di dalam negeri, isu mengenai ganja juga menyangkut banyak aspek. Oleh karena itu, setiap langkah harus dipertimbangkan para pemangku kepentingan dengan hati-hati dan cermat agar jangan sampai keputusan yang diambil malah menimbulkan masalah baru di masa mendatang.