Moratorium Hukuman Mati, Langkah Menuju Penghapusan?
Sejak 2017, pemerintah menerapkan moratorium terhadap terpidana mati. Sejauh ini eksekusi mati terakhir dilaksanakan pada 2016. Namun, catatan Kontras, setidaknya 35 vonis hukuman mati tetap dijalankan setahun terakhir.

Mural yang memparodikan eksekusi hukuman mati terlukis di tembok bangunan di Penjaringan, Jakarta, Minggu (27/10/2019). Pemberlakuan hukuman mati masih menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.
Selama empat tahun terakhir atau sejak 2017, pemerintah Indonesia melakukan moratorium eksekusi terpidana mati. Eksekusi hukuman mati terakhir dilaksanakan pada 2016 silam. Namun, selama pasal hukuman mati masih ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP, vonis hukuman mati tetap dapat dijatuhkan.
Buktinya, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat, selama setahun terakhir, setidaknya 35 vonis hukuman mati telah dijatuhkan hakim bagi 68 laki-laki dan 4 perempuan. Dari jumlah itu, sebanyak 60 orang merupakan terdakwa kasus narkotika.
Sementara, mengacu data Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, per 7 Oktober 2021, terdapat 400 terpidana mati. Sebanyak 298 terpidana di antaranya merupakan pelaku tindak pidana narkotika. (Kompas, 11/10/2021)
Di Indonesia, hukuman mati berlaku dalam sistem hukum pidana dan hukum pidana militer. Saat ini, terdapat kurang lebih 50 pasal yang mengatur tentang pelanggaran yang dapat dihukum mati. Jenis-jenis pelanggaran yang dapat dihukum mati antara lain adalah makar, pembunuhan berencana, kejahatan penerbangan, perdagangan narkotika, korupsi, terorisme, pelecehan seksual anak-anak, dan kejahatan internasional.

Eksekusi Terpidana Mati - Mobil ambulans yang membawa jenazah terpidana mati Freddy Budiman meninggalkan Dermaga Wijayapura, Cilacap, Jawa Tengah, setelah menyeberang menggunakan kapal dari Pulau Nusakambangan, Jumat (29/7) dini hari. Pria asal Surabaya tersebut merupakan salah satu dari empat terpidana mati yang menjalani eksekusi hukuman mati di Pulau Nusakambangan pada hari itu.Kompas/Ferganata Indra Riatmoko (DRA)29-07-2016
Baca Juga: Dilema Hukuman Mati di Indonesia
Pasca-kemerdekaan 1945, hukuman mati hanya diterapkan pada empat tindak kejahatan, yaitu subversi, terorisme, pembunuhan berencana, dan kejahatan narkotika.
"Saat ini, terdapat kurang lebih 50 pasal yang mengatur tentang pelanggaran yang dapat dihukum mati. Jenis-jenis pelanggaran yang dapat dihukum mati antara lain adalah makar, pembunuhan berencana, kejahatan penerbangan, perdagangan narkotika, korupsi, terorisme, pelecehan seksual anak-anak, dan kejahatan internasional"
Secara global, sebagaimana dalam laporan Carole Berrih dan Kontras berjudul "Tidak Manusiawi: Kondisi Lembaga Pemasyarakatan bagi Terpidana Mati di Indonesia " (2019), sekitar tiga perempat negara-negara di dunia sudah menghapuskan hukuman mati baik dalam hukum sebanyak 114 negara atau dalam praktik sebanyak 33 negara.
Di dalam laporan tersebut, Direktur Eksekutif Together Against the Death Penalty (ECPM), Raphael Chenuil-Hazan mencatat, negara yang terbanyak menghukum mati dan mengeksekusi adalah China, Vietnam dan Pakistan. Negara tetangga Indonesia, yakni Malaysia, pada Oktober 2018 mulai menyusun undang-undang untuk menghapuskan hukuman mati serta memilih mendukung Resolusi untuk moratorium praktik hukuman mati di Majelis Umum PBB pada bulan Desember 2018.
Dalam forum internasional, posisi Indonesia juga telah mengambil langkah berbeda. Sejak 2012, Indonesia telah mengubah suara tentang Resolusi Moratorium Majelis Umum PBB dari suara menentang resolusi menjadi abstain. Sebelumnya, Indonesia selalu dalam posisi menentang.

Tuntutan Mati Rosmalinda-Terdakwa Rosmalinda Sinaga tertunduk saat menghadiri sidang tuntutan atas kasus penyelundupan narkotika jenis heroin dan sabu seberat 7,74 kilogram di Pengadilan Negeri Semarang, Kota Semarang, Jawa Tengah, Senin (11/2). Rosmalinda yang ditangkap di Bandara Ahmad Yani saat menjadi kurir narkoba lintas negara ini dituntut hukuman mati.Kompas/P Raditya Mahendra Yasa (WEN)11-02-2013
Moratorium yang bersifat menunda
Dalam laporan Kontras berjudul "Konsistensi Negara dalam Melanggengkan Hukuman Mati" (2021), moratorium hukuman mati merupakan rekomendasi yang diberikan melalui Universal Periodic Review (UPR) oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB. Moratorium tersebut sebenarnya hanya bersifat menunda atau menangguhkan.
Dalam siklus UPR tahun 2017, Indonesia hanya mencatat 11 rekomendasi mengenai penghapusan hukuman mati, termasuk kejahatan narkotika, penetapan moratorium pemberlakuan hukuman mati, dan ratifikasi protokol tersebut. Hal itu menunjukkan bahwa Indonesia belum melakukan penyesuaian dengan nilai-nilai penghapusan hukuman mati yang ada di Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik.
"Indonesia hanya mencatat 11 rekomendasi mengenai penghapusan hukuman mati, termasuk kejahatan narkotika, penetapan moratorium pemberlakuan hukuman mati, dan ratifikasi protokol tersebut. Hal itu menunjukkan bahwa Indonesia belum melakukan penyesuaian dengan nilai-nilai penghapusan hukuman mati yang ada di Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik"
Sementara, dalam sesi ke-27 Universal Periodic Review (UPR) PBB pada 2017, Indonesia menolak semua rekomendasi komunitas internasional untuk menghapuskan hukuman mati. Saat itu, Indonesia menyatakan, “hukuman mati masih merupakan hukum positif yang berlaku di Indonesia” dan bahwa “revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memberikan perlindungan yang lebih kuat dalam proses hukum pada kasus hukuman mati.
Sebagaimana diketahui, di dalam RKUHP, pasal hukuman mati diletakkan bukan merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana alternatif. Pidana mati dijatuhkan sebagai upaya akhir ketika hukuman lain tak dapat dijatuhkan. Selain itu, vonis mati sangat mungkin diubah menjadi hukuman seumur hidup apabila dalam masa percobaan selama 10 tahun, terpidana menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji.

Ketua Panitia Seleksi (Pansel) Anggota Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Usman Hamid.
Jalan tengah
Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid, ketika dihubungi, Senin (11/10/2021), mengatakan, moratorium dan menjadikan hukuman mati sebagai pidana alternatif menjadi jalan tengah yang paling memungkinkan. Usman pun mengapresiasi upaya mengurangi penggunaan pelaksanaan hukuman mati dalam RKUHP tersebut.
Namun demikian, menurut Usman, pasal-pasal yang menetapkan hukuman mati sebagai pidana alternatif masih memberikan banyak diskresi kepada hakim. Semisal, pada pasal 100 disebutkan, "Hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun."
"Kalau bergantung dengan keputusan hakim, maka tidak bisa dipastikan akan terjadi pengurangan penggunaan hukuman mati. Di sinilah memang moratorium memang perlu dilihat sebagai jalan tengah," kata Usman.
"Kalau bergantung dengan keputusan hakim, maka tidak bisa dipastikan akan terjadi pengurangan penggunaan hukuman mati. Di sinilah memang moratorium memang perlu dilihat sebagai jalan tengah"
Menurut laporan hukuman mati tahunan yang diterbitkan Amnesty International, sebanyak 108 negara telah sepenuhnya menghapus hukuman mati dari undang-undang mereka. Sementara total sebanyak 144 negara telah menghapuskan hukuman mati dalam praktek hukum mereka. Amnesty International juga mencatat penurunan vonis hukuman mati sebesar 36 persen dari 2019 ke 2020. Demikian pula jumlah eksekusi mati menurun sebanyak 26 persen pada periode tersebut.
Berdasarkan tren tersebut, menurut Usman, Indonesia seharusnya melihat bahwa hukuman mati adalah hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan derajat dan martabat manusia. Untuk itu, Amnesty International Indonesia dengan tegas menentang hukuman mati untuk segala kasus tanpa terkecuali, terlepas dari siapa yang dituduh melakukan kejahatan, sifat kejahatan, bersalah atau tidak bersalah, ataupun metode eksekusi yang digunakan. Sebab, hukuman mati merupakan pelanggaran hak untuk hidup sebagaimana dinyatakan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
"Dan lagi pula, menurut hasil riset berbagai lembaga, termasuk Amnesty International, hukuman mati tidak menimbulkan efek jera. Contohnya bisa kita lihat dalam tindak pidana yang terkait narkoba," kata Usman.

Taufik Basari, Ketua DPP Partai Nasdem
"Posisi jalan tengah tidak bisa dihindari. Keinginan kita agar menghargai hak hidup dapat dimulai dengan menjadikan hukuman mati sebagai hukuman alternatif yang tidak perlu dilakukan eksekusi jika sudah menjalani hukuman selama 10 tahun"
Secara terpisah, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem Taufik Basari, berpandangan, secara ideal, hukuman mati seharusnya dihapuskan. Sebab, hukuman mati tidak lagi sejalan dengan perkembangan konsep pemidanaan modern yg menempatkan pemidanaan dgn pendekatan korektif, rehabilitatif dan restorarif. Sementara hukuman mati masih mengarah kepada keadilan retributif.
Baca Juga: Vonis Mati Tak Ciptakan Efek Jera, Aturan Hukuman Mati Perlu Dihapus
Namun, di sisi lain, lanjut Taufik, secara sosiologis terdapat berbagai pandangan yang berbeda-beda di tengah masyarakat dalam menyikapi hukuman mati. Dengan kondisi tersebut, diperlukan waktu dan langkah yang sistematis untuk membagun paradigma publik terkait pemidanaan agar dapat memahami konsep pemidanaan modern sebagai pemidanaan yang restoratif.
"Oleh karena itu posisi jalan tengah tidak bisa dihindari. Keinginan kita agar menghargai hak hidup dapat dimulai dengan menjadikan hukuman mati sebagai hukuman alternatif yang tidak perlu dilakukan eksekusi jika sudah menjalani hukuman selama 10 tahun," tutur Taufik.
Dengan menjadikan hukuman mati sebagai pidana alternatif, diharapkan hukuman mati tidak perlu dilaksanakan meski masih diakui. Dengan arah politik hukum tersebut, Taufik berharap agar hal itu menjadi tahap awal menuju kesadaran masyarakat untuk menghormati hak asasi manusia termasuk hak hidup.
Sejalan dengan itu, masyarakat pun diharapkan dapat membangun paradigma non-punitive atau non-talionis yang tidak lagi menempatkan pemidanaan sebagai balas dendam, melainkan perbaikan dan pemulihan. "Jangan mata dibalas mata karena dunia dapat menjadi buta," kata Taufik.
Jadi, mungkinkah moratorium jalan menuju penghapusan hukuman mati?