Pemerintah Ubah Ambang Batas Kelulusan Seleksi PPPK Guru
Keberatan para guru honorer peserta seleksi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja atau PPPK akhirnya diterima. Pemerintah memutuskan untuk menurunkan ”passing grade” nilai ujian seleksi guru.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah bakal mengubah ambang batas (passing grade) nilai ujian pada seleksi guru dengan status pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja atau PPPK tahap pertama. Ini dilakukan guna mengakomodasi aspirasi guru.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan dan RB) Tjahjo Kumolo saat dihubungi di Jakarta, Rabu (6/10/2021), mengatakan, berdasarkan informasi yang ia peroleh, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Kepegawaian Negara telah mengadakan rapat dengan pihak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada Selasa (5/10/2021). Rapat tersebut membahas rencana perubahan ambang batas nilai kelulusan untuk seleksi PPPK guru.
”(Untuk hasil rapat), WA (Whatsapp) Kepala BKN saja yang rapat dengan Kemendikbud,” ujar Tjahjo.
Sebelumnya, muncul desakan terutama dari Komisi X DPR agar pemerintah memberikan afirmasi dalam seleksi PPPK guru. Desakan itu didasari sebagian besar calon PPPK guru yang mengikuti seleksi tahap pertama ternyata tidak mampu mencapai ambang batas nilai yang disyaratkan dalam ujian kompetensi teknis.
Plt Kepala BKN Bima Haria Wibisana menyampaikan, rapat kemarin menyepakati perubahan dengan afirmasi dalam seleksi PPPK guru. Yang dimaksud perubahan dengan afirmasi ini adalah penyesuaian ambang batas nilai. Keputusan ini akan disampaikan kepada publik pada Jumat (8/10/2021).
”Melalui kepmenpan (keputusan menpan dan RB) selaku ketua pansel (panitia seleksi) nasional, dilakukan penyesuaian passing grade untuk mengakomodasi aspirasi guru,” kata Bima.
Saat ditanya bagaimana upaya pemerintah menjaga kualitas guru dengan adanya perubahan ambang batas nilai tersebut, Bima enggan menjawabnya. ”Kalau masalah kualitas pendidikan, bisa ditanyakan ke Kemendikbud,” ucapnya.
Kebijakan afirmasi
Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda mengapresiasi sikap pemerintah, dalam hal ini pansel nasional, yang akan mengakomodasi dinamika di lapangan terkait seleksi PPPK guru tahap pertama. Menurut dia, keputusan tersebut tepat mengingat ambang batas nilai dalam seleksi terlalu tinggi.
Melalui kepmenpan (keputusan menpan dan RB) selaku ketua pansel (panitia seleksi) nasional, dilakukan penyesuaian passing grade untuk mengakomodasi aspirasi guru.
Apalagi, lanjut Huda, sebenarnya semangat awal dari konsep seleksi PPPK guru adalah kebijakan afirmasi. Kebijakan afirmasi yang pernah diusulkan Komisi X DPR tersebut meliputi berbasis usia; berbasis lama pengabdian; berbasis daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal (3T); serta guru penyandang disabilitas.
Namun, sayangnya, dalam seleksi tahap pertama, peraturan malah diperketat dan saringan begitu kuat. Alhasil, banyak guru honorer yang tidak lolos. ”Ini yang menurut saya belum tecermin dalam aturan yang diterapkan di seleksi tahap pertama,” katanya.
Mengacu pada data Kemendikbudristek, dari 586.943 guru honorer yang mengikuti seleksi pertama, yang lolos hanya 94.000 orang. Huda menilai, jumlah tersebut sangat kecil dari yang diharapkan. Jika saringan begitu kuat, mimpi untuk memiliki 1 juta guru tidak akan pernah tercapai.
”Padahal, kebutuhan pemerintah untuk melakukan rekrutmen guru ini sudah dalam posisi darurat karena kita hari ini membutuhkan 1,3 juta guru. Belum kita menghitung guru yang akan pensiun tahun ini yang jumlahnya diperkirakan hampir 85.000 guru. Ini akan terjadi kekosongan guru,” ujarnya.
Huda menilai, pemerintah sebaiknya memperlonggar kebijakan penyaringan terlebih dahulu. Pelonggaran ini bisa melalui penurunan ambang batas nilai ujian atau mengakomodasi empat kebijakan afirmasi yang pernah diusulkan Komisi X DPR. Selanjutnya, jika mereka sudah masuk sebagai PPPK guru, Kemendikbud barulah memikirkan soal peningkatan kompetensi dan mutu gurunya.
”Nah, menurut saya, kebijakan melakukan penyaringan yang terlalu ketat itu tidak adil karena pemerintah belum ngapa-ngapain, kok, sudah ngomongin mutu dan kualitas. Prinsipnya, afirmasi dulu mereka untuk lolos, baru nanti ngomongin soal kompetensi, mutu, kualitas guru. Dan, itu menjadi tanggung jawab Kemendikbud sebagai user. Nah, itu yang sebenarnya saya bayangkan,” tutur Huda.