KY Akan Mempertahankan Kewenangan Menyeleksi Hakim ”Ad Hoc” di MA
Meski saat ini ada pengujian konstitusionalitas Undang Undang Komisi Yudisial di Mahkamah Konstitusi, KY akan berusaha untuk mempertahankan kewenangannya untuk melakukan seleksi calon hakim ”ad hoc” di MA.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Yudisial berharap Mahkamah Konstitusi menolak uji konstitusionalitas Undang Undang Komisi Yudisial, khususnya terkait dengan kewenangan KY menyeleksi calon hakim ad hoc di Mahkamah Agung. KY juga tidak akan menunggu putusan tersebut untuk menggelar seleksi calon hakim ad hoc tipikor di MA akhir tahun ini.
Hal itu disampaikan Juru Bicara KY Miko Ginting, Senin (27/9/2021). Lebih lanjut, ia mengatakan, KY akan berusaha mempertahankan kewenangannya untuk melakukan seleksi calon hakim ad hoc di MA. KY juga tidak akan menunggu putusan MK untuk menggelar seleksi tahun ini.
”Sumber daya telah disiapkan untuk menggelar seleksi calon hakim ad hoc tipikor akhir tahun ini,” ucapnya.
KY juga tidak akan menunggu putusan MK untuk menggelar seleksi tahun ini.
Kewenangan KY untuk menyeleksi calon hakim ad hoc yang diatur di dalam Pasal 13 Huruf a Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial tengah diuji materi di Mahkamah Konstitusi. Seorang dosen yang pernah mengikuti seleksi calon hakim ad hoc tipikor pada 2016 dan gagal, Burhanudin, mempersoalkan kewenangan tersebut karena dinilainya bertentangan dengan Pasal 24 B ayat (1).
Menurut Burhanudian, konstitusi hanya memberikan kewenangan limitatif kepada KY untuk mengusulkan calon hakim agung ke DPR. Kewenangan KY untuk mengusulkan pengangkatan hakim ad hoc di MA sebagaimana diatur di Pasal 13 huruf a UU KY dianggap bertentangan dengan Pasal 24 B UUD 1945 dan harus dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat (Kompas.id, 5 September 2021).
Dalam persidangan dengan agenda mendengarkan keterangan ahli dari KY, Selasa (21/9/2021), Guru Besar Hukum Tata Negara di Universitas Islam Indonesia Ni’matul Hudha mengatakan, KY dibentuk untuk mendorong prinsip check and balances kekuasaan. Dengan prinsip ini, kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi, bahkan dikontrol dengan sebaik-baiknya sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggara negara atau pribadi yang menduduki jabatan dapat dicegah.
Kewenangan terkait dengan seleksi hakim tidak hanya didasarkan pada Pasal 24 B Ayat (1) UUD 1945. Namun, juga pada Pasal 25 UUD 1945 yang menyatakan syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dalam UU. Kehadiran KY dalam sistem seleksi hakim ad hoc tipikor di MA ditentukan legalitasnya melalui UU No 18/2011 tentang Komisi Yudisial, bukan kreasi kebijakan yang dibuat oleh KY.
”Ketentuan itu secara atributif memberikan kewenangan kepada pembentuk UU, yaitu DPR dan pemerintah, untuk mengatur seluk-beluk terkait dengan perekrutan dan pemberhentian hakim. Apa yang diserahkan secara terbuka oleh UUD untuk diatur oleh undang-undang berdasarkan pilihan politik lembaga legislatif tidak bisa dibatalkan oleh MK, kecuali jelas-jelas melanggar UUD 1945,” ujar Ni’matul.
Ni’matul juga berpandangan bahwa dalam permohonan itu, hak konstitusional pemohon tidak dirugikan dengan adanya norma ini karena pemohon dapat mendaftar dan mengikuti seleksi calon hakim ad hoc tipikor di MA yang diselenggarakan di KY. Pemohon bahkan menyatakan tidak mempersoalkan sistem seleksi calon hakim ad hoc. Artinya, pemohon menerima sistem seleksi hakim ad hoc tipikor di MA yang dilakukan oleh KY.
”Lantas, untuk apa pemohon mempersoalkan kewenangan konstitusional KY dalam melakukan seleksi hakim ad hoc tipikor di MA?” kata Ni’matul.
Ahli tata negara dari Universitas Bina Nusantara, Shidarta, yang hadir dalam sidang yang sama mengatakan, dalil pemohon yang menyatakan kewenangan KY untuk menyeleksi hakim ad hoc tipikor sebagai inkonstitusional adalah dalil yang tidak tepat. Ini karena KY memiliki kewenangan konstitusional untuk menyeleksi hakim ad hoc. Di sisi lain, hak konstitusional pemohon tidak ada yang dirugikan atau dicederai.
”Dasar kewenangan KY untuk melakukan perekrutan hakim ad hocdi MA tercantum dalam Pasal 24 B Ayat (1) UUD 1945. Itu adalah norma kewenangan yang di dalamnya terkandung perintah kepada KY untuk melakukan dua obyek norma, yaitu mengusulkan pengangkatan hakim agung dan melakukan wewenang lain yang dimiliki,” ucap Shidarta.
Kewenangan KY untuk menyeleksi hakim ad hoc tipikor sebagai inkonstitusional adalah dalil yang tidak tepat. Ini karena KY memiliki kewenangan konstitusional untuk menyeleksi hakim ad hoc.
Kewenangan KY untuk merekrut hakim ad hoc di MA bertolak dari obyek norma yang kewenangan lain KY untuk menjaga, menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Kewenangan lain itu tercantum dalam Pasal 13 huruf a UU No 18/2011 tentang Perubahan atas UU No 22/2004 tentang Komisi Yudisial. Pemohon dinilai keliru memaknai dasar kewenangan itu yang mengacu pada perluasan dari obyek norma mengusulkan pengangkatan hakim agung dan frasa hakim agung telah diperluas menjadi hakim ad hoc di MA.
”Ahli menolak argumentasi pemohon yang mengatakan bahwa harus ada pembeda terhadap seleksi hakim ad hoc di MA karena jika hanya untuk memilih hakim ad hoc tidak perlu prosesnya terlalu panjang. Posisi hakim ad hoc sama dengan hakim agung di MA sehingga harus dijaga kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakimnya. Pencari keadilan tidak mempersoalkan apakah yang ditunjuk untuk mengadili kasus itu hakim ad hoc atau bukan, sepanjang mereka kompeten,” ucap Shidarta.
Sebelumnya, Ketua KY Mukti Fajar Nur Dewata mengatakan, rapat pleno komisioner KY sudah memutuskan siap menyelenggarakan seleksi calon hakim ad hoc tipikor untuk MA pada akhir tahun ini. Proses seleksi akan dilakukan setelah DPR menyelesaikan uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon hakim agung yang diseleksi KY pada semester I-2021 lalu. Pekan lalu, DPR memilih 7 dari 11 calon hakim agung yang lolos seleksi di KY.