Menyoal Seleksi Calon Hakim Agung
Sederet persoalan tampak saat proses seleksi calon hakim agung. Perbaikan penting mengingat hakim agung adalah hakim tertinggi dan putusannya merupakan putusan final yang dinanti para pencari keadilan.
Proses seleksi calon hakim agung oleh Komisi Yudisial sejak Februari hingga Agustus lalu, dan kemudian berlanjut oleh Komisi III DPR yang telah berakhir, Selasa (21/9/2021), menyisakan sejumlah pertanyaan. Yang terutama saat calon hakim agung yang dinilai istimewa justru gugur. Sebaliknya, yang dilaporkan bermasalah lolos seleksi. Adagium hakim sebagai ”wakil Tuhan” di bumi bisa jadi tercederai jika sederet persoalan dalam proses seleksi tak diperbaiki.
Tujuh calon hakim agung yang telah disetujui oleh DPR untuk menjadi hakim agung berdiri dan melambaikan tangan kepada anggota DPR yang hadir dalam Rapat Paripurna DPR, Selasa (21/9/2021). Walau mengenakan masker, ekspresi kebahagiaan tetap tampak dari setiap ncalon. Tepuk tangan dari para wakil rakyat pun menyambut lambaian tangan para calon.
Menurut Juru Bicara Koalisi Pemantau Peradilan Erwin Natosmal Oemar, dikenalkannya para calon hakim agung terpilih di paripurna merupakan tradisi baru. Sebelumnya, nama calon yang disetujui DPR hanya diumumkan di rapat Komisi III DPR yang melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap para calon. Begitu pula di paripurna hanya diumumkan nama-namanya.
Tradisi baru itu pun membuatnya bertanya-tanya. Ia bahkan khawatir situasi tersebut bisa membuat para calon seolah berutang budi kepada parlemen. Dengan kata lain, ketika mereka sudah menjabat dan menangani perkara yang melibatkan anggota DPR atau suatu perkara mendapat atensi dari DPR, hakim menjadi tersandera, tak bisa lagi independen dalam memutuskan.
Baca juga : Kehadiran Calon Hakim Agung di Paripurna Jadi Tanda Tanya
Mengenai hal ini, Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar mengatakan, kehadiran dan pengenalan ketujuh calon terpilih di paripurna sudah diatur di Tata Tertib DPR. ”Anggota DPR memang harus tahu dan dikenalkan siapa saja calon yang telah ditetapkannya itu,” katanya.
Namun, kegundahan dari proses seleksi tak hanya itu. Rapat Pleno Komisi III DPR dengan agenda pemilihan calon hakim yang digelar tertutup pada Rabu (22/9/2021) jadi persoalan lain. Padahal, sebelumnya DPR menjanjikan transparansi selama proses uji kelayakan dan kepatutan calon hakim agung di DPR. Tak tanggung-tanggung, Ketua DPR Puan Maharani yang menjanjikan hal tersebut seusai pimpinan Komisi Yudisial (KY) menyerahkan sebelas nama calon hakim yang lolos seleksi oleh KY.
Persoalan rekam jejak
Selain itu, pertanyaan terutama muncul ketika tiga calon yang diduga bermasalah rekam jejak dan integritasnya, yakni Prim Haryadi (saat ini menjabat Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung), Haswandi (Panitera Muda Perdata Khusus MA), dan Yohanes Priyana (Ketua Pengadilan Tinggi Kupang), justru diloloskan. Ketiganya lolos serangkaian seleksi oleh KY. Begitu pula pembuatan makalah dan wawancara sebagai bagian uji kelayakan dan kepatutan oleh Komisi III DPR.
Catatan Koalisi Pemantau Peradilan, Yohanes diduga plagiarisme ketika sesi pembuatan makalah di Komisi III DPR, Jumat (17/9/2021). Saat tes wawancara, anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI-P Ichsan Soelistio menilai, makalah yang dibuat Yohanes diduga kuat termasuk plagiarisme karena tidak menyertakan catatan kaki di beberapa kutipan yang diperlukan. Selain itu, koalisi mencatat, saat dia bertugas sebagai Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, PN Jakpus menolak disiarkannya persidangan kasus megakorupsi e-KTP secara langsung.
Untuk Prim, menurut koalisi, dalam tes wawancara oleh KY, 4 Agustus lalu, komisioner KY menerima laporan bahwa dia mencontek saat pelaksanaan asesmen profil calon hakim agung tahun 2019. Ia juga diduga ikut bermain dalam kegiatan ”Golf Sehat Bersama” yang diketuai mantan Ketua MA. Kegiatan dimaksud turut mengundang Himpunan Bank Negara (Himbara).
Sejumlah dugaan pelanggaran ini dinilai koalisi bertentangan dengan Kode Etik dan Perilaku Hakim serta memunculkan potensi konflik kepentingan yang kuat. Prim juga dianggap tidak mendukung agenda reformasi peradilan karena sebagai Dirjen Badan Peradilan Umum MA, ia pernah mengeluarkan surat edaran yang isinya dinilai menutup masyarakat ke layanan pengadilan. Surat edaran itu lantas dicabut di kemudian hari.
Adapun untuk Haswandi, catatan koalisi, ia pernah memutus tidak sahnya proses penyidikan Hadi Poernomo, mantan Dirjen Pajak Kementerian Keuangan terkait keberatan wajib pajak PT BCA. Pertimbangannya janggal karena penyelidik KPK tak berasal dari Polri. Padahal, saat menangani kasus korupsi elite Partai Demokrat, Andi Mallarangeng dan Anas Urbaningrum, penyelidik KPK non-Polri tak dipersoalkan. Haswandi juga pernah dilaporkan ke MA dan KY karena menerima peninjauan kembali (PK) di atas PK yang diajukan oleh PT Geo Dipa Energi. Akibatnya, menimbulkan ketidakpastian hukum.
Selain soal dugaan plagiarisme Yohanes yang ditanyakan Ichsan, sejumlah anggota Komisi III DPR sempat mengklarifikasi sejumlah persoalan calon hakim itu saat sesi wawancara. Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar, Supriansa, misalnya, mempertanyakan kebijakan Yohanes yang menolak persidangan disiarkan secara langsung. ”Ini sangat bertentangan dengan keterbukaan informasi ke masyarakat. Kenapa mesti ada ketakutan dari pejabat hakim untuk diliput media?” tanyanya.
Yohanes pun berkilah, kalau mengacu aturan perundang-undangan, sidang yang terbuka untuk umum artinya masyarakat hadir langsung ke persidangan, bukan sidang disiarkan langsung. Dengan hadir langsung, publik bisa melihat sendiri sekaligus mencegah manipulasi terjadi selama persidangan.
Adapun sidang yang disiarkan secara langsung justru dinilainya membahayakan. ”Nanti live (siaran langsung), (imbasnya) ada perjudian, orang bertaruh. Bisa, menurut saya, suami istri berkelahi karena sesuatu yang di-live-kan. Live seakan-akan membawa perkara sampai ke dapur orang,” ujarnya.
Anggota Komisi III DPR lainnya, Habiburokhman, dari Fraksi Gerindra, mengonfirmasi kepada Prim terkait laporan negatif terhadap dirinya.
Prim berdalih, posisinya sebagai Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung membuat banyak orang tidak senang. Ini terutama para hakim yang diputuskan dimutasi meski sudah menempati posisi strategis.
Padahal, keputusan mutasi itu selalu berbasis pada, misalnya, laporan hasil pemeriksaan dari Badan Pengawasan MA ataupun aparat penegak hukum, semata-mata karena pelanggaran yang dilakukan oleh hakim tersebut. Keputusan mutasi pun tidak hanya keputusannya, tetapi juga sudah memperoleh persetujuan pimpinan dan diputuskan dalam rapat pimpinan MA.
”Kalau ada hal-hal atau pihak yang tidak setuju dengan kami, wajar. Kami sudah jalankan sesuai dengan batas-batas kewenangan yang diberikan kepada kami,” ujar Prim.
Adapun terhadap Haswandi, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Habib Aboe Bakar Alhabsy, yang mengonfirmasi soal perbedaan putusan antara perkara Hadi Poernomo dengan Andi Mallarangeng dan Anas Urbaningrum.
Haswandi berdalih, penanganan perkara pidana tak terlepas dari dasar dakwaan yang diajukan jaksa dan eksepsi terdakwa.
Baca juga : Calon Hakim Agung yang Istimewa Tak Disetujui, yang Diduga Bermasalah Justru Lolos
Sekalipun jawaban setiap calon saat mengklarifikasi tak memakan waktu sampai 5 menit, Komisi III DPR tampak puas dengan jawaban keduanya. Pernyataan anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Hinca Panjaitan, misalnya, memperlihatkan hal itu.
”Yang bersangkutan (Prim) adalah orang yang bertugas untuk memindah-mindahkan hakim untuk badan peradilan di bawah MA sehingga wajar jika ada banyak rumor. Itu semua sudah dijawab (saat uji kelayakan dan kepatutan), dan jawabannya memuaskan,” kata Hinca.
Selain yang diduga bermasalah justru disetujui, pertanyaan lain mencuat ketika calon hakim yang disebut oleh Wakil Ketua Komisi III DPR Adies Kadier sebagai hakim yang mendapatkan nilai ”istimewa” dari KY, yaitu Aviantara, justru gugur dalam proses seleksi di Komisi III.
Pada,hal rekam jejaknya terkenal ”garang”. Inspektur Wilayah I Bawas MA ini pernah menangani kasus korupsi Bank Century dengan terdakwa bekas Deputi Gubernur Bank Indonesia Budi Mulia dan kasus pengadaan Al Quran yang melibatkan bekas anggota Komisi VIII DPR, Zulkarnaen Djabar.
Perbaiki transparansi
Menurut Juru Bicara Koalisi Pemantau Peradilan Erwin Natosmal Oemar, pertanyaan-pertanyaan itu tak akan muncul jika seleksi calon hakim agung betul-betul didasarkan keinginan untuk melahirkan hakim agung yang berintegritas dan independen. Indikasi lemahnya keinginan tersebut kentara saat calon yang dinilai istimewa justru digugurkan, sebaliknya yang diduga bermasalah justru diloloskan.
”Tidak ada parameter yang jelas dalam seleksi,” ujarnya.
Kondisi itu diperburuk dengan tidak transparannya sejumlah tahapan strategis dalam seleksi. KY, misalnya, sempat merahasiakan sebelas calon hakim agung yang lolos seleksi di KY. Nama kesebelas calon baru diungkapkan kepada publik saat nama-nama itu diserahkan ke DPR. Begitu pula saat pemilihan calon hakim di Komisi III DPR, rapat pleno pemilihan justru digelar tertutup. Alhasil tak jelas alasan setiap fraksi di DPR memilih sembilan dari sebelas calon hakim yang diajukan KY.
”Ke depan, KY harus lebih transparan, memublikasikan kinerjanya pascaproses seleksi sehingga publik dapat memantau dan memberikan masukan,” kata Erwin.
Ketua KY periode 2005-2010 Busyro Muqoddas bahkan berulang kali mendengar proses seleksi di DPR yang transaksional. Maka, tak jarang, calon-calon hakim agung yang bagus rekam jejaknya dan bagus pula integritasnya justru digugurkan oleh DPR. Untuk mencegah hal tersebut terulang, sama seperti Erwin, ia mendorong agar KY lebih terbuka mengenai calon yang lolos seleksi KY. Biarkan publik tahu profilnya, rekam jejak, hingga integritasnya secara detail supaya publik memberi masukan sekaligus dapat mengawal calon-calon hakim yang baik dari berbagai sisi agar diloloskan oleh DPR.
Atas kritik dan masukan untuk KY, juru bicara KY, Miko Ginting mengatakan, baik untuk seleksi yang sudah lalu maupun ke depan, KY akan berupaya menjalankan seleksi secara terbuka, akuntabel, dan akomodatif terhadap semua masukan. Dalam proses seleksi yang baru berlalu, menurut dia, KY pun telah berupaya memverifikasi semua laporan masyarakat terkait dengan calon. Selain itu, sebagian sesi wawancara bisa dilihat publik sebagai wujud transparansi.
Adapun Ketua Komisi III DPR Herman Herry merasa proses seleksi calon hakim agung yang berlangsung di DPR sudah transparan dan sesuai aturan yang ada. ”Kalau ada pihak yang berprasangka, ya, monggo saja, namanya juga negara demokrasi. Kami terima semua masukan dengan senang hati selama tidak menyalahi aturan,” ujarnya.
Baca juga : Problema Krisis Hakim MA
Terkait dengan pilihan setiap fraksi, pilihan itu didasarkan pada hasil seleksi oleh KY, proses uji kelayakan dan kepatutan oleh Komisi III DPR, dan mempertimbangkan pula laporan masyarakat. Meski demikian, ia tak menampik pasti ada unsur subyektivitas anggota DPR dalam menggunakan hak politiknya saat menjatuhkan pilihan. Kombinasi semua itu membuat bisa saja calon yang dinilai istimewa saat proses seleksi di KY justru dinilai sebaliknya oleh DPR.
Kini, proses seleksi sudah tuntas, sembilan calon hakim agung terpilih tinggal menanti penetapan oleh Presiden. Segala kritik selama proses seleksi hendaknya jadi bahan koreksi. Terlebih posisi hakim agung merupakan hakim tertinggi dan putusannya menjadi putusan final yang dinanti para pencari keadilan.
Catatan Redaksi:
Ada koreksi dalam berita ini khususnya di bagian pernyataan Juru Bicara KY Miko Ginting. Sebelumnya disebutkan "Atas kritik dan masukan untuk KY, juru bicara KY, Miko Ginting, memastikan KY akan menyerapnya dan memperbaiki agar seleksi calon hakim agung berikutnya lebih transparan, akuntabel, dan akomodatif." Selain itu, bagian kalimat "Begitu pula dalam proses wawancara, yang biasanya semuanya tertutup bagi publik, ada sebagian yang bisa diketahui publik" juga dikoreksi. Dengan koreksi ini, redaksi memohon maaf atas kekeliruan yang terjadi.