Kuasa Hukum Pertanyakan Penetapan Napoleon sebagai Tersangka Pencucian Uang
Dalam perkara penghapusan nama Joko Tjandra dari DPO, Napoleon dinilai terbukti menerima imbalan senilai Rp 7,2 miliar dari Joko Tjandra. Kini kepolisian menetapkannya sebagai tersangka pencucian uang.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kuasa hukum Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte, terdakwa kasus penghapusan daftar pencarian orang atau red notice atas nama Joko Tjandra, mempertanyakan penetapan kliennya sebagai tersangka dugaan pencucian uang. Penetapan tersangka tersebut dinilai tidak berdasar karena kasus tindak pidana korupsi dalam kasus utama dinilai tidak terbukti.
Ahmad Yani, kuasa hukum Irjen Napoleon Bonaparte, ketika dihubungi, Senin (27/9/2021), mengatakan, pihaknya telah mendapatkan informasi mengenai penetapan tersangka terhadap kliennya. Namun, penetapan tersangka itu tidak didahului dengan pemberitahuan dan belum diinformasikan kepada Napoleon.
”Sedangkan Pak Napoleon sendiri belum pernah diperiksa sebagai tersangka tindak pidana pencucian uang,” kata Ahmad Yani.
Dalam perkara penghapusan nama Joko Tjandra dari red notice atau daftar pencarian orang (DPO), majelis hakim menilai, Napoleon terbukti menerima uang sebesar 370.000 dollar AS dan 200.000 dollar Singapura atau sekitar Rp 7,2 miliar dari Joko Tjandra melalui Tommy Sumardi. Oleh karena itu, Napoleon divonis 4 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan. Kini, Napoleon tengah mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung terkait dengan perkara tersebut.
Kemudian, mengutip kompas.com, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Agus Andrianto mengatakan, Napoleon ditetapkan sebagai tersangka setelah polisi melakukan serangkaian gelar perkara. ”Laporan hasil gelarnya demikian,” kata Agus.
Ketika Kompas menghubunginya, Agus mengarahkan Kompas agar perkara tersebut ditanyakan ke Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri. Ketika Kompas menghubungi Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Brigadir Jenderal (Pol) Andi Rian R Djajadi, dijawab agar menanyakan hal tersebut ke Direktorat Tindak Pidana Korupsi.
Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Agus Andrianto mengatakan, Napoleon ditetapkan sebagai tersangka setelah polisi melakukan serangkaian gelar perkara.
Sementara Direktur Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri Brigjen (Pol) Djoko Porwanto tidak membalas pertanyaan Kompas. Demikian pula Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divhumas Polri Brigjen (Pol) Rusdi Hartono juga tidak menjawab pertanyaan yang sama.
Lebih lanjut, Ahmad Yani menyampaikan bahwa penetapan tersangka terhadap kliennya dinilai tidak mendasar. Sebab, dalam kasus penghapusan daftar pencarian orang atas nama Joko Tjandra, penerimaan uang oleh Napoleon hanya didasarkan pada keterangan Tommy Sumardi. Di sisi lain, lanjutnya, rekaman percakapan yang berisi pernyataan terpidana yang lain, Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo, mengenai penerimaan uang tersebut tidak jadi diperdengarkan di ruang sidang.
”Kami, kan, menginginkan agar diperdengarkan rekaman yang salah satu isinya adalah pernyataan Prasetijo bahwa Napoleon tidak menerima uang. Sebab penerimaan uang itu hanya menurut Tommy. Itulah mengapa kemudian kami laporkan majelis hakim ke Komisi Yudisial,” kata Ahmad Yani.
Di sisi lain, lanjut Ahmad Yani, Prasetijo yang memang terbukti dan mengakui menerima uang justru tidak dijadikan tersangka pencucian uang. Oleh karena itu, Ahmad Yani mempertanyakan motivasi sebenarnya terhadap Bareskrim yang dinilainya getol mengejar Napoleon.
Terlebih, penetapan tersangka ini dilakukan setelah terjadi peristiwa dugaan penganiayaan Napoleon terhadap Muhammad Kasman alias Muhammad Kece, tersangka perkara dugaan penistaan agama di Rumah Tahanan Negara Bareskrim Polri.
”Pak Napoleon tidak tahu terkait perkara tindak pidana pencucian uang ini. Tapi, kenapa Bareskrim begitu getol mengejar dia? Apakah karena dia tahu banyak?” kata Ahmad Yani.
Secara terpisah, pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, Jakarta, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan, pengenaan pasal pencucian uang selalu digandengkan dengan adanya tindak pidana yang utama. Sebab, tindak pidana pencucian uang pada intinya adalah upaya menyamarkan hasil kejahatan sehingga mensyaratkan adanya kejahatan utama.
Terkait dengan teknis penuntutan, lanjut Fickar, dugaan tindak pidana pencucian uang dapat digabungkan dengan pidana utama atau dipisah. Jika digabungkan, pertimbangannya adalah efisiensi. Sementara kalau dipisah, lebih terkait dengan efektivitas penanganan perkara.
Pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, Jakarta, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan, pengenaan pasal pencucian uang selalu digandengkan dengan adanya tindak pidana yang utama.
”Bisa jadi penyidik memisahkan perkaranya karena mungkin di awal tidak yakin dengan tindak pidana utama dapat dibuktikan. Maka, baru setelah itu terbukti, mereka masuk ke tindak pidana yang kedua,” ujar Fickar.
Menurut Fickar, perbedaan teknis penuntutan antara disatukan dan dipisah terletak pada ancaman hukuman. Jika tindak pidana korupsi dan pidana pencucian uang dituntut bersama-sama, akan ada pilihan pidana, yaitu ancaman hukuman tertinggi ditambah sepertiga. Dalam kasus terkait dengan Napoleon, jika diduga memang terjadi tindak pidana pencucian uang, penyidik dapat melanjutkan perkara tersebut.