Tommy Sumardi Serahkan Rp 8,5 Miliar untuk Cek Status DPO Joko Tjandra
Tommy Sumardi, pengusaha yang menjadi perantara Joko Tjandra, memberikan uang kepada dua petinggi Polri senilai Rp 8,5 miliar untuk mengecek status DPO terpidana kasus hak tagih piutang Bank Bali tersebut.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terdakwa kasus dugaan gratifikasi penghapusan red notice atas nama Joko Tjandra, Tommy Sumardi, mengaku telah menyerahkan uang Rp 8,5 miliar untuk mengetahui status cekal Joko Tjandra. Uang itu diserahkan kepada Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte dan Brigadir Jenderal (Pol) Prasetijo Utomo.
Kepada Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte, Tommy menyerahkan uang dalam bentuk pecahan dollar AS dan dollar Singapura dengan total sekitar Rp 7 miliar. Adapun kepada Kepala Biro Pengawas PPNS Bareskrim Brigadir Jenderal (Pol) Prasetijo Utomo, Tommy mengaku menyerahkan Rp 1,5 miliar.
Hal itu terungkap di dalam sidang dengan agenda pemeriksaan terdakwa Tommy Sumardi, Selasa (8/12/2020), di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sidang dipimpin ketua majelis hakim Muhammad Damis serta hakim anggota Saefudin Zuhri dan Joko Subagyo.
Kepada Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte, Tommy menyerahkan uang dalam bentuk pecahan dollar AS dan dollar Singapura dengan total sekitar Rp 7 miliar.
Tommy mengatakan, kasus itu bermula ketika Joko Tjandra menghubunginya melalui sambungan telepon dan memintanya untuk mengecek status daftar pencarian orang (DPO) Joko Tjandra. Menurut Joko, statusnya seharusnya sudah bebas. Namun, sampai saat itu, masih belum bisa masuk ke Indonesia.
”Dia (Joko) minta cek di NCB dulu, maka saya cari teman yang pernah ada di NCB Interpol. Maka, ada Saudara Prasetijo. Divisi Hubungan Internasional itu saya tahu dari Prasetijo,” kata Tommy.
Menurut Tommy, melalui Prasetijo, dia dikenalkan dengan Napoleon. Setelah menyampaikan maksud untuk mengecek status DPO Joko Tjandra, Napoleon meminta uang Rp 3 miliar. Hal itu disampaikan kepada Joko Tjandra dan meminta agar disiapkan uang Rp 10 miliar. Peristiwa itu terjadi pada awal April 2020.
Keesokan harinya, ketika menghadap Napoleon kembali di kantornya, yakni di Gedung TNCC Mabes Polri, Napoleon mengubah permintaannya dari Rp 3 miliar menjadi Rp 7 miliar. Menurut Tommy, Napoleon beralasan bahwa uang itu tidak untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk pimpinannya yang ditunjuk berada di gedung sebelah gedung TNCC. Hal itu kemudian disampaikan kepada Joko Tjandra dan disetujui.
Tommy mengaku menyerahkan uang kepada Napoleon hingga lima kali, yakni pada 27 April, 28 April, 29 April, 4 Mei, dan 5 Mei. Total yang diserahkan berjumlah 370.000 dollar AS dan 200.000 dollar Singapura.
Penyerahan uang itu tidak disampaikan sekaligus. Tommy mengaku menyerahkan uang kepada Napoleon hingga lima kali, yakni pada 27 April, 28 April, 29 April, 4 Mei, dan 5 Mei. Total yang diserahkan berjumlah 370.000 dollar AS dan 200.000 dollar Singapura. Adapun Prasetijo menerima 100.000 dollar AS sehingga total uang untuk keduanya adalah sekitar Rp 8,5 miliar.
Pada 7 Mei, setelah permintaan uang itu lunas, Prasetijo menghubungi Tommy dan memintanya menemui Napoleon di kantornya. Di sana, Napoleon menyerahkan sebuah amplop tertutup yang kemudian diambil orang suruhan Joko Tjandra.
Setelah itu, Tommy mengaku tidak pernah lagi berhubungan dengan mereka. Joko Tjandra pun hanya meneleponnya dan memintanya untuk berkunjung ke Kuala Lumpur. Terkait dengan sisa Rp 1,5 miliar, Joko minta agar uang itu disimpannya dulu.
Menurut Tommy, Joko Tjandra meminta bantuannya karena selain berteman, Tommy dulu juga pernah bekerja dengan Joko Tjandra sekitar 1998. Tommy mengaku Joko Tjandra tidak menjanjikan apa pun untuk permintaannya itu.
”Saya minta maaf kepada seluruh keluarga saya, saya telah membuat malu mereka dan saya menyesal melakukan ini. Mohon maaf, Yang Mulia,” ujar Tommy.
Majelis hakim memutuskan menunda sidang dan melanjutkannya pada 15 Desember 2020. Agenda sidang berikutnya adalah pembacaan tuntutan penuntut umum.