Hakim Tolak Permohonan Praperadilan, Perkara Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte Berlanjut
Hakim PN Jakarta Selatan menyatakan penetapan Irjen Napoleon Bonaparte sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penghapusan red notice Interpol atas nama Djoko Tjandra sah. Dengan begitu perkara Napoleon berlanjut.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak permohonan praperadilan tentang penetapan tersangka yang diajukan Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte, Selasa (6/10/2020). Menurut hakim, penetapan Irjen Napoleon Bonaparte sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penghapusan red notice Interpol atas nama Djoko Tjandra sah.
Putusan nomor 115/Pid.Pra/2020/PN JKT.SEL tersebut dibacakan oleh hakim tunggal Suharno. ”Mengadili menolak permohonan praperadilan pemohon untuk seluruhnya. Membebankan biaya perkara senilai nihil,” ujar Suharno membacakan petikan putusan, Selasa.
Sebelumnya diberitakan, mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon Bonaparte ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi terkait penghapusan red notice di Interpol atas nama Joko Soegiarto Tjandra. Adapun Joko Tjandra merupakan terpidana kasus pengalihan hak tagih atau cessie Bank Bali yang buron tahun 2009 hingga akhirnya dia ditangkap di Kuala Lumpur, Malaysia, pada Juli 2020.
Atas penetapan tersangka terhadap dirinya oleh Polri, Napoleon kemudian mengajukan gugatan praperadilan. Dalam petitumnya, pihak Napoleon meminta hakim menyatakan surat penyidikan kasus tersebut cacat hukum sehingga dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum.
Napoleon juga meminta hakim menyatakan surat penetapan Napoleon sebagai tersangka tidak sah dan batal demi hukum sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Selain itu, dia juga meminta hakim memerintahkan penyidik menerbitkan surat penghentian penyidikan perkara atas nama Irjen Napoleon Bonaparte.
Dalam pertimbangan putusan, hakim mengatakan bahwa termohon atau Divisi Hukum Bareskrim Polri telah melakukan pemeriksaan saksi yang semuanya relevan dalam penetapan tersangka. Termohon juga dapat membuktikan tentang keabsahan tahapan penetapan tersangka.
Sementara itu, pemohon, yaitu Irjen Napoleon Bonaparte, dinilai tidak dapat membuktikan dalil-dalil permohonannya. Dalil tersebut seperti tidak sahnya penyelidikan dan penyidikan kasus yang menjeratnya. Kemudian, Napoleon juga menilai penetapan dirinya sebagai tersangka tidak disertai bukti permulaan yang cukup sehingga penetapan Irjen Napoleon Bonaparte sebagai tersangka dianggap sebagai rekayasa dan kriminalisasi.
”Hakim praperadilan menyimpulkan bahwa prapreradilan yang diajukan pemohon tidak beralasan hukum,” kata Suharno.
Kuasa Hukum Mabes Polri Komisaris Besar Widodo mengatakan, putusan praperadilan tersebut akan menjadi dasar bagi penyidik untuk melanjutkan penyidikan perkara suap tersebut. Saat ini, penyidik masih terus melengkapi berkas perkara suap dalam penghapusan red notice buronan Joko Tjandra itu.
”Kita berlanjut seperti biasa melanjutkan penyidikan yang sudah ada,” ujar Kombes Widodo.
Sementara itu, kuasa hukum Irjen Napoleon Bonaparte, Gunawan Raka, mengatakan, pihaknya akan mempelajari putusan tersebut untuk menentukan langkah selanjutnya. Saat ini, pihaknya masih menunggu salinan putusan praperadilan tersebut.
Menurut dia, ada beberapa materi pokok yang tidak masuk dalam uraian pertimbangan hakim. Namun, hal itu dapat dipahami karena praperadilan hanya mengadili aspek formil bukan pada materi perkara. Materi seperti pembuktian barang bukti, tuduhan suap, nantinya lebih cocok masuk pada sidang perkara pokok.
Meskipun demikian, Gunawan mengaku menghormati setinggi-tingginya putusan hakim praperadilan. Pihaknya juga mengapresiasi pihak Divisi Hukum Bareskrim Polri yang dinilai sudah kooperatif untuk mengurai perkara tersebut.
”Kami ucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada hakim yang sudah menilai alat bukti permulaan. Nanti, mungkin setelah dapat salinan putusan, kami baru bisa sampaikan langkah hukum selanjutnya seperti apa,” kata Gunawan.
Sebelumnya, tim hukum Mabes Polri mengungkapkan bahwa Irjen Napoleon meminta kesepakatan ulang terkait imbalan atas penghapusan red notice Joko Tjandra dari awalnya Rp 3 miliar menjadi Rp 7 miliar.
Kesepakatan ulang itu terjadi pada 13 April 2020 antara Napoleon dan tersangka lain dalam kasus ini Tommy Sumardi. Bareskrim Polri juga mengklaim memiliki rekaman CCTV dalam pertemuan Irjen Napoleon dengan pengusaha Tommy Sumardi.