Pernyataan Berbasis Riset Haris dan Fatia yang Berujung Laporan ke Polisi
Pernyataan berbasis riset aktivis Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti didasarkan itikad baik. Maka, sebaiknya dijawab Menteri Luhut Binsar Pandjaitan dengan data, bukan mengadukan ke polisi.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·6 menit baca
Dilaporkannya dua aktivis masyarakat sipil ke kepolisian oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menambah panjang daftar pejabat yang melaporkan aktivis karena opini atau pendapatnya di ruang publik. Selain dinilai sebagai tekanan terhadap kebebasan berpendapat, langkah hukum tersebut dinilai tidak tepat karena ”menyerang” pendapat yang berdasarkan riset atau data.
Pada Rabu (22/9/2021), Luhut Binsar Pandjaitan mengadukan Direktur Lokataru Haris Azhar dan Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti ke Polda Metro Jaya karena telah mencemarkan nama baiknya. Langkah pengaduan diambil setelah dua kali somasi dari Luhut dinilai tak dipenuhi, baik oleh Haris maupun Fatia.
Keduanya dinilai telah mencemarkan nama baik Luhut terkait dengan opini mereka dalam bisnis tambang di Papua. Opini ini ditayangkan di Youtube dengan judul ”Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada!!”.
Konten atau video yang dimaksud berada di channel Haris Azhar dengan durasi sepanjang 26 menit 51 detik. Ketika diakses Kompas hingga Kamis (23/9/2021) siang, video tersebut telah ditonton 245.327 kali.
Di dalam video tersebut dibahas mengenai konsesi Blok Wabu dan perusahaan yang beroperasi di sana yang diduga terkait dengan beberapa pejabat dan purnawirawan TNI. Dalam video itu juga disebutkan, pembicaraan tersebut didasarkan pada sebuah riset yang laporannya dapat diunduh di beberapa situs kelompok masyarakat sipil.
Riset yang dimaksud berjudul ”Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya”. Laporan setebal 30 halaman tersebut diterbitkan bersama oleh beberapa kelompok masyarakat sipil, yakni YLBHI, Walhi Eksekutif Nasional, Pusaka Bentara Rakyat, Walhi Papua, LBH Papua, Kontras, JATAM, Greenpeace Indonesia, dan Trend Asia.
Oleh karena penyampaian materi tentang dugaan keterlibatan Luhut berbasis riset, Koalisi Masyarakat Sipil Serius Revisi UU ITE yang terdiri atas lebih dari 20 kelompok organisasi menganggap pengaduan Luhut sebagai salah satu bentuk serangan kepada aktivis oleh pejabat negara dengan cara menyalahgunakan hukum untuk keperluan dirinya sendiri.
Koalisi masyarakat dimaksud, di antaranya, ialah AJI Indonesia, Amnesty International Indonesia, Elsam, Forum-Asia, Greenpeace Indonesia, ICJR, Indonesia Corruption Watch (ICW), IJRS, Imparsial, Koalisi Perempuan Indonesia, Kontras, KPJKB Makassar, LBH Apik, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, LBH Pers LeIP, PAKU ITE, PBHI, PUSKAPA UI, PSHK, Rumah Cemara, SAFEnet, WALHI, dan YLBHI.
Tak hanya Luhut, mereka menilai Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko melakukan hal yang sama. Ini menyusul sikap Moeldoko yang mengadukan aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), yakni Egi Primayogha dan Miftahul Choir, ke Bareskrim Polri. Pengaduan terkait dengan riset ICW mengenai perburuan rente dalam peredaran Ivermectin dan ekspor beras antara Himpunan Kerukunan Tani Indonesia dan PT Noorpay Nusantara Perkasa yang di dalamnya turut menyebut nama Moeldoko.
Padahal, menurut koalisi masyarakat sipil, hak atas kebebasan berekspresi dijamin Pasal 23 (1) dan 25 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta Pasal 28E UUD 1945 yang mengatur bahwa setiap orang bebas untuk menyatakan pendapatnya di depan umum.
Terkait dengan Blok Wabu yang dibahas dalam video di channel Haris Azhar tersebut, dalam opini berjudul ”Berebut Tambang Emas Blok Wabu” (Kompas, 22/9/2021), peneliti pada Alpha Research Database, Indonesia, Ferdy Hasiman, menuliskan, Blok Wabu adalah salah satu konsesi yang berjarak 50 kilometer dari tambang emas Grasberg di Mimika yang dimiliki Freeport Indonesia (FI) dan Mind ID (BUMN).
Data Mind ID (2020) menunjukkan potensi cadangan emas Blok Wabu yang fantastis, mencapai 117,26 juta ton dengan nilai 14 miliar dollar AS dan cut off grade rata-rata 2,16 gram per ton emas dan 1,76 gram per ton perak.
Dalam pernyataannya, koalisi masyarakat sipil menekankan, laporan yang menjadi rujukan dalam konten video tersebut juga mencatat berbagai eskalasi konflik kekerasan dan konflik bersenjata yang dipicu oleh operasi militer yang terjadi, salah satunya di Kabupaten Intan Jaya. Konflik tersebut telah mengakibatkan hilangnya nyawa warga sipil dan pengungsian ribuan warga sipil, termasuk anak-anak dan perempuan
”Kami menilai pelaporan pidana dan gugatan perdata kepada Fatia dan Haris adalah ancaman yang serius terhadap demokrasi dan kerja-kerja pembela hak asasi manusia. Sebab, pembela HAM yang seharusnya diberikan jaminan perlindungan atas kerja-kerjanya justru mendapatkan serangan dari pejabat publik,” demikian bunyi pernyataan dari Koalisi Masyarakat Sipil Serius Revisi UU ITE, Kamis (23/9/2021).
Oleh karena itu, koalisi meminta kepada Kapolri untuk tidak menindaklanjuti laporan dari Luhut ataupun Moeldoko. Sebab, yang dilakukan para aktivis adalah bagian dari kebebasan ekspresi, pendapat, dan kerja-kerja pembela hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi dan UU.
Kuasa hukum Fatia Maulidiyanti, Julius Ibrani, mengatakan, pelaporan kliennya kepada kepolisian tidak mengherankan atau mengagetkan. Sebab, somasi yang sebelumnya diberikan sudah dipandang sebagai tahap pelaporan pidana.
”Somasi yang kini menjadi laporan pidana ini tidak menyentuh konteks penjelasan Fatia dan konteks Haris Azhar di konten Youtube tersebut, yaitu kajian. Itu yang tidak dilaporkan. Artinya, laporan ini merupakan upaya untuk mengeser di antara kaitan kepentingan publik ke ranah hukum. Kita dibawa ke dimensi yang berbeda. Namun, apa pun itu, Fatia berdiri pada prinsip intelektualitas dari kajian yang dilakukan,” kata Julius.
Menurut Julius, kajian tersebut merupakan itikad baik dari warga negara untuk memastikan jalannya pemerintahan dengan baik, termasuk tidak adanya konflik kepentingan dari para pejabat. Dengan prinsip tersebut, Fatia tetap akan mengikuti proses hukum yang terjadi dengan berpegang pada kajian tersebut.
Sementara itu, kuasa hukum Luhut, Juniver Girsang, berpandangan, yang dikatakan sebagai riset oleh Haris dan Fatia dianggap bukan hasil riset, melainkan kajian cepat. Selain itu, di dalam kajian tersebut tidak dinyatakan bahwa Luhut bermain tambang di Papua.
”Dan, tidak ada di kesimpulan di kajian itu yang menyatakan bahwa Luhut ada di balik operasi militer di Papua. Dengan demikian, itu adalah pencemaran dan menyiarkan berita bohong,” kata Juniver.
Menurut Juniver, jika kajian tersebut adalah riset, semestinya hal itu dikonfirmasi terlebih dulu ke Luhut. Selain itu, sebuah riset mesti dilakukan independen, akurat, dan dilakukan dengan metodologi tertentu.
Demikian pula sebelum dibahas dan dipublikasikan melalui Youtube, semestinya ada konfirmasi dari pihak yang dituding atau dikritik. Namun, justru melalui video tersebut, Luhut langsung divonis sehingga menimbulkan persepsi negatif terhadap Luhut. Padahal, lanjut Juniver, Luhut tidak antikritik. Namun, yang terjadi dinilainya merupakan fitnah dan pencemaran nama baik.
”Yang lucu, kok, malah setelah itu disuruh membuat klarifikasi terhadap hal yang sudah membuat karakternya rusak. Makanya, kami laporkan ke polisi setelah kami kirim surat untuk menyomasi dua kali dan tidak direspons dengan baik. Tentu klien kami melakukan pembelaan terhadap haknya,” ujar Juniver.
Sementara itu, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Keadilan Sejahtera Mardani Ali Sera berpandangan, mendapatkan keadilan adalah hak semua orang. Namun, ketika seseorang mendapat atau menduduki jabatan tertentu, standar moral beserta kelapangan dada seseorang mesti lebih besar.
”Pelaporan adalah hak asasi tiap individu untuk mendapatkan keadilan. Tapi, persepsi publik dapat lain. Ini (dinilai) bagian dari tekanan pada kebebasan berpendapat,” kata Mardani.
Menurut Mardani, terhadap data yang disodorkan kalangan masyarakat sipil tersebut, akan lebih baik jika dijawab pula dengan data. Tidak perlu sampai mengadukan ke polisi yang justru bisa dipersepsikan ancaman terhadap demokrasi.
Oleh karena itu, Mardani mendorong agar persoalan tersebut diselesaikan dengan saling klarifikasi dan musyawarah. Terlebih, Kapolri telah mendorong dilakukannya pendekatan keadilan restoratif terhadap persoalan yang memang dapat diselesaikan dengan musyawarah, bukan dengan penegakan hukum.
”Rukun dan damai itu pilihan paling baik. Jangan saling melapor,” kata Mardani.