Kualitas Demokrasi Indonesia Menurun
Semakin tinggi kualitas demokrasi yang dicapai, semakin tinggi pula potensi kesejahteraan yang diraih.
Sekalipun kualitas kebebasan sipil dirasakan meningkat, problem dalam hak-hak politik serta aspek kelembagaan demokrasi di negeri ini membuat keseluruhan skor indeks demokrasi menurun.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) kembali memublikasikan perhitungan indeks demokrasi di negeri ini. Saat ini, skor Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) 73,66.
Dibandingkan dengan kondisi tahun lalu, indeks yang dibangun oleh tiga aspek: kebebasan sipil, hak-hak politik, dan kelembagaan politik, ini relatif menurun. Namun, penurunan tersebut tidak mengubah kategorisasi kualitas indeks, tetap menempatkan negeri ini dalam kualitas demokrasi yang ”sedang”.
Kondisi demikian menjadi agak ironis. Pasalnya, pada tahun sebelumnya, justru negeri ini tengah merayakan kehidupan berdemokrasi yang tertinggi. Hasil perhitungan indeks menunjukkan tahun 2019, skor indeks yang dicapai merupakan skor tertinggi yang pernah dicapai sepanjang IDI dikenalkan tahun 2009 lalu.
Dengan penurunan skor di tahun ini, menjadi persoalan yang cukup serius untuk dikaji guna memahami faktor penyebab penurunan indeks tersebut. Apakah kondisi kekinian, seperti pandemi yang hingga kini belum juga berakhir, menjadi determinan bagi penurunan indeks?
Dalam hal ini, apakah berbagai upaya kebijakan negara selama pandemi yang diwujudkan dalam berbagai pembatasan fisik maupun sosial sedemikian rupa turut mengekang kualitas berdemokrasi di negeri ini?
Ataukah sebaliknya yang terjadi, faktor-faktor di luar kondisi pandemi, kini sedemikian rupa telah mengekang kondisi-kondisi ideal penopang demokrasi di negeri ini.
Dengan mencermati 3 aspek, 11 variabel, ataupun 30 indikator yang digunakan dalam pengukuran IDI, tampaknya terdapat beberapa perbedaan kondisi yang secara langsung berpengaruh terhadap nilai indeks.
Perbedaan mencolok, dari perbedaan skor pada aspek indeks ini. Dari sisi aspek ”kebebasan sipil” sebenarnya indeks menunjukkan kondisi peningkatan. Tahun lalu, skor kondisi kebebasan sipil, yang antara lain dibangun dari variabel ”kebebasan berkumpul dan berserikat”, ”kebebasan berpendapat”, ”kebebasan berkeyakinan”, dan ”kebebasan dari diskriminasi”, masih sebesar 77,20.
Namun saat ini, skor kondisi kebebasan sipil sudah mencapai 79,40. Artinya, aspek kebebasan setahun terakhir justru dinilai meningkat. Sekalipun saat ini juga dijumpai penurunan, khususnya pada variabel ”kebebasan berpendapat” dan ”kebebasan dari diskriminasi”, tetapi peningkatan sangat signifikan dalam ”kebebasan berserikat dan berkumpul” serta ”kebebasan berkeyakinan” menjadikan aspek kebebasan sipil meningkat dibandingkan tahun sebelummnya.
Hanya saja, kondisi penurunan sesungguhnya terjadi pada kedua aspek lain, yaitu ”hak-hak politik” dan ”kelembagaan demokrasi”. Penurunan kedua aspek inilah yang menjadikan IDI nasional menjadi lemah.
Pada aspek ”hak-hak politik”, jika dielaborasi ke dalam variabel ataupun indikator pengukurannya, terdapat penurunan yang signifikan pada variabel partisipasi politik dalam pengambilan keputusan dan pengawasan, khususnya pada indikator pengaduan masyarakat mengenai penyelenggaraan pemerintahan.
Berbagai kondisi menurun terjadi pada variabel-variabel ataupun indikator kelembagaan demokrasi. Semua variabel yang mengaitkan peran kelembagaan negara, seperti legislatif, eksekutif, ataupun yudikatif, menurun cukup signifikan.
Pada peran kelembagaan legislatif, misalnya, peran legislatif daerah, khususnya DPRD pada penilaian kali ini sebenarnya menunjukkan peningkatan. Penurunan yang terbesar bukan pada institusi legislatif, melainkan malah justru terjadi pada peran partai politik yang menjadi rumah asal para legislator. Sebagai bandingan, jika pada tahun 2019 skor peran partai politik 80,62, kini melorot menjadi 75,66.
Penurunan penilaian tidak jauh berbeda pada lembaga eksekutif, khususnya pada level daerah. Peran birokrasi pemerintahan tahun ini dinilai menurun dibandingkan tahun sebelumnya.
Pada kelembagaan yudikatif, penurunan juga terjadi. Peran peradilan yang independen dinilai kali ini menurun. Penghentian penyidikan yang kontroversial oleh jaksa atau polisi menjadi indikator yang signifikan penurunannya. Jika tahun sebelumnya skor indikator 94,12, kali ini menjadi 85,29.
Begitu pula dalam indikator kebijakan pejabat pemerintah daerah yang dinyatakan bersalah oleh keputusan PTUN, dalam catatan indeks ini semakin bermasalah hingga mampu menurunkan nilai indeks cukup signifikan.
Semua variabel yang mengaitkan peran kelembagaan negara, seperti legislatif, eksekutif, ataupun yudikatif, menurun cukup signifikan.
Kondisi demokrasi yang menurun hasil pencermatan IDI ini tampaknya masih sejalan dengan pengukuran kualitas demokrasi sebelumnya yang dilakukan secara global. Pada Februari 2021, misalnya, indeks demokrasi global yang dibangun The Economist Intelligence Unit (EIU) juga menunjukkan kondisi demokrasi yang menurun di Indonesia.
Dengan menggunakan lima indikator dalam menentukan kualitas demokrasi suatu negara, antara lain ”proses pemilu dan pluralisme”, ”kebebasan sipil”, ”partisipasi politik”, ”fungsi dan kinerja pemerintah”, serta ”budaya politik”, skor Indonesia pada 2020 sebesar 6,3 (dari skor tertinggi 10).
Besaran skor Indonesia jika ditempatkan pada 167 kelompok negara di dunia, berada pada urutan ke-64. Berdasarkan kualitas yang ditetapkan IEU: rezim demokrasi penuh, demokrasi cacat, rezim hibrida, dan rezim otoriter, capaian Indonesia masih termasuk rezim demokrasi cacat. Negara-negara kawasan Asia Tenggara lainnya, seperti Malaysia, Filipina, dan Timor Leste, juga masuk kategori yang sama.
Selaras dengan IDI, capaian kondisi demokrasi di negeri ini menurun dibandingkan dengan masa sebelumnya. Bahkan, berdasarkan laporan IEU tersebut, capaian Indonesia merupakan nilai terendah sejak 2006 indeks ini dipublikasikan.
Perbedaan mencolok antarkedua indeks tersebut justru tampak dari sisi penilaian kondisi ”kebebasan sipil”. Apabila IDI menempatkan kebebasan sipil menjadi aspek yang tinggi penilaiannya, dalam indeks demokrasi IEU justru kebebasan sipil dan budaya politik yang paling problematik di negeri ini.
Sebaliknya, aspek hak-hak politik dan keberadaan serta peran lembaga demokrasi yang dinilai relatif lebih rendah dalam indeks IDI justru menjadi penilaian yang lebih besar daripada kebebasan sipil oleh IEU.
Di Indonesia, EIU memberikan skor tertinggi pada proses pemilu dan pluralisme (skor 7,92), berikutnya fungsi dan kinerja pemerintah (skor 7,50), partisipasi politik (skor 6,11), kebebasan sipil (skor 5,59), dan budaya politik (skor 4,38).
Terlepas dari perbedaan-perbedaan dalam menginterpretasikan kondisi berdemokrasi di negara ini, pesan penurunan kualitas demokrasi di negeri ini perlu menjadi perhatian. Terutama, jika dilekatkan dengan konsep kesejahteraan masyarakat yang menjadi tujuan kehidupan bernegara.
Baca juga: Kemerdekaan Pers Meningkat Saat Pandemi
Bagaimanapun kepentingan pada pilihan-pilihan berdemokrasi di negara ini tidak dapat dilepaskan dari konsepsi kesejahteraan yang ingin disasar. Dalam hal ini, semakin tinggi kualitas demokrasi yang dicapai maka selaras dengan ini semakin tinggi pula potensi kesejahteraan yang diraih. Begitu pula sebaliknya yang terjadi.
Berdasarkan proposisi kesejahteraan itu, pengembangan iklim kehidupan berdemokrasi di negeri ini jelas membangun jalan bagi kesejahteraan masyarakat. Namun jika penurunan kualitas demokrasi yang kini terjadi, bagaimana nasib kesejahteraan masyarakat? (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Ternyata, Demokrasi Indonesia Berbuah Kesejahteraan