Polisi Diminta Tak Tindak Lanjuti Laporan Luhut dan Moeldoko
Pasal pencemaran nama baik di UU ITE yang digunakan pelapor dinilai tak selaras dengan pedoman implementasi UU ITE yang diterbitkan Menkominfo, Jaksa Agung, dan Kapolri pada Juni lalu.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Polri diminta tak menindaklanjuti pengaduan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko terhadap aktivis Indonesia Corruption Watch, Lokataru, dan Kontras.
Basis pengaduan dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dinilai tak sejalan dengan pedoman implementasi UU ITE yang telah diputuskan Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, dan Kapolri pada akhir Juni 2020. Selain itu, pengaduan oleh kedua pejabat negara tersebut juga dinilai menciptakan lingkungan tanpa ruang demokrasi dan melemahkan kerja aktivis dalam mengawasi penguasa.
Pada 10 September lalu, Moeldoko melaporkan dua peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayoga dan Miftachul Choir, ke Bareskrim Polri. Pengaduan terkait riset ICW mengenai pemburuan rente dalam peredaran Ivermectin dan ekspor beras antara Himpunan Kerukunan Tani Indonesia dan PT Noorpay Nusantara Perkasa.
Adapun Luhut mengadukan Direktur Lokataru Haris Azhar dan Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti ke Polda Metro Jaya, Rabu (22/9/2021). Pengaduan dilakukan karena Luhut disebut Haris dan Fatia diduga terlibat dalam proyek rencana eksploitasi Blok Wabu di Intan Jaya, Papua. Keempat aktivis tersebut diadukan dengan pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE.
Juru Bicara Koalisi Masyarakat Sipil Serius UU ITE Ade Wahyudin, Rabu (23/9/2021), menilai, pengaduan itu merupakan bentuk serangan kepada aktivis. Para pejabat Indonesia dinilai telah menyalahgunakan hukum untuk kepentingan pribadi mereka.
Apalagi, kebebasan berekspresi dan berpendapat dijamin dalam hukum hak asasi manusia internasional, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan UUD 1945. Mereka menilai pelaporan pidana dan gugatan perdata kepada para aktivis adalah ancaman yang serius terhadap demokrasi dan kerja-kerja pembela HAM.
”Pembela HAM seharusnya diberikan jaminan perlindungan atas kerja-kerjanya, tetapi justru mendapatkan serangan dari pejabat publik,” kata Ade.
Apabila pola tersebut diteruskan, Ade khawatir ancaman tersebut menjadi proses SLAPP (Strategic Lawsuits Againts Public Participation). Artinya, pemerintah sedang menciptakan lingkungan tanpa ruang demokrasi dan melemahkan kemampuan pembela HAM untuk menjalankan pekerjaan merka, serta menyuarakan kebenaran tanpa rasa takut akan kekuasaan dan pembalasan. Pasal karet UU ITE, seperti pencemaran nama baik, dinilainya telah digunakan orang yang memiliki kekuasaan untuk menghukum yang lebih lemah.
Padahal, dalam pedoman implementasi Pasal 27 Ayat (3) UU ITE poin c disebutkan bahwa pencemaran nama baik bukan merupakan delik apabila berupa penilaian, pendapat, hasil evaluasi, dan kenyataan. Selain itu, dalam pedoman implementasi pasal serupa poin f disebutkan bahwa pasal pencemaran nama baik tidak untuk institusi, korporasi, profesi, atau jabatan.
”Pejabat publik tidak bisa menggunakan UU ITE ini karena ini bukan menyangkut diri pribadi yang spesifik,” kata Ade.
Oleh karena itu, Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo didorong untuk memerintahkan jajarannya agar tidak menindaklanjuti pelaporan pidana baik oleh Luhut Binsar Pandjaitan maupun Moeldoko.
Selain itu, Komnas HAM dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban juga diminta memberikan perlindungan kepada para aktivis yang dilaporkan dengan pasal pencemaran nama baik ini.
Kuasa hukum peneliti ICW, Muhammad Isnur, mengatakan, dirinya menyayangkan sikap Mabes Polri yang tetap menerima laporan dari Moeldoko.
Berdasarkan informasi pemberitaan, kasus tersebut sudah naik ke tahap penyelidikan. Namun, sampai saat ini pihak dari ICW belum ada yang dipanggil untuk diklarifikasi. Dia berharap kasus pencemaran nama baik dengan UU ITE tidak diproses karena sudah ada payung hukum Surat Keputusan Bersama Menteri Kominfo, Jaksa Agung, dan Kapolri mengenai pedoman implementasi UU ITE. Selain itu, kerja-kerja aktivis juga dilindungi UU HAM.
”Kami juga meminta perlindungan dari Komnas HAM. Sebab, para aktivis ini dilindungi kerja-kerjanya sebagai pembela HAM. Kami berharap hal ini tidak terjadi lagi karena bisa membungkam peran aktif masyarakat sipil dalam mengkritisi kebijakan publik,” kata Isnur.
Berdasarkan data dari Komnas HAM, UU ITE merupakan salah satu regulasi yang berpotensi mengancam kerja-kerja para pembela HAM. Data pengaduan Komnas HAM, sepanjang 2020 ada 19 kasus pengaduan terkait dengan pembela HAM. Jumlah ini meningkat dari laporan sepanjang tahun 2012-2015 yang hanya ada 11 kasus pengaduan terkait pembela HAM. Ancaman atau serangan terhadap pembela HAM itu meliputi defamasi atau pencemaran nama baik, kriminalisasi, pemberangusan serikat, serangan atau kekerasan fisik, pembubaran kegiatan, dan penembakan.