Pemulihan Ekonomi dan Pemilu 2024 Harus Berjalan Beriringan
Komisi II DPR menginginkan pemulihan ekonomi sebagai dampak pandemi Covid-19 berjalan beriringan dengan rencana pemilu dan pilkada pada 2024. Ini terutama dalam hal pemenuhan anggaran sehingga keduanya bisa terlaksana.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam menentukan tahapan Pemilu 2024, Komisi II DPR menginginkan ada keselarasan antara pemulihan ekonomi dan pesta demokrasi tersebut. Oleh karena itu, pertimbangan anggaran dalam penyelenggaraan pemilu menjadi sesuatu yang penting untuk dipikirkan, kendati hal itu diharapkan tidak mengganggu keberlangsungan pemilu.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Junimart Girsang mengatakan, upaya menyiapkan Pemilu 2024 sudah dimulai dalam beberapa waktu terakhir, termasuk dengan upaya penentuan tahapan lebih awal. Dalam dua pekan terakhir, Komisi II DPR telah melakukan rapat dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan penyelenggara pemilu untuk membahas rancangan tahapan, sekaligus anggaran.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Khusus untuk penetapan tahapan dan anggaran itu, menurut Junimart, memang harus dibahas intensif untuk menyeimbangkan kepentingan demokratisasi dengan kesiapan anggaran negara.
”Untuk mencapai suatu target atau tujuan yang mantap, anggaran tentu harus dipenuhi. Masalahnya, pemerintah sekarang sedang menghadapi pandemi, dan pemulihan ekonomi sedang dicanangkan secara keseluruhan. Artinya, ekonomi diutamakan di sini. Ada dua sisi mata uang yang harus dilakukan sehingga harus jalan dua-duanya, baik ekonomi maupun pesta demokrasi,” katanya di Jakarta, Kamis (23/9/2021), saat menghadiri diskusi daring yang digelar Masyarakat Ilmu Pemerintah Indonesia (MIPI).
Menimbang kondisi ini, pesta demokrasi juga harus tetap memperhatikan kemampuan anggaran negara. Menurut dia, tahapan Pemilu 2024 yang memakan waktu selama 25 bulan yang diusulkan KPU terlalu lama. Oleh karena itu, upaya sinkronisasi tahapan itu harus dilakukan kembali oleh Komisi II DPR, pemerintah, dan KPU melalui konsinyering dan rapat-rapat intensif.
Sesuai dengan target sebelumnya, Komisi II berharap waktu pemungutan suara Pemilu 2024 sudah dapat diperoleh sebelum DPR memasuki reses pada 8 Oktober 2021. Simulasi tahapan pun harus kembali dilakukan untuk menjaga keseimbangan antara tahapan pemilu dan ketersediaan anggaran itu. Misalnya, ada usulan dari Kemendagri untuk memundurkan tahapan dari yang diusulkan oleh KPU pada 21 Februari 2024 agar menjadi April atau Mei 2024.
”Inilah yang menjadi pergumulan di Komisi II, KPU, dan pemerintah. Secara pribadi, saya katakan pemilu itu Mei saja, dan masa kampanye untuk pilkada cukup 45 hari, sedangkan pemilu cukup 3 bulan,” katanya.
Jika itu dipilih, akan sangat berdampak pada penghematan anggaran. Makin pendek masa tahapan, anggaran lebih dapat dihemat. Terlebih lagi, di masa pandemi ini, menurut Junimart, kampanye tidak memerlukan waktu panjang lantaran ada pembatasan kerumunan dan pertemuan fisik.
”Pengalaman saya dulu, kampanye hanya untuk koordinasi sebab saya sudah melakukan kampanye itu dua tahun sebelumnya. Jadi masa kampanye yang panjang itu tidak terlalu diperlukan,” ucapnya.
Sepanjang tahapan Pemilu 2024 dapat dibuat lebih efisien, terutama juga dengan memikirkan kondisi keuangan negara saat ini, menurut Junimart, tidak ada kendala dalam menyukseskan Pemilu dan Pilkada 2024. Buktinya, dalam pengajuan anggaran 2022, KPU bisa menghemat anggaran hingga Rp 5 triliun sehingga diharapkan hal itu dapat kembali dilakukan untuk pengajuan anggaran untuk tahapan yang berlangsung pada 2023 dan 2024.
Jamin kesuksesan pemilu
Secara terpisah, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Luqman Hakim mengatakan, anggaran seharusnya tidak menjadi persoalan dalam penyelenggaraan Pemilu 2024. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU No 10 tahun 2016 tentang Pilkada telah memberikan aturan yang berkonsekuensi terhadap adanya dua jenis pemilihan dalam satu tahun. Dua-duanya melibatkan kedaulatan rakyat, dan mestinya pula hak rakyat itu dihormati.
”Pemilu ini tentunya harus sukses, yang dapat dilihat dari output (hasil) pemilihan, yakni haruslah mencerminkan apa yang dimaui rakyat. Hal-hal yang sifatnya supporting (mendukung), seperti anggaran dan efisiensi uang negara yang sumbernya dari rakyat, itu juga harus menyesuaikan. Kita mendukung efisiensi dan efektivitas pemilu, tetapi jangan karena alasan anggaran lalu persiapan menjadi kacau-balau,” kata Luqman.
Mengenai usulan penyederhanaan masa kampanye, Luqman juga tidak sependapat. Sebab, rakyat mestinya diberikan kesempatan untuk mengenal calon anggota legislatif dan calon kepala daerah secara lebih mendalam. Waktu kampanye yang diatur oleh KPU dipandang sudah sesuai dengan kebutuhan kampanye para peserta pemilu.
Soal pemendekan masa kampanye, anggota KPU Viryan Azis mengatakan, hal itu sulit dilakukan karena UU Pemilu telah mengatur sedemikian rupa. UU mengatur kampanye dimulai tiga hari sejak pendaftaran calon anggota legislatif, dan calon presiden dan wakil presiden sampai dengan dimulainya masa tenang atau tiga hari sebelum pemungutan suara.
”Pemendekan masa kampanye tidak dapat kami lakukan karena kami dibatasi UU. Hal ini juga harus diperhatikan pembentuk UU,” ujarnya.
Sebelumnya, dalam menyikapi berbagai masukan mengenai hari H Pemilu, Ketua KPU Ilham Saputra mengatakan, pihaknya masih menimbang semua opsi. ”Kami sedang melakukan exercise kembali terkait hasil RDP, 16 September lalu,” ungkapnya, Rabu di Jakarta.
Meski demikian, ketika ditanyai lebih lanjut kemungkinan KPU memundurkan hari H pemilu dengan mengikuti desain atau skenario pemerintah atau tetap pada usulan awal, Ilham belum memastikan.
Untuk menjamin kelancaran tahapan pemilu dan pilkada serentak, anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Fritz Edward Siregar, mengatakan, profil penanganan sengketa hasil Pemilu 2019 harus dijadikan cerminan.
Pada 2019, sebagian besar sengketa pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK) selesai pada Juli. Dengan menggunakan asumsi pemerintah yang mengusulkan agar Pemilu 2024 diadakan pada April 2024, menurut Fritz, tahapan pencalonan kepala daerah pada Agustus 2024 masih terkejar. Sebab, pencalonan kepala daerah harus menunggu hasil Pemilu 2024.
”Jenis dalil permohonan sengketa ke MK yang paling banyak ialah penggelembungan dan pengurangan suara. Sebagian besar selesai pada Juli sehingga bisa dilanjutkan ke tahapan berikutnya,” katanya.