Presiden Bagikan 124.120 Sertifikat, 5.512 di antaranya Hasil Penyelesaian Sengketa
Meski mengapresiasi perhatian pemerintah pada konflik agraria dan redistribusi lahan, KPA menilai penanganannya, khususnya konflik agraria, masih kasuistis dan belum sistematis di seluruh negeri.
Oleh
Nina Susilo
·5 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Pemerintah berupaya mewujudkan komitmennya untuk menjamin kepastian hukum hak atas tanah masyarakat. Sertifikat 124.120 bidang tanah dibagikan, termasuk di antaranya 5.512 bidang tanah yang sebelumnya berstatus sengketa. Namun, upaya penyelesaian konflik diharap lebih sistematis dan didukung kelembagaan yang kuat ke depan.
Penyerahan sertifikat redistribusi obyek reforma agraria tahun 2021 ini dilakukan Presiden Joko Widodo dari Istana Kepresidenan Bogor, Rabu (22/9/2021). Hal ini sekaligus menyambut Hari Agraria dan Tata Ruang yang diperingati setiap tanggal 24 September.
Hadir dalam acara ini Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofjan Djalil, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia, dan beberapa perwakilan penerima sertifikat dari Jawa Barat dan Banten. Sebagian besar penerima sertifikat dari daerah lain mengikuti acara secara virtual.
Sertifikat redistribusi obyek reforma agraria ini diberikan untuk 124.120 bidang lahan seluas 62.936,32 hektar dengan jumlah penerima 90.802 kepala keluarga. Bidang lahan yang disertifikatkan ini tersebar di 127 kabupaten/kota di 26 provinsi.
Presiden Joko Widodo menilai istimewa penyerahan sertifikat tersebut. ”Sebab, sertifikat-sertifikat ini tambahan tanah baru untuk rakyat yang berasal dari tanah negara hasil penyelesaian konflik, tanah telantar, dan pelepasan kawasan hutan,” tuturnya.
Lahan yang berkonflik kerap diadukan kepada Presiden. Rapat demi rapat digelar untuk membahas solusinya, baik rapat lintas kementerian/lembaga, rapat dengan kepala daerah, maupun pertemuan dengan organisasi masyarakat sipil.
Presiden juga mengakui, umumnya konflik lahan berlangsung lama, bahkan ada sengketa lahan yang sampai 40 tahun tak kunjung selesai. Untuk itu, setiap tahun ada kelompok-kelompok tani yang ke Jakarta, bahkan berjalan kaki, untuk mengadukan masalah ini.
Karenanya, Presiden menyatakan memahami betul sengketa lahan adalah tantangan berat bagi para petani, nelayan, maupun masyarakat yang menggarap lahan. Presiden pun menyampaikan komitmen negara untuk betul-betul mengurai konflik agraria, mewujudkan reforma agraria untuk masyarakat, dan memastikan ruang hidup yang adil bagi rakyat.
”Saya tidak ingin rakyat kecil tidak punya kepastian hukum terhadap lahan yang menjadi sandaran hidup mereka. Saya juga tidak ingin pengusaha tidak punya kepastian hukum atas lahan usahanya. Artinya, kepastian hukum atas tanah yang memberi keadilan kepada seluruh pihak adalah kepentingan kita bersama,” tutur Presiden.
Jangan ada lagi
Diharapkan, ke depan tidak ada lagi konflik agraria yang terjadi di berbagai daerah.
Salah satu penyelesaian sengketa lahan, menurut Sofjan, adalah tanah Sumberklampok, Bali, yang sudah berlangsung lebih dari 20 tahun. Penyelesaian ini didukung oleh kepala daerah, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, maupun Kepala Staf Kepresidenan.
Secara rinci, Direktur Jenderal Penataan Agraria Kementerian ATR Andi Tenrisau menyebutkan, dari sertifikat 124.120 bidang lahan obyek reforma agraria 2021, sebanyak 5.512 bidang lahan adalah obyek sengketa lahan yang masuk lokasi prioritas reforma agraria (LPRA) yang diusulkan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Gema Petani. Adapun LPRA usulan Serikat Petani Indonesia (SPI) masih berproses.
Proses penyelesaian lahan sengketa dilakukan bertahap mulai yang konfliknya paling sederhana dan bisa segera dirampungkan. Adapun penyelesaian sengketa lahan yang lebih kompleks dilakukan setelah ini.
Lahan sengketa yang kini sudah selesai dan disertifikatkan mencapai luasan 2.420 hektar untuk 5.512 bidang lahan. Sertifikat itu diterima 4.037 keluarga di delapan kabupaten/kota di enam provinsi, yakni Bali, Bengkulu, Sulawesi Tenggara, Jawa Tengah, Jambi, dan Jawa Timur.
Lokasi transmigrasi di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, yang diusulkan KPA, menurut Tenrisau, juga sudah disertifikatkan.
Adapun pelepasan kawasan hutan dilakukan di Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi, untuk 500 bidang tanah. Sertifikat lahan seluas 29,69 hektar diserahkan kepada 365 keluarga.
Tanah-tanah yang sudah besertifikat juga diharap bisa dimanfaatkan secara produktif. Karenanya, Presiden Jokowi meminta Kementerian Pertanian, Kementerian Koperasi dan UKM, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk memberikan bantuan modal, pupuk, bibit, serta pelatihan-pelatihan.
Berantas mafia tanah
Selain itu, Presiden juga meminta jajaran Kepolisian Negara RI supaya memberantas mafia tanah. ”Saya minta jangan ragu untuk mengusut mafia tanah. Jangan sampai ada aparat penegak hukum yang membekingi mafia tanah. Perjuangkan hak rakyat dan tegakkan hukum secara tegas,” tuturnya.
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mengapresiasi perhatian pemerintah pada konflik agraria dan redistribusi lahan reforma agraria. Kendati demikian, dia menilai penanganan konflik agraria ini masih kasuistis dan belum sistematis di seluruh negeri.
Kenyataannya, konflik agraria terjadi di berbagai wilayah dan sudah berlangsung sangat lama. Konflik agraria ini terjadi akibat penerbitan izin perkebunan, HGU, maupun konflik dengan Perhutani dan PTPN.
KPA saja, menurut Dewi, mengusulkan LPRA di 532 desa/kampung seluas lebih dari 654.854 hektar dan mewakili 201.000 keluarga. Sebanyak 333 desa berkonflik dengan perkebunan, sedangkan 199 lainnya dengan klaim-klaim kawasan hutan.
Adapun konflik agraria yang dihimpun KPA dari anggota-anggotanya sudah mencapai 1,1 juta hektar. ”Karenanya, kalau penanganan kasuistis dan hanya mencari yang clean and clear, apalagi menghindari kasus besar seperti yang berhadapan dengan PTPN dan Perhutani, kita harus menunggu ratusan tahun untuk selesai,” tutur Dewi.
Untuk itu, diperlukan terobosan dan diskresi hukum dari Presiden Joko Widodo untuk mempercepat penanganan konflik agraria ini. Selain itu, Dewi juga mengingatkan janji Presiden saat bertemu dengan organisasi masyarakat sipil pada Desember 2020, yakni merevisi Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.
Revisi ini diperlukan untuk memperkuat kelembagaan pelaksana reforma agraria. Sebab, konflik agraria terjadi lintas sektor. Untuk itu, diharap kelembagaan ini dipimpin langsung oleh Presiden. Payung hukumnya pun diharap berbentuk peraturan pemerintah.
”Kita perlu lembaga eksekutorial. Berapa kali petani jalan kaki ketemu Presiden, tetapi nggak kelar-kelar, sebab lahannya berkonflik dengan institusi di bawah (Kementerian) BUMN misalnya,” tambah Dewi.
Dari lahan yang sudah diberikan sertifikatnya tadi siang, seperti lahan warga transmigran di Konawe Selatan, Dewi mengatakan, petani tetap kecewa. Sebab, sertifikat hak atas tanah yang diberikan baru lahan pekarangan (permukiman) dan lahan usaha satu.
Ketika mengikuti transmigrasi, warga dijanjikan akan mendapatkan 2 hektar lahan yang terdiri atas 0,25 hektar lahan pekarangan, 0,75 hektar lahan usaha 1, dan sisanya lahan usaha 2. Namun, lahan usaha 2 warga transmigran ini keburu bertumpang-tindih dengan izin perkebunan dan bertahun-tahun berkonflik.
”Jadi kami masih menunggu lahan usaha 2 diserahkan kepada masyarakat. Kami akan lihat keseriusan pemerintah untuk menyegerakan penyelesaian konflik agraria, bukan hanya di permukaan,” tambah Dewi.
Adapun penyelesaian konflik lahan di Sumberklampok, Buleleng, menurut Dewi, diharap mampu memberikan kepercayaan diri kepada pemerintah untuk tidak ragu dan segera menuntaskan konflik lahan serupa di wilayah lain. Lahan di Sumberklampok ini berkonflik karena berhadapan dengan eks-HGU swasta dan aset Pemerintah Provinsi Bali.