Pemerintah sebagai pelayan rakyat menjalankan regulasi dan kebijakan di bawah legislasi negara untuk rakyat. CSO jadi cermin jujur dari realitas lapangan yang obyektif.
Oleh
USEP SETIAWAN
·4 menit baca
Menjelang tutup tahun 2020 terjadi perkembangan penting dalam dinamika reforma agraria nasional. Presiden Jokowi menggelar tiga kali rapat internal yang tak hanya dihadiri para menteri, tetapi juga aktivis gerakan reforma agraria dan perhutanan sosial.
Kantor Staf Presiden telah menindaklanjutinya dengan melakukan rapat koordinasi dengan Menteri ATR/Kepala BPN, Menteri LHK dan sejumlah pejabat eselon 1 dari 14 kementerian dan lembaga (K/ L) bersama empat pemimpin ormas sipil/CSO (23/12/2020). Dalam rapat dibahas perkembangan hasil identifikasi awal atas usulan CSO untuk penyelesaian konflik agraria, reforma agraria, dan perhutanan sosial.
Rapat memutuskan segera dibentuk tim kerja bersama pemerintah dan CSO, penyusunan rencana aksi bersama, dan pelaksanaan aksi bersama percepatan reforma agraria untuk 2021. Dalam rapat, keempat pimpinan CSO mengajukan setidaknya 163 lokasi usulan kepada pemerintah. Uraiannya, KPA mengusulkan 54 dari 430 lokasi prioritas reforma agraria, dan SPI menyodorkan 34 dari 135 kasus atau lokasi konflik agraria dan redistribusi tanah.
Lalu, BRWA mengajukan 27 dari 474 lokasi usulan penetapan hutan adat dan GEMA PS menyampaikan 48 kasus penyelesaian konflik, redistribusi tanah dan 82 lokasi usulan perhutanan sosial, khususnya di Jawa. Melihat kasus yang diajukan CSO, tipologi penyebabnya adalah kebijakan di sektor perkebunan, kehutanan, infrastruktur, transmigrasi, dan lainnya. Jika dilihat dari aktor yang terlibat, mencakup kategori masyarakat versus badan usaha milik swasta, BUMN, instansi pemerintah, atau masyarakat lainnya.
Langkah Presiden membuka pintu lebar bagi para aktivis reforma agraria dan lingkungan hidup menjadi momentum penambalan atas bolong komunikasi politik pemerintah setelah kontroversi pengesahan UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020.
Kesediaan Presiden mengundang 10 aktivis lingkungan hidup dan 10 aktivis reforma agraria pada 23 November 2020, dan empat pemimpin ormas sipil berpengaruh pada 3 Desember 2020 menjadi penanda kesungguhan niat pemerintah membuka mata dan telinga. Sebagian CSO ini barisan kritikus, bahkan penolak UU Cipta Kerja.
Presiden membuka pintu Istana bukan hanya guna mendengarkan dan menyerap aspirasi kalangan gerakan sosial, melainkan juga mengakomodasi substansi dan strategi pelaksanaan legislasi dan regulasi guna membuka dan memperluas lapangan kerja itu. Diakui tak semua kalangan CSO menyambut baik undangan ini.
Pemerintah tentu menghargai setiap pilihan pimpinan CSO. Pemerintah menaruh sangka baik bahwa ketidakhadiran juga merupakan partisipasi publik yang patut diapresiasi dan diberi ruang ekspresi. Makna esensinya yang mesti ditangkap pembuat dan pelaksana kebijakan negara.
Tiga prasyarat
Pelaksanaan reforma agraria perlu adaptasi kebiasaan baru dalam geliat pandemi Covid-19. Memperhatikan dinamika konsolidasi kementerian dan lembaga bersama sejumlah CSO di akhir 2020, hemat penulis terdapat tiga hal krusial yang bisa menjadi pertaruhan, yakni menyangkut cakrawala data, kesepahaman akan target dan limitasinya, serta penerapan prinsip kolaborasi.
Pertama, cakrawala data menjadi hal krusial untuk disepahami pemerintah dan CSO. Data yang diajukan CSO umumnya bersifat numerik, baik subyek maupun obyeknya. Data spasial berupa peta masih langka. Ini menyebabkan kerumitan dalam eksekusi pemerintah. Masalah data dan peta menjadi penghambat penyelesaian konflik agraria dan redistribusi tanah.
Karena itu, klarifikasi dan penyempurnaan data dan peta spasial seluruh titik lokasi kasus/usulan CSO untuk penyelesaian konflik agraria, redistribusi tanah dan perhutanan sosial, jadi agenda pertama yang harus dituntaskan dalam kerangka aksi bersama jangka pendek.
Kedua, kesepahaman akan target dan limitasi capaian. Perlu juga kesepahaman bersama mengenai alat ukur dalam menilai capaian dari rencana aksi percepatan pelaksanaan agenda besar ini. Target minimum, misalnya, terkumpul dan terklarifikasinya seluruh data dari usulan CSO oleh K/L terkait.
Target menengah, terklasifikasi dan tertanganinya seluruh data dan usulan tersebut. Inilah kerangka limitasinya. Target maksimumnya tentu adanya eksekusi penyelesaian kasus-kasus konflik agraria, redistribusi tanah, dan perhutanan sosial (terutama hutan adat).
Dalam kacamata Presiden, keberhasilan reforma agraria dan perhutanan sosial adalah keberdayaan rakyat secara ekonomi sehingga kemiskinan dan pengangguran di perdesaan dapat ditekan serendah mungkin.
Ketiga, aktualisasi prinsip kolaborasi pemerintah dengan CSO. Kolaborasi menjadi kunci guna mengurai kasus dan usulan lokasi reforma agraria dan perhutanan sosial. Seluruh menteri dan pejabat K/L harus menginternalisasi maksud Presiden.
Kolaborasi percepatan reforma agraria bermakna mendekatkan perspektif, memadukan pendekatan, dan menetapkan target capaian dari kesuksesan atau kegagalan. Makna kolaborasi diawali kemauan semua pihak untuk duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi.
Pemerintah sebagai pelayan rakyat menjalankan regulasi dan kebijakan di bawah legislasi negara untuk rakyat. CSO jadi cermin jujur dari realitas lapangan yang obyektif. Perlu keterpaduan keduanya supaya keadilan agraria beranjak nyata.
Usep Setiawan, Tenaga Ahli Utama di Kantor Staf Presiden