OTT di Hulu Sungai Utara, KPK Tetapkan Tiga Tersangka
Plt Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, dan Pertanahan Hulu Sungai Utara Maliki ditetapkan sebagai tersangka. Dua tersangka lain dari pihak swasta. Korupsi diduga terkait proyek rehabilitasi jaringan irigasi.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan tiga tersangka dari operasi tangkap tangan di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, pada Rabu (15/9/2021). Salah satunya adalah Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, dan Pertanahan Hulu Sungai Utara Maliki. Dua tersangka lain dari swasta yang diduga sebagai pemberi suap.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata dalam jumpa pers, Kamis (16/9/2021), di Jakarta, mengatakan, KPK sebenarnya mengamankan tujuh orang dalam kegiatan tangkap tangan di Hulu Sungai Utara. Namun, dari ketujuh orang yang diamankan, hanya tiga yang jadi tersangka.
Selain Maliki, dua tersangka dari pihak swasta adalah Marhaini selaku pemilik CV Hanamas dan Fachriadi selaku pemilik CV Kalpataru.
”Sebelum lelang ditayangkan di LPSE (Layanan Pengadaan secara Elektronik), MK (Maliki) diduga telah lebih dulu memberikan persyaratan lelang kepada MRH (Marhaini) dan FH (Fachriadi) sebagai calon pemenang lelang kedua proyek irigasi dengan kesepakatan memberi uang commitmentfee sebesar 15 persen (dari nilai proyek),” kata Alexander.
Adapun nilai kontrak dua proyek rehabilitasi jaringan irigasi tersebut masing-masing sebesar Rp 1,9 miliar. Setelah lelang, diterbitkan surat perintah pencairan dana bagi kedua CV tersebut. Sebagian uang diduga diberikan kepada Maliki melalui Mujib, orang kepercayaan Marhaini dan Fachriadi, sejumlah Rp 170 juta dan Rp 175 juta dalam bentuk tunai, sehingga total Rp 345 juta.
Menurut Alexander, hampir 90 persen korupsi yang terjadi di daerah menyangkut pengadaan barang dan jasa. Persentase tersebut mencakup penanganan kasus korupsi oleh KPK, kepolisian, dan kejaksaan. Hal itu menunjukkan bahwa sekalipun proses pengadaan barang dan jasa dilakukan secara elektronik, potensi terjadinya korupsi tetap ada.
”E-procurement ini tidak mengurangi kerawanan dalam proses pengadaan barang dan jasa karena persekongkolan bisa terjadi antara penyedia barang dan jasa dengan panitia lelang atau PPK (pejabat pembuat komitmen) atau KPA (kuasa pengguna anggaran) atau juga para penyedia barang itu sendiri yang melakukan persekongkolan secara horizontal,” ujar Alexander.
Larangan Mendagri
Secara terpisah, Staf Khusus Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Bidang Politik dan Media Kastorius Sinaga mengatakan, Mendagri Tito Karnavian melayangkan Surat Edaran Nomor 356/4995/SJ kepada semua kepala daerah. Isi surat itu adalah melarang kepala daerah mengeluarkan kebijakan yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
”Surat bertujuan untuk mendorong penyelenggaraan pemerintahan daerah tertib, efektif, transparan di atas kepatuhan terhadap perundang-undangan,” tambahnya.
Dalam surat edaran itu, pejabat pemerintahan yang berpotensi memiliki konflik kepentingan dilarang menetapkan atau melaksanakan keputusan ataupun tindakan. Ini utamanya apabila dilatarbelakangi lima hal, yakni adanya kepentingan pribadi atau bisnis, hubungan dengan kerabat dan keluarga, hubungan dengan wakil pihak yang terlibat, hubungan dengan pihak yang bekerja, dan mendapat gaji dari pihak yang terlibat.
”Dalam surat edaran juga ditekankan agar kepala daerah dan para pejabat pemerintahan daerah menghindari perbuatan meminta, memberi, ataupun menerima sumbangan, hadiah, dan bentuk lain yang mengandung konflik kepentingan atau tindak pidana korupsi dan yang berlawanan dengan isi sumpah jabatan serta yang berhubungan dengan penyalahgunaan jabatan,” paparnya.