Pandemi dan Kisah Para Presiden Kita Membaca Buku
Di antara buku-buku koleksi Istana Bogor, terdapat buku sejarah, seni, dan banyak lagi. Buku-buku itu dibaca Presiden Jokowi di sela-sela tugasnya memimpin negeri ini. Membaca juga jadi kegemaran presiden sebelumnya.
Presiden Joko Widodo pernah menyebutkan, buku menjadi benda penting yang menemaninya ketika menjalani keterbatasan fisik di masa pandemi Covid-19. Di Wisma Banyurini yang menjadi tempat tinggal Presiden Jokowi di Istana Bogor, deretan buku fisik menjadi ”harta” ilmu pengetahuan. Tak hanya buku pribadi milik Presiden, Istana Kepresidenan seperti halnya Istana Bogor menyimpan kekayaan koleksi buku-buku yang terpelihara sejak dulu.
Khazanah koleksi buku istana itu, antara lain, tampak menjadi latar belakang suasana ketika Presiden Jokowi melakukan panggilan video dengan peraih emas bulutangkis Paralimpiade Tokyo 2020 pada Minggu, (5/9/2021) lalu. Ratusan buku tampak tertata rapi di dalam bufet kayu panjang. Dari kaca penutupnya terlihat bahwa setiap buku diberi label putih di bagian sisi agak bawah untuk mempermudah proses pencarian buku. Label putih khas seperti yang biasa dijumpai di perpustakaan.
Ketika dihubungi Jumat (10/9/2021), Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono menyebut, buku-buku yang mempercantik latar panggilan video Presiden Jokowi tersebut merupakan buku koleksi Istana Bogor. Di antara koleksi beragam jenis buku tersebut, antara lain, terdapat buku sejarah, buku seni, dan banyak lagi. Buku-buku itu dibaca Presiden Jokowi jika ada waktu di sela tugasnya memimpin negeri ini.
Baca Juga: Saat di Rumah Saja, Waktunya Banyak Membaca
Buku menjadi benda penting yang menemani ketika menjalani keterbatasan fisik di masa pandemi Covid-19. (Presiden Joko Widodo)
Di tengah keterbatasan
Latar belakang deretan koleksi buku dengan hiasan guci-guci keramik mungil di atas bufet, terasa pas dengan suasana santai khas ruang baca. Presiden Jokowi pun menghadirkan kesan santai itu dengan memakai kaus putih tanpa kerah berlengan panjang. Dengan pintu yang dibiarkan terbuka lebar, Presiden Jokowi duduk di kursi kayu coklat dengan sandaran empuk di depan meja baca kayu.
Di meja yang warnanya senada dengan kursi dan bufet itulah, Presiden Jokowi meletakkan telepon seluler untuk menelepon para peraih emas bulu tangkis Paralimpiade Tokyo 2020. Atlet-atlet para-badminton Indonesia berhasil menorehkan prestasi membanggakan. Raihan dua medali emas disumbangkan Leani Ratri Oktila saat berpasangan dengan Khalimatus Sadiyah dari nomor ganda putri dan satu emas lagi didapat saat berpasangan dengan Hary Susanto dalam nomor ganda campuran.
Baca juga: Menjaga Kebebasan Sipil, Mendorong Literasi Digital
Presiden Jokowi pun menelepon para peraih medali emas dari cabang para-badminton untuk mengucapkan selamat secara langsung dan mengungkapkan rasa bangganya. Torehan medali emas tersebut mengakhiri puasa emas Indonesia di ajang Paralimpiade sejak 41 tahun lalu. ”Saya mewakili seluruh masyarakat Indonesia, seluruh rakyat Indonesia, mengucapkan selamat untuk medali emas cabang para-bulu tangkis,” ujar Presiden.
Di ruangan yang sama, terlihat beberapa buku yang ditata dan menjadi latar belakang Presiden Jokowi melakukan panggilan video dengan Greysia Polii dan Apriyani Rahayu, setelah pasangan ganda putri bulu tangkis Indonesia tersebut meraih medali emas di Olimpiade Tokyo 2020. ”Saya betul-betul senang banget. Jujur, saya sangat bangga apalagi waktu Indonesia Raya berkumandang,” ujarnya dari Istana Kepresidenan Bogor, pada Senin (2/8/2021).
Seperti halnya membaca, ruang baca agaknya memang menjadi tempat istimewa bagi Presiden Jokowi sehingga ia banyak berkegiatan di sana. Ketika memberikan ucapan selamat Hari Buku Nasional pada 17 Mei 2020, Presiden Jokowi sempat membagikan pengalaman pribadinya dengan buku. Selain buku fisik, Presiden Jokowi pun membaca buku digital.
Menjalani hari-hari di tengah pandemi Covid-19 ini, kita semua hidup dalam keterbatasan. Saat-saat seperti inilah kita lebih punya waktu membaca buku, baik buku fisik maupun buku digital. (Presiden Jokowi)
”Menjalani hari-hari di tengah pandemi Covid-19 ini, kita semua hidup dalam keterbatasan. Saat-saat seperti inilah kita lebih punya waktu untuk membaca buku, baik buku fisik maupun buku digital. Buku apa saja yang Anda baca selama masa pandemi ini?” ujar Presiden Jokowi dalam cuitan di akun Twitter maupun Instagram. Unggahan di Instagram memperoleh respons 501.059 like dari warganet.
Nilai buku ibarat ”taman sari”
A book is like a garden carried in the pocket. Pepatah Arab ini dengan elok menggambarkan nilai buku seperti sebuah taman. Apa yang terbayang ketika membicarakan taman? Tentu ada keindahan di sana. Pun halnya keanekaragaman, kesegaran, serta beragam aspek kehidupan lainnya. Ketika semuanya itu tercakup dalam sebuah buku yang mudah ditenteng bahkan masuk ke dalam saku, kian menariklah ”taman sari” berupa lembaran-lembaran kertas yang dijilid dengan untaian kata-kata bermakna itu.
Kira-kira seperti itulah saat kegemaran Presiden kita mengkoleksi dan membaca buku lewat berbagai medium di sela waktu senggang mereka atau sejak mereka masih muda. Presiden pertama RI, Soekarno atau Bung Karno, misalnya menyisihkan sebagian besar uang sakunya sebagai siswa HBS (hoogere burgerschool, sekolah menengah umum zaman Hindia Belanda) dan mahasiswa THS atau technische hooge school (sekarang ITB, Institut Teknologi Bandung), untuk sebuah buku.
Bung Karno memang sangat dikenal sebagai orator ulung sekaligus penulis yang terampil karena banyak membaca buku. Sejak kos di rumah tokoh HOS Tjokroaminoto di Surabaya, menjadi mahasiswa di ITB, Bandung, dan saat ditahan di Lembaga Pemasyarakat Sukamiskin, Bung Karno produktif menulis sebagai ”buah" dari membaca dan mengkoleksi butku. Karya-karyanya di antaranya kemudian dibukukan dalam buku di Bawah Bendera Revolusi. Koleksi dan bacaan Bung Karno sendiri diakui publik sangat berat. Sebut saja, misalnya Karl Marx dan Engels, tokoh filsafat dan politik semisal JJ Rousseau, Voltaire hingga negarawan besar dunia lainnya.
”Seluruh waktu kugunakan untuk membaca. Sementara yang lain-lain bermain-main, aku belajar. Aku mengejar ilmu pengetahuan di samping pelajaran sekolah. Kami mempunyai perpustakaan yang besar di kota ini yang diselenggarakan oleh perkumpulan Theosofi. Bapakku seorang Theosofi karena itu aku boleh memasuki peti harta ini, di mana tidak ada batasnya buat anak seorang miskin. Aku menyelam sama sekali ke dalam dunia kebatinan ini. Dan di sana aku bertemu dengan orang-orang besar. Buah pikiran mereka menjadi buah pikiranku. Cita-cita mereka adalah penderitaan dasarku.” (Presiden Soekarno)
”Seluruh waktu kugunakan untuk membaca. Sementara yang lain-lain bermain-main, aku belajar. Aku mengejar ilmu pengetahuan di samping pelajaran sekolah. Kami mempunyai perpustakaan yang besar di kota ini yang diselenggarakan oleh perkumpulan Theosofi. Bapakku seorang Theosofi, karena itu aku boleh memasuki peti harta ini, di mana tidak ada batasnya buat anak seorang miskin. Aku menyelam sama sekali ke dalam dunia kebatinan ini. Dan di sana aku bertemu dengan orang-orang besar. Buah pikiran mereka menjadi buah pikiranku. Cita-cita mereka adalah penderitaan dasarku," kata Bung Karno, saat masih kos di rumah HOS Tjokroaminoto di Surabaya (Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, 2007).
Baca juga: Para Pendiri Bangsa, Buku, dan Politisi Masa Kini
Guntur Soekarnoputra, putra sulung Bung Karno, dalam bukunya Bung Karno dan Kesayangannya, pernah menuliskan kegemaran Bung Karno membaca buku. Koleksi buku Soekarno, Presiden pertama RI tersebut, tulis Guntur, mencapai 4.000-5.000 buku.
Melalui buku karya Guntur itu, dapat diperoleh informasi bahwa Bung Karno mengumpulkan koleksi buku-bukunya secara teratur. Buku tersebut sedikit demi sedikit dikumpulkan sejak zaman Belanda, zaman Jepang, dan zaman Kemerdekaan.
Selain itu, Bung Karno mendapatkan buku dari uang hasil ”ngobyek” sebagai insinyur di zaman Belanda. Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengobjek memiliki arti kiasan, yakni mengerjakan usaha sambilan secara tidak tetap untuk menambah penghasilan.
Baca Juga: Agus Widjojo dan Monumen Soekarno Membaca Buku
Bung Karno pun membeli buku dari uang honorarium sebagai pimpinan PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) di zaman Jepang dan uang gajinya sebagai Presiden RI di zaman Kemerdekaan. Masih menurut pengisahan Guntur, Bung Karno juga mendapatkan buku dari pemberian, hadiah, minta secara gratis, dan bahkan barter alias tukar-tukaran.
Bung Karno mempraktikkan pula cara barter ini saat mengumpulkan koleksi bukunya. Sebagai contoh, dia menukar buku karyanya, yakni Under the Banner of The Revolution (Di Bawah Bendera Revolusi) dan Indonesia Accuses (Indonesia Menggugat) dengan buku Neo-Colonialism karangan Dr Kwame Nkrumah. Sosok yang disebut terakhir ini adalah Presiden pertama Republik Ghana.
Bung Karno juga pernah mendapat gratisan. Singkat cerita, dengan nada jenaka, Guntur mengisahkan ketika Bung Karno ”mbajak” buku temannya, yakni Ruslan Abdul Gani. Kedua tokoh bangsa tersebut diketahui sama-sama hobi buku. Keduanya pun sering saling memamerkan buku-bukunya yang baru.
”Tjak, bukumu tak silih (Cak, bukumu kupinjam),” kata Bung Karno di satu kesempatan. Dan, kalau Bung Karno sudah terlalu lama meminjamnya, Ruslan pun menanyakannya, ”Bung, piye bukune? (Bung, bagaimana bukunya?).” Kontan Bung Karno menjawab, ”Bukumu apik Tjak! Wis nggo aku wae (Bukumu bagus Cak! Sudahlah, buat aku saja).” Ha-ha-ha-ha ....
Buku juga menjadi harta berharga bagi Proklamator Mohammad Hatta atau Bung Hatta. Bahkan, ketika menikah, buku pula yang menjadi mas kawin Bung Hatta bagi istrinya, Rachmi Rahim. Bung Hatta pernah berkata, ”Aku rela dipenjara asalkan bersama buku karena dengan buku aku bebas.”
Betul, saat dikucilkan penjara di Boven Digoel, Bung Hatta yang kemudian menjadi Wakil Presiden pertama RI membawa 16 koper yang isinya bukan baju, tapi buku.
Presiden Soeharto yang menggantikan Presiden Soekarno dikenal sebagai seorang militer sejati. Publik tak banyak yang mengatahui kegemaran Presiden kedua RI di bidang literasi. Tak heran jika banyak pihak yang menilai Presiden Soeharto adalah orang yang tidak memiliki kebiasaan membaca dan tak terlalu terobsesi dengan pemikiran dan teori-teori. Jenderal Soeharto adalah orang lapangan.
Dari sejumlah infomormasi yang ditelusuri Kompas pada mereka yang pernah mengabdi di era Orde Baru, Presiden ini lebih banyak mendapat laporan dari menteri atau anak buahnya selain membaca berita aktual dari koran dan majalah. ”Bacaannya sebatas koran-koran dan majalah serta laporan-laporan ringkas yang disiapkan oleh stafnya,” seperti kata RE Elson dalam bukunya Suharto: Sebuah Biografi Politik (2005).
Buku hingga koran
Presiden ke-3 RI, BJ Habibie juga demikian. Ia gemar membaca buku hingga akhir hayatnya. Perpustakaan pribadi di rumahnya di jalan Denpasar, Kuningan, Jakarta, menjadi bukti kegemarannya membaca buku. Kekuatan intelektualnya tak hanya muncul dari bakatnya tetapi juga yang diasah terus-menerus melalui kebiasaannya membaca buku sejak mahasiswa di Jerman, hingga dipercaya Presiden Soeharto menjadi teknolog.
Kecintaan terhadap buku juga melekat pada figur Presiden keempat RI, Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur. Buku biografi Gus Dur yang ditulis Greg Barton, The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid (2003), menggambarkan sepeninggal Wahid Hasyim (ayah Gus Dur) akibat kecelakaan di tahun 1953, Solichah (ibunda Gus Dur) mendorong anak-anaknya membaca surat kabar dan buku-buku yang berserakan di rumah mereka.
Pada tahap ini, demikian tulis Greg, Gus Dur (saat itu berusia sekitar 12 tahun) sudah menjadi pecandu bacaan. Dia jarang pergi keluar tanpa membawa sebuah buku. Apabila ada sesuatu yang tak dapat ditemukannya di perpustakaan di rumahnya, Gus Dur pun diizinkan mencarinya di toko-toko yang menjual buku-buku bekas di Jakarta. Dalam mencari bahan bacaan, teman-teman keluarga mereka yang besar jumlahnya merupakan sumber sangat berharga.
Baca Juga: Gusdurian dan Kerja Kebudayaan
Masih dari buku Greg kita mendapat informasi bahwa pada tahun 1954 Gus Dur dikirim ke Yogyakarta untuk melanjutkan sekolah di SMP. Untuk melengkapi pendidikan Gus Dur, diaturlah agar ia dapat pergi ke Pesantren Al-Munawwir di Krapyak tiga kali seminggu. Di sini, Gus Dur belajar bahasa Arab kepada KH Ali Ma’shum.
Ketika di Jakarta, tulis Greg, kemampuan bahasa Arab Gus Dur masih pasif. Bahasa Inggris memang telah dikuasainya dengan baik. Gus Dur pun dapat membaca tulisan dalam bahasa Prancis dan Belanda. Namun, ketika di Yogyakartalah kemampuan membaca Gus Dur melesat jauh. Banyak buku dilahapnya.
Baca Juga: Gus Dur, Humor, dan Demokrasi
Das Kapital karya Karl Marx dan What is To be Done karya Lenin pun digelutinya. Lewat sastra klasik, Gus Dur membina kecintaannya akan kemanusiaan. Gus Dur juga membaca karya-karya para intelektual Islam pascaperang Dunia Kedua. Bacaannya luas, tak sekadar kajian keagamaan. Dia membaca semua karya William Faulkner, novel-novel Ernest Hemingway, puisi Edgar Allan Poe dan John Done, Andre Gide, Kafka, Tolstoy, dan Pushkin, selain senang menulis.
Sosok Presiden kelima RI, Megawati Soekarnoputri dinilai lebih kental mewarisi darah seniman ayahnya, Presiden Soekarno ketimbang minatnya membaca buku. Sebagai seorang politisi, perjalanan karier Megawati tergolong cukup kaya. Selain anggota DPR, Ketua Umum PDI-P, juga menjadi Wakil Presiden hingga menjadi Presiden RI. Meski demikian, belum diketahui pasti apakah Megawati gemar senang membaca buku seperti ayahnya atau tidak. Kegemarannya selama ini disebut-sebut lebih senang menari, menyanyi dan menonton. Kadangkala juga, diceritakan juga kerap meluangkan waktu membaca majalah dan koran.
Sebagai militer dan mantan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan di era Presiden Megawati, Presiden Susilo Bambang Yudhyono atau SBY, sudah jelas sosok yang gemar membaca buku. Berbeda dengan Presiden Soeharto yang orang lapangan, Presiden SBY dikenal sosok yang kerap berpegang pada konsep dan teoretik. Jangan heran jika ia sempat menjadi doktor dari Institut Pertanian Bogor (IPB) jelang mengikuti Pemilihan Pesiden 2004. Selain rajin membeli buku, Presiden SBY selalu menyempatkan membaca sejumlah buku. Saat menjadi Presiden dua kali periode 2004-2009 dan 2009-2014, koleksi buku Presiden SBY tercatat ada 16 ribu judul.
Meski sibuk sebagai Presiden, SBY mengaku pernah melahap dua buku dalam seminggu. ”Ada dua bacaan saya minggu ini. Di antaranya buku yang ditulis oleh Harun Yahya, seorang penulis, cendekiawan Muslim yang tersohor berkebangsaan Turki. Karyanya ada puluhan dan telah diterjemahkan lebih dari 15 bahasa di dunia dan menjadi rujukan komunitas Islam bahkan komunitas non-Islam di seluruh dunia. Buku yang saya baca berjudul Melihat Kebaikan dalam Segala Hal,” kata Presiden SBY saat berbuka puasa di Istana Bogor, saat masih menjabat.
Salah satu Wakil Presiden yang gemar membaca selain Bung Hatta adalah Wapres ke-10 dan ke-12 RI, Jusuf Kalla. Dalam kesempatan senggang apa pun di dalam maupun di luar negeri, JK kerap membaca buku apa pun terkait pemerintahan, politik ekonomi, manajemen, agama dan hukum. Saat Kompas berkunjung ke rumah pribadinya di Jalan Brawijaya, Kebayoran Baru, Jakarta, koleksi bukunya tertata rapi di rak-rak bukunya. ”Setiap habis baca, buku selalu saya letakkan di sini agar saya mudah mencarinya lagi,” ujar JK menunjuk buku-buku di rak bukunya di lantai dua rumahnya yang menjadi ruang kerja dan bacanya sehari-hari.
Kenikmatan mereguk kebebasan lewat buku, itulah yang terus dikecap oleh para pemimpin negara di sela padatnya tugas kenegaraan. Tak hanya menambah persfektif berpikir dan meningkatkan kemampuan menulis dan berbicara, juga membuat kebahagiaan seseorang.