Gusdurian dan Kerja Kebudayaan
Corak aktivisme Gusdurian yang sangat inklusif dan bisa bersinergi dengan berbagai kalangan tidak menutup kemungkinan Gusdurian akan menjadi ”role model” kerja kebudayaan yang mampu melakukan perubahan sosial.
”Kerja kebudayaan itu terjal dan licin, memerlukan stamina yang kuat dan energi yang tinggi. Inilah jalan penting yang ditempuh aktivis Gusdurian”.
Kalimat sederhana, tetapi sarat makna ini merupakan sepenggal orasi yang disampaikan Ibu Sinta Nuriyah dalam puncak acara temu nasional Gusdurian yang dilaksanakan secara daring, 16 Desember 2020.
Ungkapan ini merefleksikan sebuah perjuangan tanpa lelah yang pernah dilakukan almarhum Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Sebagai pribadi yang digambarkan Greg Barton dalam buku Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, sebagai multidimensional di berbagai sisi: budayawan, agamawan, dan intelektual; terlalu naif apabila warisan Gus Dur mengalami involusi dan tak berkelanjutan.
Oleh karena itu, kehadiran Gusdurian yang berdiri sejak 2010 dan hingga kini sudah tersebar di 130 kota di berbagai penjuru Tanah Air menjadi penerus risalah kemanusiaan yang sudah diwariskan Gus Dur di berbagai praktik kehidupannya. Setidaknya, pengalaman hidup Gus Dur yang penuh warna itu bisa dikontekstualisasi dan diprofilerasi sesuai perkembangan zaman.
Setiap penggiat Gusdurian yang ada di sejumlah daerah memiliki keleluasaan untuk memanifestasikan spirit Gus Dur.
Sembilan nilai utama Gus Dur
Dalam kaitan ini, Gusdurian yang selama sepuluh tahun konsisten dengan kerja kebudayaan selalu berupaya menerjemahkan pemikiran dan perjuangan Gus Dur di berbagai tantangan kehidupan. Setiap penggiat Gusdurian yang ada di sejumlah daerah memiliki keleluasaan untuk memanifestasikan spirit Gus Dur.
Agar setiap penggiat Gusdurian mempunyai code of conduct yang terarah dalam melaksanakan berbagai kerja kebudayaan dan selaras dengan spirit dan ajaran Gus Dur, ada sembilan nilai utama Gus Dur yang menjadi acuannya.
Pertama, ketauhidan yang menjadi sumber keimanan kepada Allah yang tak hanya dilafalkan, tetapi juga disaksikan dan disingkapkan. Selain itu, ketauhidan menjadi poros nilai-nilai ideal yang melampaui kelembagaan dan birokrasi agama. Bahkan, ketauhidan menjadi sebuah world view untuk mendesain sebuah perilaku dan perjuangan dalam menegakkan nilai-nilai kemanusiaan.
Kedua, dari sistem ketauhidan yang inklusif dan kosmopolitan, ekspresi lanjutannya ialah menumbuhkan spirit kemanusiaan yang menjadi cerminan sifat-sifat ketuhanan. Ketika sifat-sifat Tuhan mengajarkan kasih sayang, memuliakan, menghormati, dan lain sebagainya, sifat-sifat itu perlu diaplikasikan dalam setiap pemikiran dan perjuangan.
Ketiga, keadilan yang berkelindan dengan sebuah pandangan bahwa kemanusiaan bisa ditegakkan apabila ada keseimbangan, kelayakan, dan kepantasan dalam kehidupan masyarakat. Maka, keadilan yang humanis harus diperjuangkan agar bisa membela setiap orang atau kelompok yang diperlakukan tidak adil.
Keempat, kesetaraan yang berangkat dari komitmen diri bahwa setiap orang sejatinya sama di hadapan Tuhan. Tidak sepatutnya setiap orang melakukan diskriminasi, subordinasi, dan marjinalisasi kepada sesama manusia.
Kelima, pembebasaan yang tumbuh dari jiwa yang merdeka, bebas dari rasa takut, dan otentik. Dengan spirit pembebasan ini, setiap orang perlu bertanggung jawab menegakkan kesetaraan dan keadilan serta melepaskan diri dari berbagai belenggu.
Ketujuh, persaudaraan harus dibangun atas dasar egalitarianisme yang mengedepankan penghargaan, keadilan, kesetaraan, dan semangat menggerakkan kebaikan bersama.
Keenam, kesederhanaan harus dieksternalisasi, diinternalisasi, dan diobyektifikasi sebagai budaya perlawanan atas sikap berlebihan, materialistis, dan koruptif. Konseptualisasi ini sangat penting sebagai jalan pikiran substansial, perilaku hidup yang wajar, dan sikap yang patut.
Ketujuh, persaudaraan harus dibangun atas dasar egalitarianisme yang mengedepankan penghargaan, keadilan, kesetaraan, dan semangat menggerakkan kebaikan bersama. Dengan cara ini, setiap orang bisa berkomitmen untuk menjadikan persaudaraan sebagai dasar memajukan peradaban.
Kedelapan, keksatriaan adalah ekspresi keberanian untuk memperjuangkan dan menegakkan nilai-nilai yang diyakini bisa mencapai tujuan. Namun, keberanian menjalaninya harus dilandasi dengan integritas pribadi yang penuh rasa tanggung jawab, komitmen yang tinggi, dan konsisten.
Kesembilan, kearifan tradisi harus dijadikan sebagai sumber gagasan dan pijakan sosial-budaya-politik dalam membumikan keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan. Sumber kearifan tradisi bisa digali dari Pancasila, konstitusi UUD 1945, prinsip Bhinneka Tunggal Ika, serta seluruh tata nilai kebudayaan Nusantara yang beradab.
Jejaring aktivisme
Kesembilan nilai utama Gus Dur yang menapasi kerja kebudayaan Gusdurian menjadi modalitas sosial dalam menggerakkan pola aktivisme di berbagai lini. Setiap orang yang merasa terinspirasi dengan pemikiran dan perjuangan Gus Dur serta berkomitmen untuk melanjutkan warisan Gus Dur bisa berjejaring dengan berbagai kalangan.
Di samping itu, setiap individu, komunitas, ataupun organisasi yang melibatkan diri dalam Gusdurian tentu harus dilandasi oleh semangat voluntarisme yang tak terikat dengan kerja-kerja politik. Sikap ini penting dikedepankan agar proses pelibatan diri dalam kerja kebudayaan tak terjebak dengan konflik kepentingan.
Dalam kaitan ini, positioning Gusdurian yang memilih tetap konsisten dengan kerja kebudayaan yang bersifat non-politik menunjukkan idealisme pergerakan yang bisa memperkuat tatanan keindonesiaan yang beradab. Apalagi, isu penting yang dikawal oleh Gusdurian berhubungan dengan Islam dan keimanan, kultural, negara, dan kemanusiaan.
Apalagi, secara sosiologis, pola aktivisme Gusdurian dilingkupi oleh kesadaran bersama untuk setia melanjutkan pemikiran dan perjuangan Gus Dur.
Menjadi wajar apabila perjalanan satu dasawarsa Gusdurian yang diminati oleh berbagai kalangan lintas agama, lintas profesi, dan lintas kelompok tidak mudah diseret oleh kekuatan tertentu yang ingin memanfaatkan nama besar Gus Dur untuk kepentingan dirinya. Apalagi, secara sosiologis, pola aktivisme Gusdurian dilingkupi oleh kesadaran bersama untuk setia melanjutkan pemikian dan perjuangan Gus Dur.
Oleh karena itu, dengan corak aktivisme Gusdurian yang sangat inklusif dan bisa bersinergi dengan berbagai kalangan, tidak menutup kemungkinan Gusdurian akan menjadi role model kerja kebudayaan yang mampu melakukan perubahan sosial dalam kehidupan. Sebab, dalam Gusdurian ada sebuah kebanggaan untuk mengatasnamakan dirinya sebagai anak kandung ideologis Gus Dur yang ingin bertanggung jawab untuk menciptakan kemaslahatan dan kebajikan bersama di setiap sendi kehidupan.
(Fathorrahman Ghufron, Wakil Katib PWNU Yogyakarta; Wakil Dekan Kemahasiswaan dan Kerja Sama Fakultas Saintek UIN Sunan Kalijaga)