Saat di Rumah Saja, Waktunya Banyak Membaca
Peringatan Hari Buku Nasional 2020 berlangsung meriah di dunia maya. Perbincangan aneka unggahan buku sampai rak buku fisik berlangsung riuh. Di balik itu, banyak tuntutan perbaikan industri dan tata niaga buku.
”Menjalani hari-hari di tengah pandemi Covid-19 ini kita semua hidup dalam keterbatasan. Saat-saat seperti inilah kita lebih punya waktu untuk membaca buku, baik buku fisik maupun buku digital. Buku apa saja yang Anda baca selama masa pendemi ini?”
Pernyataan itu dicuitkan @jokowi, akun resmi Presiden Joko Widodo, di Twitter. Tweet ini memperoleh 1.941 retweet, 1.470 komentar, dan 14.000 likes. Komentar beragam dari banyak akun.
Pernyataan serupa disampaikan lewat akun @jokowi di Instagram. Unggahan ini juga mendapat banyak respons: 474.188 likes, 3.191 komentar. Terhadap unggahan Presiden Jokowi pada Hari Buku Nasional di Twitter dan Instagram, komentar warga internet beragam.
Ada yang mendukung lontaran presiden sebagai kampanye untuk membaca buku saat pandemi dan warga di rumah saja. Ada yang menyelidik, buku apa saja yang dibaca Presiden sekarang. Tak sedikit yang menggugat pemerintah yang selama ini dinilai kurang menyokong industri perbukuan dan kurang serius memperjuangkan literasi.
Apa pun respons yang muncul, setidaknya obrolan tentang buku memuncaki topik tren di media sosial. Di Twitter, pada hari-H Hari Buku Nasional, tren ini bahkan sempat nangkring di nomor dua. Presiden hanya salah satu dari banyak influencer (tokoh berpengaruh) yang mendorong obrolan soal buku. Mereka para pegiat industri buku, seperti penulis, penerbit, pengusaha buku, dan pembaca buku.
Sebagai contoh, pendiri Foodbank of Indonesia, Wida Septarina Utomo, mengunggah foto-foto Oda, anaknya, saat membaca buku di Instagram dan Facebook. Kompilasi foto itu disertai ucapan selamat Hari Buku Nasional 2020 dan kutipan pernyataan Walt Disney tentang buku yang menyimpan banyak harta karun.
Wida memanfaatkan Hari Buku Nasional untuk mengajak keluarga mencintai buku, termasuk buku digital sesuai perkembangan zaman. ”Keluarga kami sejak dulu pencinta buku. Kami percaya, peradaban dapat dibangun dengan pengetahuan,” ujarnya saat dihubungi, Senin (18/5/2020).
Baca juga: Hari Buku Nasional, Penerbit Genjot Pasar Daring
Kampanye baca buku
Hari Buku Nasional diperingati setiap tanggal 17 Mei. Pemilihan tanggal ini memiliki cerita sejarah. Pada 17 Mei 1980, Perpustakaan Nasional RI didirikan. Pada tanggal yang sama, 70 tahun silam, Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) resmi berdiri.
Berangkat dari tanggal bersejarah itulah, pada 2002, Menteri Pendidikan Kabinet Gotong Royong Abdul Malik Fadjar mencanangkan adanya peresmian Hari Buku Nasional. Harapannya, memacu minat baca dan penjualan buku.
Peringatan Hari Buku Nasional tahun 2020 ini menjadi istimewa karena berlangsung di tengah pandemi Covid-19 dengan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang mendorong semua warga tinggal di rumah saja. Saat di rumah, masyarakat diminta memanfaatkan waktu senggang untuk membaca buku. Seruan itu juga dilontarkan di media sosial.
Pemilik akun Twitter Harri Gieb @harrigieb mencuit, ”Sebelum menjadi kolektor buku-buku sufi, saya biasa mengoleksi buku-buku kiri. Pernah diliput koran Media Indonesia.” Cuitannya ini disertai unggahan foto kliping koran yang berisi kisahnya sebagai bukti. Harri Gieb merupakan pendiri Toko Buku Balzac yang terletak di Pasar Buku Kenari, Jakarta.
Pegiat hak-hak pekerja migran Indonesia sekaligus Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo, melalui akun Twitter-nya @wahyususilo, menuliskan kicauan tentang sepenggal lagu Wiji Thukul yang pernah dinyanyikan band Fajar Merah. Isinya menyindir orang-orang yang banyak membaca buku, tetapi mulut bungkam melulu.
Sementara itu, penulis buku Moammar Emka melalui akun Twitter-nya, @moammaremka, mengunggah kompilasi foto buku-buku yang pernah dia tulis dan dipajang di rak sejumlah toko buku. Kompilasi foto ini disertai keterangan singkat, ”Selamat #HariBukuNasional”.
Saat dihubungi, Senin (18/5/2020), di Jakarta, Moammar mengatakan, refleksi setiap orang terhadap Hari Buku Nasional berbeda-beda. Akan tetapi, dirinya memilih untuk mengunggah foto tersebut sebagai bagian dari perayaan. Refleksinya sesederhana itu. ”Survival sebagai penulis dari tahun ke tahun,” ujarnya.
Menurut dia, beberapa tahun terakhir, peringatan Hari Buku Nasional masih diwarnai isu seputar migrasi akses memperoleh dan membaca buku dari luring ke daring. Semakin mudahnya akses, tetapi belum diikuti dengan semakin meningkatnya kegemaran membaca buku, apa pun wujudnya.
Sebelum ada pembatasan sosial karena pandemi Covid-19, kelompok masyarakat kelas menengah-bawah menganggap buku sebagai barang tersier. Ini tidak terjadi di kelompok masyarakat kelas menengah ke atas. Mereka biasa mengeluarkan uang untuk memburu minuman kopi, tetapi enggan membeli buku untuk dibaca.
Ketika pembatasan sosial terjadi, fokus pikiran sebagian besar orang adalah bertahan hidup. Maka, mereka membeli barang-barang yang memang bisa membuatnya bertahan. Buku kembali menjadi bukan prioritas.
”Ada masa mengenai buku-buku laris, yang artinya penjualannya bisa sampai ratusan ribu. Kalau sekarang, saya rasa, kondisinya sudah berubah. Pendapatan buku digital masih belum banyak menutup operasional,” ucapnya.
Baca juga: Literasi Terhambat Minimnya Akses Buku dan Budaya Membaca
Literasi
Di balik heboh obrolan di media sosial, sebagian kalangan berefleksi lebih serius soal literasi. Dalam dialog interaktif secara live di Instagram, ”Inspirasi di Tengah Pandemi”, penulis Dewi Lestari menyentil kondisi industri perbukuan di Tanah Air. Dukungan pemerintah untuk menggairahkan industri sudah ada, tetapi harus diperluas sampai memperkuat ekosistem, regulasi, dan kultur membaca. Keragaman kondisi geografis dan strata ekonomi masyarakat memang menjadi tantangan utama.
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Persatuan Penulis Indonesia Satupena Kanti W Janis menyoroti pemerintah yang terkesan lepas tangan dan tidak serius mengatur tata niaga. Perlindungan kekayaan intelektual nyaris tidak terdengar. Akibatnya, masyarakat menerima buku mahal dan kualitas rendah.
”Penulis tercekik oleh penerbit yang hanya kasih royalti 10 persen, belum lagi pajak royalti 15 persen dari pemerintah. Penerbit terjerat potongan dari distributor 60 persen dan toko buku meminta potongan 40 persen ke distributor,” katanya. Kondisi itu mesti diperbaiki oleh pemerintah dan semua pemangku kepentingan.
Founder Fixpit, pedagang daring buku indie dan umum asal Yogyakarta, Ferry Eka, memandang, ada berbagai macam dimensi yang bisa direfleksikan saat peringatan Hari Buku Nasional. Dari dimensi industri dan tata niaga, dia sependapat dengan pemikiran Kanti.
”Refleksi lainnya adalah ajakan mengubah persepsi kebanyakan masyarakat dari orang gemar membaca buku sebagai nerd menjadi keren. Kita seharusnya lebih sering membaca buku di tempat umum karena aktivitas itu keren,” ujarnya.
Dia mengaku, kulakan buku dari distributor resmi mitra penerbit, seperti Bentang Pustaka dan Gramedia. Penjualan buku dilakukan melalui Instagram dan platform laman pemasaran agar mudah menjangkau pembaca usia muda. Melalui akun Instagram Fixpit, Ferry ikut memperingati Hari Buku Nasional dengan unggahan ajakan untuk tidak membeli buku bajakan, apa pun format/wujud. Ajakan itu diharapkan bisa berkontribusi terhadap perbaikan ekosistem industri ataupun tata niaga perbukuan di Indonesia.
Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Pusat Rosidayanti Rosalina menyampaikan, Ikapi berkolaborasi dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif untuk kembali menggairahkan industri perbukuan, terutama sejak pandemi Covid-19. Ada program ”Nulis dari Rumah” untuk memberikan stimulus kegairahan menulis. Karya-karya tulisan terbaik hasil seleksi nanti akan dikembangkan bersama subsektor ekonomi kreatif lainnya.
Baca juga: Apa Jadinya Peradaban Tanpa Membaca?