Pelajaran Berharga dari Kebakaran Lapas Tangerang
Lapas Kelas I Tangerang, Banten, dibangun di atas lahan seluas 5 hektar pada tahun 1977. Sejak awal berdiri hingga saat ini, instalasi listrik di lapas itu belum pernah diperbaiki.
Kebakaran yang melanda Blok C-2 Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tangerang, Banten, Rabu (8/9/2021) dini hari, masih menyisakan banyak tanya. Dari penyebab pasti kebakaran, sistem keamanan gedung, kesiapan mitigasi bencana, hingga dugaan adanya keributan antarwarga binaan.
Hingga kini belum diketahui dari mana awal munculnya api. Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly saat meninjau lokasi kebakaran, Rabu siang, hanya mengatakan, ”Dugaan sementara adalah karena persoalan hubungan pendek arus listrik.”
Hal yang pasti, jumlah warga binaan yang mengisi Blok C-2 tiga kali lipat lebih banyak dari kapasitas tampung. Dengan daya tampung 38 orang, 19 sel di Blok C-2 diisi 122 warga binaan. Padatnya hunian itu ditengarai menjadi salah satu sebab banyaknya warga binaan yang tak terselamatkan.
Selama 44 tahun instalasi listrik di Lapas Kelas I Tangerang itu tidak pernah diperbaiki. Selama ini yang dilakukan hanyalah penambahan daya listrik
Saat kejadian, 40 warga binaan ditemukan tewas di dalam sel, dan satu lainnya meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit. Pada Kamis (9/9/2021) pagi, dua dari delapan warga binaan yang dirawat di RSUD Kabupaten Tangerang dilaporkan meninggal sehingga total korban tewas mencapai 43 orang.
Banyaknya korban tewas membuat banyak kalangan mempertanyakan sistem pengamanan gedung dan prosedur mitigasi bencana. Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo, misalnya, langsung meminta Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) memeriksa kelengkapan peralatan pengamanan lapas. Selain itu juga meminta agar Kemenkumham mengevaluasi prosedur mitigasi bencana.
Bangunan Lapas Kelas I Tangerang memang tergolong tua, dibangun pada tahun 1977. Menurut Yasonna, selama 44 tahun instalasi listrik di Lapas Kelas I Tangerang itu tidak pernah diperbaiki. Selama ini yang dilakukan hanyalah penambahan daya listrik.
Baca juga: Darurat Manajemen Lapas
Saat kebakaran terjadi, kata Yasonna, terdapat kamar sel yang tidak sempat terbuka. Sejumlah warga binaan di dalam sel yang terkunci itu tidak dapat diselamatkan. cProtap lapas memang harus dikunci, ketika diketahui pengawas, api sudah menyebar. Di situlah korban kami temukan,” tuturnya.
Audit bangunan
Peneliti Center for Detention Studies (CDS) Gatot Goei mengatakan, kebakaran di Lapas Kelas I Tangerang merupakan momentum bagi Kemenkumham mengaudit standar bangunan lapas di Indonesia secara komprehensif. Pasalnya, Lapas Kelas I Tangerang merupakan gedung yang telah didirikan sejak 1977 dan belum pernah direnovasi secara signifikan.
Sebagian besar bangunan terdiri atas bahan yang mudah terbakar, antara lain kayu, sehingga api dengan cepat menyambar ke sejumlah bagian. Instalasi listrik pun diduga tidak diperbarui sejak lama sehingga lebih mudah mengalami masalah.
Kerawanan yang sama juga terjadi pada mayoritas lapas di Indonesia. Menurut Gatot, hampir 70 persen dari total 528 lapas yang ada merupakan bangunan yang didirikan dalam kurun waktu pemerintahan kolonial Belanda hingga dekade 1980-an. Memasuki dekade 2000-an, sejumlah lapas baru didirikan, tetapi keamanan dari kebakaran tidak bisa dipastikan.
”Baik bangunan lama maupun baru umumnya masih menggunakan bahan-bahan yang mudah terbakar, tidak sesuai dengan standar bangunan penjara,” kata Gatot dihubungi dari Jakarta, Rabu,
Mengacu Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Nomor M.01.PL.01.01 Tahun 2003 tentang Pola Bangunan Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan, pembangunan lapas wajib memenuhi ketentuan tentang persyaratan pagar, pintu, jalan, gedung, utilitas, dan prasarana lingkungan. Dalam peraturan tersebut, tidak disebutkan bahwa pembangunan bagian-bagian lapas diperbolehkan menggunakan kayu. Pembangunan pagar, pintu, dan kusen justru diminta menggunakan besi. Diketahui, besi merupakan bahan yang lebih tahan panas ketimbang kayu.
Sejumlah skenario untuk mengantisipasi kebakaran juga disiapkan. Pada Pasal 4 Ayat (2) Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Nomor: M.01.PL.01.01 Tahun 2003 disebutkan bahwa bentuk bangunan disesuaikan dengan tanah/lahan yang tersedia agar dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin dengan mempertimbangkan aspek manfaat, salah satunya jalan/transportasi pemadam kebakaran atau kendaraan lain dalam rangka mengatasi keadaan darurat. Selanjutnya pada Pasal 14 Ayat (3), setiap blok tahanan dilengkapi dengan sistem pemadam kebakaran. Adapun instalasi pemadam kebakaran yang disebutkan pada Pasal 28 Ayat (9) mencakup tanda bahaya, alat pemadam api ringan, alat pemadam api berat yang ditempatkan di dalam dan luar gedung, serta dilengkapi dengan denah petunjuk arah penyelamatan kebakaran.
Kondisi bangunan yang rawan terbakar itu diperburuk dengan kenyataan jumlah tahanan yang melebihi kapasitas (overcrowding). Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan per September 2021, Lapas Kelas I Tangerang dihuni 2.072 tahanan dan narapidana, padahal kapasitas lapas tersebut adalah untuk 600 orang. Artinya, terdapat kelebihan jumlah penghuni hingga 245 persen.
Menurut Gatot, overcrowding menyebabkan sistem keamanan di lapas semakin tidak optimal. Petugas yang jumlahnya terbatas kian sulit mengontrol barang bawaan tahanan dan napi. Tidak jarang sejumlah barang yang mudah terbakar, seperti kompor, korek api, dan alat elektronik, diselundupkan ke dalam lapas.
Baca juga: Napi Melebihi Kapasitas Perburuk Dampak Kebakaran Lapas Tangerang
Kompetensi petugas lapas juga masih perlu ditingkatkan. Dari kebakaran di Lapas Kelas I Tangerang terungkap bahwa sejumlah warga binaan masih terkunci di dalam sel dan tidak dapat diselamatkan. Meski masih harus diselidiki penyebabnya, hal itu juga menunjukkan bahwa kesigapan petugas lapas dalam menghadapi situasi darurat perlu ditingkatkan. ”Kompetensi SDM harus ditingkatkan untuk peristiwa semacam ini, baik kebakaran maupun kerusuhan. Karena memang terbatas, tetapi kompetensinya harus ditingkatkan dengan cara memberikan pelatihan-pelatihan secara rutin,” kata Gatot.
Bukan persoalan baru
Kombinasi permasalahan bangunan yang tidak standar, overcrowding, serta kapasitas petugas lapas yang minim dalam kebakaran lapas bukanlah hal baru. Catatan Kompas, kebakaran di Lapas Kelas I Tangerang merupakan kejadian kesepuluh yang terjadi di seluruh lapas dan rumah tahanan (rutan) dalam kurun 2012-2021. Sebelumnya kebakaran pernah terjadi di Lapas Kelas II A Kerobokan, Kabupaten Badung, Bali (2012); Lapas Kelas II B Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah; Lapas Kelas II Kota Palopo, Sulawesi Selatan; dan Lapas Tanjung Gusta, Medan, Sumatera Utara (2013).
Kemudian kebakaran kembali terjadi di Lapas Kelas II A Kota Lhokseumawe, Aceh (2014); LP Kelas IIB Piru, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku (2015); dan Lapas Malabero, Kota Bengkulu (2016). Adapun pada 2019, kebakaran terjadi di Lapas Narkotika Kelas III Langkat, Sumatera Utara; dan pada 2020 kejadian serupa melanda Rumah Tahanan Kelas IIB Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara.
Direktur Eksekutif Institute of Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan, berdasarkan pantauan ICJR bersama Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (Leip), dalam tiga tahun terakhir terjadi kebakaran di 13 lapas. Dari ke-13 lapas tersebut, 10 kebakaran terjadi di lapas dalam kondisi evercrowding atau diambang batas overcrowding. Hanya tiga lapas yang terbakar dalam kondisi kapasitasnya tidak berlebih. Sementara itu, dilihat dari segi penyebab, ada tiga kebakaran yang terjadi karena korsleting listrik.
Menurut Erasmus, dengan kondisi insfrastruktur bangunan yang hampir sama dan overcrowding yang hampir merata di seluruh lapas, maka kebakaran bisa terulang kapan saja. Dengan demikian, kebakaran Lapas Kelas I Tangerang ini merupakan sinyal bagi pemerintah untuk mengevaluasi dan merevitalisasi bangunan rutan dan lapas agar sesuai PP No 16 Tahun 2021 tentang Bangunan Gedung.
Erasmus pun mendesak pemerintah segera menentukan langkah pertanggungjawaban atas jatuhnya sejumlah korban jiwa, termasuk pemulihan keluarga korban. ”Yang terpenting, segera mengevaluasi berbagai peraturan perundang-undangan terutama terkait pemidanaan yang berkontribusi pada masalah overcrowding rutan dan lapas di Indonesia,” ujarnya.
Jumlah warga binaan yang melebihi kapasitas memang masalah laten yang belum juga berhasil diselesaikan. Per September, jumlah warga binaan yang menghuni lapas dan rutan di seluruh Indonesia mencapai 266.418 orang. Padahal, daya tampungnya hanya 135.361 orang. Ini berarti terdapat kelebihan penghuni hingga 97 persen.
Yang terpenting, segera mengevaluasi berbagai peraturan perundang-udangan terutama terkait pemidanaan yang berkontribusi pada masalah overcrowding rutan dan lapas di Indonesia.
Kelebihan hunian paling tinggi terjadi di wilayah Kalimantan Timur. Dengan daya tampung 3.586 orang, lapas dan rutan di Kaltim harus menampung 12.537 warga binaan. Artinya, terdapat kelebihan hunian hingga 250 persen dari kapasitas tampung.
Disusul wilayah Riau yang mengalami kelebihan hunian hingga 209 persen. Per September, jumlah warga binaan sebanyak 13.753 orang, sementara daya tampungnya 4.455 orang. DKI Jakarta juga tergolong tinggi, kelebihan penghuni hingga 205 persen. Warga binaan di rutan dan lapas mencapai 17.663 orang, sementara kapasitas tampung hanya 5.791 orang.
Raynov Pamintori Tumorang, peneliti dari Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) menambahkan, protokol penanganan kondisi darurat di lapas juga perlu dievaluasi. Begitu pula masalah overcrowding mesti segera diselesaikan dengan melibatkan penegak hukum lintas sektoral.