Jenazah 41 korban tewas dalam kebakaran di Lapas Kelas I Tangerang masih diidentifikasi Polri. Kebakaran diduga akibat hubungan pendek arus listrik. Karena itu, evaluasi standar bangunan dan keamanan lapas amat mendesak.
Oleh
Tim Kompas
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tewasnya 41 warga binaan dalam kebakaran di Blok C2 Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tangerang, Banten, Rabu (8/9/2021) dini hari, yang diduga karena hubungan pendek arus listrik menjadi peringatan kedaruratan perbaikan manajemen lapas. Problem tingkat hunian lapas yang jauh melampaui kapasitas serta pemenuhan standar keamanan dan keselamatan mendesak diatasi.
Kebakaran lapas itu diketahui Rabu sekitar pukul 01.50. Saat itu petugas pengawas melihat titik api di area Blok C, yang terdiri atas 19 kamar dan dihuni 122 warga binaan. Warga binaan di blok itu, 119 orang di antaranya napi kasus narkoba, dua orang kasus terorisme, dan satu kasus pembunuhan. Dari total penghuni blok itu, ada dua warga negara asing, yakni dari Afrika Selatan dan Portugal.
Petugas yang melihat kobaran api di Blok C lalu menghubungi kepala pengamanan dan pemadam kebakaran. Petugas berupaya memadamkan api dengan alat pemadam ringan. Namun, api terus membesar. Kobaran api menyulitkan petugas membuka kamar-kamar di Blok C. Sebanyak 12 mobil pemadam kebakaran tiba belasan menit kemudian. Upaya pemadaman berlangsung hingga pukul 03.30.
Akibat kejadian itu, 40 napi kasus narkoba dan 1 napi kasus terorisme tewas. Selain itu, sembilan napi luka ringan dirawat di klinik lapas, delapan napi dirujuk ke RSUD Kota Tangerang, serta 64 napi sementara ditempatkan di masjid Lapas Tangerang.
Identitas korban tewas sedang diidentifikasi Tim Disaster Victim Identification (DVI) Polri. Selain mengidentifikasi korban, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Rusdi Hartono juga mengatakan, penyebab kebakaran masih diselidiki. Penyelidikan ini ditangani Tim Pusat Laboratorium Forensik Polri.
”Menurut data dan beberapa saksi, diinformasikan ada korsleting listrik. Itu baru dugaan sementara,” kata Rusdi.
Secara terpisah, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Agus Andrianto mengatakan, Polri telah berkoordinasi dengan Kementerian Hukum dan HAM untuk mengungkap penyebab kebakaran tersebut. Bareskrim akan membantu Polda Metro Jaya dalam proses penyelidikan dan laboratorium forensik.
Berdasarkan data Institute of Criminal Justice Reform (ICJR) bersama Indonesia Judicial Research Society (IJRS) serta Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), dalam tiga tahun terakhir terjadi kebakaran di 13 lapas. Dari jumlah itu, 10 kebakaran terjadi di lapas dalam kondisi di ambang batas overcrowding. Dari segi penyebab, ada tiga kebakaran yang terjadi karena korsleting listrik.
Adapun Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM Nomor M.01.PL.01.01 Tahun 2003 tentang Pola Bangunan Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan telah mengatur rincian standar bangunan lapas. Sejumlah skenario mengantisipasi kebakaran juga diatur. Misalnya disebutkan, setiap blok tahanan dilengkapi sistem pemadam kebakaran, di antaranya tanda bahaya, alat pemadam api ringan, alat pemadam api berat yang ditempatkan di dalam dan di luar gedung, dilengkapi denah petunjuk arah penyelamatan.
Peneliti Center for Detention Studies, Gatot Goei, mengatakan, kebakaran di Lapas Kelas I Tangerang merupakan momentum bagi Kemenkumham untuk mengaudit standar bangunan lapas di Indonesia secara komprehensif. Pasalnya, Lapas Tangerang dibangun pada 1977 dan belum pernah direnovasi secara signifikan. Mayoritas bangunan terdiri atas bahan yang mudah terbakar, di antaranya kayu. Instalasi listrik juga diduga lama tak diperbarui sehingga rawan masalah.
Kerawanan yang sama terjadi di mayoritas lapas di Indonesia. Menurut Gatot, hampir 70 persen dari total 528 lapas merupakan bangunan yang didirikan dalam kurun waktu era kolonial Belanda hingga dekade 1980-an. ”Baik bangunan lama maupun baru umumnya masih menggunakan bahan-bahan yang mudah terbakar, tidak sesuai standar bangunan penjara,” kata Gatot.
Kondisi bangunan yang rawan terbakar diperburuk jumlah penghuni yang melebihi kapasitas lapas. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan per September 2021, Lapas Kelas I Tangerang dihuni 2.072 tahanan dan narapidana, padahal kapasitas lapas itu untuk 600 orang. Artinya, ada kelebihan jumlah penghuni hingga 245 persen.
Menurut Gatot, kondisi itu menyebabkan sistem keamanan di lapas kian tak optimal. Petugas yang jumlahnya terbatas sulit mengontrol barang bawaan tahanan dan napi. Tak jarang, katanya, barang yang mudah terbakar, seperti kompor, korek api, dan alat elektronik, diselundupkan ke lapas.
Investigasi menyeluruh
Raynov Pamintori Tumorang, peneliti LeIP, mengatakan, ICJR, IJRS, dan LeIP meminta pemerintah menginvestigasi secara menyeluruh serta mengevaluasi kondisi bangunan dan keselamatan, termasuk protokol penanganan kondisi darurat lapas. Menurut dia, perlu juga ditentukan mekanisme pertanggungjawabannya. Pemerintah juga harus menyelesaikan masalah overcrowding lapas dengan melibatkan penegak hukum lintas sektoral.
Seusai meninjau lokasi di Lapas Kelas I Tangerang, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly menyampaikan, kebakaran diduga terjadi karena kondisi lapas yang sudah tua. Selama ini belum ada perbaikan instalasi listrik meski ada penambahan daya listrik.
Menurut dia, saat kebakaran, kamar-kamar napi dalam keadaan terkunci, sesuai protokol. Dari kamar-kamar yang tak sempat dibuka itulah timbul korban jiwa. ”Saya minta Direktur Jenderal Pemasyarakatan memeriksa lapas-lapas yang sudah puluhan tahun berdiri supaya tidak terulang lagi kejadian serupa,” katanya.
Yasonna juga meminta Direktorat Jenderal Pemasyarakatan mengucurkan dana tanggap darurat guna perbaikan lapas-lapas berusia puluhan tahun. Ia akan bekerja sama dengan semua pihak terkait penyelidikan penyebab kebakaran. Berbagai masukan terkait strategi pencegahan akan dia terima secara terbuka.