Kini saatnya bagi pemerintah memperhatikan dan memperbaiki mekanisme di luar kebiasaan pada lapas, salah satunya terkait evakuasi warga binaan saat terjadi kebakaran. Hal itu dapat dibuat dalam aturan khusus.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebakaran Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tangerang yang menewaskan 44 warga binaan menguak sejumlah permasalahan dalam manajemen lapas. Rekayasa keselamatan dari segi bangunan dan kemampuan personel dalam kondisi darurat belum optimal. Tamparan keras untuk sistem peradilan pidana.
Tidak optimalnya manajemen keselamatan lembaga pemasyarakatan (lapas) terlihat dari keterlambatan menyelamatkan warga binaan di Blok C2 Lapas Kelas I Tangerang, Banten, Rabu (8/9/2021) dini hari. Sebanyak 41 orang, sesuai protokol, berada dalam sel yang terkunci. Namun, mereka tidak bisa diselamatkan. Sebanyak 13 petugas di lapas berisi 2.072 orang itu tidak mampu membuka kunci sel karena api telanjur membesar.
Lapas semestinya memiliki mekanisme di luar kebiasaan untuk menghadapi kebakaran, salah satunya terkait evakuasi warga binaan.
Koordinator Program Studi Rekayasa Keselamatan Kebakaran Fakultas Teknik Universitas Negeri Jakarta Catur Setyawan Kusumohadi mengatakan, peristiwa ini merupakan momentum bagi pemerintah untuk memperbaiki manajemen keselamatan di lapas. Lapas semestinya memiliki mekanisme di luar kebiasaan untuk menghadapi kebakaran, salah satunya terkait evakuasi warga binaan. ”Hal itu bisa dibuat dalam aturan khusus karena prosedur untuk mengevakuasi warga binaan harus memastikan situasi tetap kondusif,” katanya yang dihubungi dari Jakarta, Kamis.
Manajemen keselamatan, tambah Catur, merupakan hal mutlak yang harus ada di setiap bangunan. Hal itu juga tertuang pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 26/PRT/M/2008 tentang Persyaratan Teknis Sistem Proteksi Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan. Pada bangunan yang didirikan sebelum peraturan dibuat, hendaknya dilakukan penilaian, analisis, dan perbaikan untuk menyesuaikan dengan standar yang telah ditetapkan.
Diberitakan sebelumnya, hampir 70 persen dari total 528 persen lapas di Indonesia didirikan pada dari periode Kolonial Belanda hingga dekade 1980-an. Mayoritas belum pernah direnovasi secara signifikan, termasuk Lapas Kelas I Tangerang. Diakui Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, instalasi listrik di lapas itu pun belum pernah diperbaiki selama 44 tahun terakhir meski daya listrinya terus-menerus ditambah.
Namun, ketahanan bangunan dari kebakaran tidak akan berfungsi optimal tanpa penerapan manajemen keselamatan yang baik. Untuk itu, diperlukan prosedur yang jelas serta personel yang memahami manajemen tersebut secara utuh. ”Setidaknya petugas lapas perlu diberikan pelatihan terkait agar ketika terjadi kebakaran mereka paham apa yang harus dilakukan,” kata Catur.
Menurut Catur, keselamatan bangunan dan penghuninya juga sangat bergantung pada keterisian sesuai kapasitasnya. Semakin banyak penghuni, aktivitas yang berpotensi menyebabkan kebakaran semakin besar. Dalam jangka panjang, jumlah penghuni lapas harus disesuaikan dengan kapasitas bangunan. Perbaikan bangunan dengan mengoptimalkan teknologi juga diperlukan, misalnya membuat sistem yang mampu membuka seluruh pintu sel secara bersamaan dalam kondisi darurat.
Merujuk data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham per September 2021, hampir semua lapas mengalami kelebihan penghuni (overcrowding). Dari 33 kantor wilayah (kanwil), hanya kanwil DI Yogyakarta, Gorontalo, dan Maluku Utara yang jumlah penghuninya tidak melebihi kapasitas. Adapun lapas di 30 kanwil lainnya persentase overcrowding beragam mulai dari 2 persen hingga 250 persen. Lapas Kelas I Tangerang berpenghuni 2.072 orang, padahal daya tampungnya adalah untuk 600 orang.
Pengajar hukum pidana Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Jawa Barat, Agustinus Pohan, mengatakan, kebakaran di Lapas Kelas I Tangerang merupakan peristiwa yang luar biasa mengerikan sekaligus menyedihkan. Sejumlah orang yang tengah menjalani pembinaan dari negara justru berakhir dengan kematian. Negara harus bertanggung jawab, terlebih tidak hanya warga negara Indonesia yang menjadi korban, tetapi juga ada warga negara asing yang tewas dalam kejadian ini. Ke depan, langkah hukum dari negara terkait tidak bisa dihindari dan semestinya menjadi momentum evaluasi pemerintah. ”Ini tamparan keras pada sistem peradilan pidana kita, 41 orang terbakar di dalam kamar sel yang terkunci,” katanya.
Menurut dia, ini tidak bisa dilepaskan dari kondisi lapas yang kelebihan penghuni. Kondisi penjara yang terlalu padat dapat memengaruhi perilaku warga binaan. Perilaku tersebut tidak terlepas dari potensi kebakaran. Oleh karena itu, perlu ada langkah darurat yang dilakukan untuk mengatasi kondisi tersebut dalam waktu cepat. Misalnya dengan memindahkan warga binaan ke lapas yang kapasitasnya belum berlebih atau tingkat kelebihan kapasitasnya lebih rendah. Selain itu, pembebasan narapidana dengan kategori kejahatan tidak serius juga perlu dipercepat dengan pemberian remisi atau pembebasan bersyarat.
Sistem peradilan pidana di Indonesia yang berujung pada pemenjaraan sudah waktunya diubah. Lapas yang sudah bertahun-tahun mengalami overcrowding tidak mampu lagi memenuhi tujuan pembinaan.
Lebih dari itu, kata Pohan, sistem peradilan pidana di Indonesia yang berujung pada pemenjaraan sudah waktunya diubah. Lapas yang sudah bertahun-tahun mengalami kelebihan penghuni tidak mampu lagi memenuhi tujuan pembinaan. Pengiriman orang ke lapas justru semakin membebani negara. ”Hentikan mengirim orang ke lapas, ada sejumlah tindak pidana yang bisa diselesaikan dengan tidak mengirim orang ke lapas, seperti narkotika, ITE (informasi dan transaksi elektronik), dan kecelakaan lalu lintas,” ujarnya.
Untuk itu, diperlukan kerja sama antarlembaga penegak hukum dan peradilan untuk memformulasikan hukuman lain guna menghentikan laju pengiriman orang ke lapas. Misalnya dengan merumuskan sanksi berupa denda untuk beberapa jenis kejahatan. Meski demikian, pembangunan lapas sesuai standar juga harus terus dilakukan. Sebab, di Indonesia lapas masih dibutuhkan untuk membina orang-orang yang telah melakukan kejahatan berat seperti pembunuhan, korupsi, dan terorisme.
Secara terpisah, Kepala Bagian Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham Rika Aprianti dalam diskusi daring ”Lapas Tangerang Terbakar, Apa yang Terjadi?” mengatakan, selain terus menangani dampak kebakaran, pihaknya juga mengantisipasi kejadian serupa di tempat lain.
Saat ini Kemenkumham tengah melakukan asesmen internal terkait kekurangan dalam memproteksi kebakaran. Dirjen PAS Reynhard Silitonga pun telah mengirimkan surat edaran ke semua lapas dan rutan agar melakukan penilaian, analisis, dan deteksi dini terkait potensi kebakaran di lokasi masing-masing.
Selain itu, seluruh petugas lapas dan rutan juga diingatkan kembali mengenai prosedur standar operasi dalam penanganan gangguan keamanan dan ketertiban, termasuk kebakaran. ”Ini menjadi momentum bagi kami untuk mengingatkan kembali lapas dan rutan di seluruh Indonesia,” katanya.
Terkait kelebihan penghuni, Rika mengakui, ini merupakan permasalahan klasik yang sudah lama terjadi. Di lingkup internal, hal ini disiasati dengan memberikan remisi dan pembebasan bersyarat kepada para narapidana. Selain itu, di masa pandemi Covid-19, lapas juga merumahkan sejumlah narapidana yang memnuhi persyaratan.
Menurut Rika, akar masalah kelebihan penghunibisa diselesaikan dengan mengurangi jumlah orang yang masuk ke lapas. Sejauh ini, warga binaan di seluruh lapas didominasi oleh narapidana narkotika. Padahal keberadaan mereka bisa dikurangi dengan mengubah ketentuan hukum bagi para pengguna narkotika. ”Akan lebih baik kalau pengguna narkotika tidak masuk ke lapas, tetapi ditempatkan di rehabilitasi, itu akan sangat mengurangi hunian kita,” katanya.