Sebagian tahanan memilih tidur atau beristirahat di tangga, selasar, atau bawah tangga. Ada tahanan yang terpaksa tidur dalam posisi hampir vertikal mengikuti alur tangga gedung.
Oleh
KHAERUDIN/ SUSANA RITA/ RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
Kebakaran di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tangerang merupakan salah satu bagian dari persoalan kompleks lapas di negeri ini. Harian Kompas telah pula berkali-kali meliput kehidupan di lapas. Tidak hanya terkait kebakaran, tetapi juga kerusuhan. Berikut ini adalah arsip yang pernah diterbitkan pada hari Senin (25/4/2016) di halaman 1.
JAKARTA, KOMPAS — Tak ada penyebab tunggal kerusuhan di penjara. Jumlah penghuni yang melebihi kapasitas, rasio petugas yang tak sebanding, dan tahanan yang stres karena tak bisa mendapatkan remisi adalah rangkaian penyebabnya. Masalah ini terdapat hampir di semua penjara di Indonesia.
Semua masalah itu bisa memicu kerusuhan setiap saat. Hanya berselang sehari, dua kerusuhan terjadi di lembaga pemasyarakatan (LP). Kamis (21/4) malam terjadi keributan di LP Kerobokan, Denpasar, Bali. Jumat pagi LP Banceuy, Bandung, Jawa Barat, rusuh dan terbakar.
Nyaris bersamaan dengan kedua kerusuhan itu, Kompas meliput langsung selama 24 jam kondisi dalam dua penjara besar di Jakarta. Dari Kamis pagi hingga Jumat sore di Rumah Tahanan (Rutan) Pondok Bambu, Jakarta Timur, dan dari Jumat pagi hingga Sabtu siang di Rutan Salemba, Jakarta Pusat.
Ada 1.124 narapidana dan tahanan menghuni Rutan Pondok Bambu. Padahal, rutan itu idealnya menampung 619 orang. Rutan Salemba yang berkapasitas 862 orang, Sabtu (23/4), dihuni 3.519 orang atau lebih dari 3,5 lipat dari kapasitasnya.
Tidur di tangga
Ada empat gedung tahanan di Rutan Salemba, masing-masing berlantai tiga. Di setiap lantai terdiri atas empat blok. Tiap blok memiliki kamar tahanan atau sel yang kapasitasnya sesuai tipe gedung. Gedung tipe VII berarti selnya berkapasitas tujuh orang. Namun, faktanya, semua gedung kelebihan penghuni. Sel di gedung tipe VII ditempati 20-30 orang.
Tahanan yang tak kebagian kamar terpaksa tidur di selasar atau lorong di depan sel. Saking banyaknya tahanan di blok, kamar atau sel pun tidak pernah dikunci. Petugas hanya mengunci pintu utama blok. Itu pun hanya dikunci setiap apel atau penghitungan tahanan.
Setelah apel tahanan yang dilakukan tiga kali dalam sehari, tahanan boleh kembali beraktivitas di luar blok. Tahanan boleh keluar blok, tetapi tak boleh keluar gedung. Tahanan boleh keluar blok karena terkadang tak ada lagi ruang yang tersisa untuk mereka tidur di dalam blok. Kondisi dalam blok penuh sesak.
Sebagian tahanan memilih tidur atau beristirahat di tangga, selasar, atau bawah tangga. Ada tahanan yang terpaksa tidur dalam posisi hampir vertikal mengikuti alur tangga gedung.
Ada tahanan yang terpaksa tidur dalam posisi hampir vertikal mengikuti alur tangga gedung.
Untuk menampung tahanan yang melebihi kapasitas itu, lantai dasar setiap gedung tahanan yang seharusnya jadi aula untuk tahanan beraktivitas saat ini harus dijadikan satu blok tersendiri. Ukurannya sekitar 10 meter x 15 meter dan dibagi per lapak untuk memisahkan tahanan. Setiap lapak hanya dipisahkan berdasarkan garis di lantai atau pembatas berupa lemari kecil, kardus, atau barang milik tahanan. Setiap lapak diisi hingga 70 tahanan.
Kamar mandi dan toilet di tiap blok pun saat ini, seperti dilihat Kompas, diubah fungsinya menjadi sel. Biasanya yang menempati ruang mandi dan toilet yang berubah menjadi kamar tahanan adalah voorman dan pengurusnya. Voorman merupakan penghubung antara petugas jaga dan tahanan di tiap blok.
Untuk menjaga lebih dari 3.500 tahanan di Rutan Salemba, jumlah petugas jaga setiap shift hanya 27 orang. Itu pun tak semua petugas langsung menjaga tahanan. Dari 27 petugas, hanya 14 orang di pos paste atau pos yang langsung berada di dekat gedung tahanan.
Meski ada empat gedung tahanan, pos paste di Rutan Salemba hanya ada tiga. ”Idealnya di satu lantai setiap gedung dijaga dua orang. Namun, penjagaan di tiap lantai gedung tak bisa kami lakukan,” ujar Kepala Pengamanan Rutan Salemba Fonika Affandi.
Fonika tidak mau mengambil risiko menempatkan penjaga di tiap lantai gedung tahanan. Jika terjadi keributan dalam blok, keselamatan penjaga terancam.
Mengambil hati tahanan
Kepala Rutan Salemba Satriyo Waluyo menuturkan, tak mungkin dia memaksa petugas berjaga di tiap lantai gedung tahanan jika melihat jumlah tahanan yang ada. ”Kalau tahanan mau ribut, satu lawan satu pun mungkin tak bisa kami kalahkan,” katanya.
Menurut dia, petugas di Rutan Salemba harus pandai mengambil hati tahanan agar tak berbuat keributan. Rutan Salemba berusaha mengurangi jumlah tahanan. Tahanan yang perkaranya telah putus di pengadilan sedapat mungkin lekas dipindahkan. Namun, jumlah tahanan yang masuk pun hampir selalu sama dengan tahanan yang keluar.
Menurut Satriyo, lebih dari 70 persen tahanan di Rutan Salemba tersangkut kasus narkoba. Jumlah ini melonjak saat pemakai narkoba ikut ditahan dan tak direhabilitasi.
Petugas di Rutan Salemba harus pandai mengambil hati tahanan agar tak berbuat keributan.
Dalam kondisi rutan yang penuh sesak, narapidana perkara narkoba kini kian frustrasi karena sulit mendapat potongan hukuman (remisi). Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 mensyaratkan status sebagai justice collaborator (pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar kejahatan) yang bisa mendapatkan remisi atau pembebasan bersyarat.
Sebagian besar napi yang adalah pemakai narkoba tak mungkin jadi justice collaborator karena tak tahu yang terlibat dalam jaringan bandar narkoba. PP itu juga mengatur tak ada remisi untuk napi narkoba dengan hukuman di atas 5 tahun.
Sumantri, terpidana 7 tahun penjara dalam perkara narkoba, menyesalkan aturan ini. ”Seharusnya saya bisa mendapatkan pembebasan bersyarat ketika sudah 4 tahun,” ujarnya.
Kepala Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Akbar Hadi Prabowo mengatakan, banyak tahanan stres karena tak bisa mendapatkan remisi atau pembebasan bersyarat. Mereka tertekan karena berkelakuan baik kini tidak ada maknanya lagi di penjara.