Rangkap jabatan dinilai akan menimbulkan benturan kepentingan yang berujung pada praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Selain itu, juga menghilangkan kesempatan warga untuk menjadi komisaris independen.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi diminta mengubah aturan soal jabatan komisaris independen di Undang-Undang Perseroan Terbatas menyusul banyaknya penyelenggara negara yang ditunjuk untuk menjabat komisaris independen. Rangkap jabatan dinilai akan menimbulkan benturan kepentingan yang berujung pada praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Selain itu, juga menghilangkan kesempatan warga untuk menjadi komisaris independen.
Permintaan itu diajukan oleh tiga advokat, yaitu Ignatius Supriadi, Sidik, dan Janteri, melalui uji materi Pasal 120 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT). Para advokat itu merasa terusik dengan banyaknya pertanyaan terkait aparatur sipil negara (ASN) yang merangkap jabatan sebagai komisaris independen. Misalnya, Rektor Universitas Hasanuddin Dwia Aries Tina Palubuhu yang merangkap jabatan sebagai komisaris di perusahaan swasta.
Batu uji yang digunakan pemohon dalam perkara nomor 40/PUU-XIX/2021 adalah Pasal 1 Ayat (3), Pasal 28I Ayat (4) dan (5), dan Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945. Mereka meminta MK menyatakan Pasal 120 Ayat (2) UU Perseroan Terbatas inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai dengan frasa komisaris independen yang ada di dalam pedoman tata kelola perseroan yang baik adalah komisaris dari pihak luar yang tidak menjabat sebagai penyelenggara negara, ASN, atau pejabat negara.
”Pihak komisaris independen yang diangkat dari penyelenggara negara, aparatur sipil negara, atau pejabat negara jelas akan menimbulkan benturan kepentingan yang pada akhirnya akan mencederai maksud dibentuknya komisaris independen. Padahal, persoalan benturan kepentingan ini menjadi permasalahan yang sarat dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang harus dihindarkan dari praktik kenegaraan,” kata Supriadi dalam sidang perbaikan permohonan di MK, Jakarta, Rabu (8/9/2021).
Pemohon uji materi juga berpandangan, komisaris independen yang diangkat dari ASN dapat memicu kepentingan pribadi yang mengalahkan profesionalitas dalam menjalankan tugasnya. Kondisi itu dapat menimbulkan kebijakan atau keputusan yang tidak efektif dan efisien, yang pada akhirnya hanya akan menguntungkan pribadi atau kelompok tertentu. Benturan kepentingan itu di antaranya timbul karena adanya unsur hubungan kekeluargaan, pertemanan, dan kedinasan.
”Contoh benturan kepentingan adalah memanfaatkan jabatan komisaris independen yang merupakan ASN dalam proses tender barang atau jasa karena unsur kedekatan dengan instansi yang menyelenggarakan tender. Tugas pokok dan fungsi komisaris sebagai pengawas justru menjadi terlibat dalam kegiatan yang harus diawasinya sehingga rawan suap dan gratifikasi,” tambah Supriadi.
Selain konflik kepentingan, pemohon juga berpandangan bahwa norma yang digugat berpotensi menghilangkan kesempatan warga untuk menduduki jabatan komisaris independen. Ini lantaran norma Pasal 120 Ayat (2) UU Perseroan Terbatas sangat multitafsir. Temuan Ombudsman RI juga mengungkapkan bahwa pejabat rangkap jabatan juga mendapatkan rangkap penghasilan. Ini dinilai mencederai hak konstitusional warga negara, termasuk para pemohon.
Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mengatakan, permohonan tersebut akan dibawa ke rapat permusyawaratan hakim untuk diputuskan perkara akan dilanjutkan ke pemeriksaan atau tidak. Majelis hakim di antaranya akan melihat unsur-unsur legal formal permohonan yang diajukan.
Rekomendasi Ombudsman
Dihubungi terpisah, anggota Ombudsman RI, Indraza Marzuki, mengatakan, tahun 2020, ORI telah mengirimkan surat rekomendasi kepada Presiden agar mekanisme penunjukan komisaris independen diperbaiki supaya tidak ada rangkap jabatan. Temuan Ombudsman kala itu, ada 397 orang penyelenggara negara/pemerintahan yang terindikasi merangkap jabatan komisaris di BUMN dan 167 orang di anak perusahaan BUMN pada 2019.
Dari jumlah tersebut, 254 atau 64 persen adalah pejabat kementerian, 112 orang atau 28 persen adalah pejabat lembaga nonkementerian, dan 31 orang atau 8 persen adalah pejabat dari perguruan tinggi. Adapun, untuk data terbaru pada 2021, Ombudsman masih melakukan pendataan dan verifikasi ulang.
”Dari kajian ORI periode sebelumnya, memang ada potensi benturan kepentingan. Selain itu, juga soal apakah yang merangkap jabatan itu akan fokus melakukan tugasnya sebagai penyelenggara negara apabila merangkap sebagai komisaris independen,” kata Indraza.
Idealnya, lanjut Indraza, penunjukan komisaris independen BUMN harus didasarkan pada ukuran dan pertimbangan yang jelas. Misalnya, Kepala Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) idealnya tidak ditempatkan sebagai komisaris independen di lembaga yang seharusnya dia awasi. Sebab, itu akan menimbulkan bias dan konflik kepentingan terkait tugas audit pengawasan keuangan yang harus dilakukan.
”Selain itu, kami juga sedang mendalami terkait rangkap jabatan rektor dan komisaris BUMN. Apakah semua universitas memiliki aturan statuta seperti di Universitas Indonesia kemarin atau tidak? Karena jika ada statutanya, jelas tidak boleh merangkap jabatan,” papar Indraza.
Namun, menurut anggota Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Tasdik Kinanto, ASN tidak dilarang menjadi komisaris atau pengawas independen jika merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran BUMN.
Pasal 49 PP tersebut menyebutkan anggota dewan pengawas dapat terdiri dari unsur pejabat di bawah menteri teknis, menteri keuangan, menteri, dan pimpinan departemen/lembaga nondepartemen yang kegiatannya berhubungan langsung dengan perusahaan umum.
”Itu karena ASN tersebut ditugaskan mewakili unsur pemerintah untuk mengawasi kinerja BUMN. Tentu saja, penunjukannya harus sesuai dengan jabatan dia. Misal, pejabat perhubungan ditempatkan di BUMN transportasi,” kata Tasdik.
Meskipun demikian, untuk menghindari konflik kepentingan dan terganggunya kerja penyelenggaraan negara, ASN yang menjabat sebagai komisaris independen harus diatur secara jelas mekanisme kerjanya. Mereka harus memiliki panduan kapan mengawasi BUMN dan kapan melakukan tugasnya sebagai ASN. Jika tidak, ia khawatir pekerjaan utama sebagai penyelenggara negara akan terbengkalai karena rangkap jabatan.