Rangkap jabatan tak hanya melanggar regulasi. Hal paling mendasar lagi, rangkap jabatan rawan konflik kepentingan yang membuat seseorang dalam mengambil keputusan menjadi tidak jernih.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rangkap jabatan yang dilakukan oleh pejabat publik berisiko menyebabkan konflik kepentingan. Karena itu, perlu ada pembenahan agar tidak terjadi lagi rangkap jabatan seperti yang sudah diatur dalam undang-undang dan aturan turunan lainnya.
Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) Chatarina Muliana Girsang mengatakan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan peraturan pemerintah yang masih berlaku, pegawai negeri sipil (PNS) tidak boleh memegang jabatan yang bersifat konflik kepentingan.
Larangan PNS merangkap jabatan sebagai komisaris secara eksplisit diatur dalam Pasal 17 UU Pelayanan Publik.
”Larangan PNS merangkap jabatan sebagai komisaris secara eksplisit diatur dalam Pasal 17 UU Pelayanan Publik. Untuk PNS sendiri pengaturan rangkap jabatan itu berlaku dan untuk jabatan fungsional sebenarnya dilarang rangkap jabatan,” kata Chatarina dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh Ikatan Alumni Universitas Indonesia, Sabtu (14/7/2021).
Chatarina yang berasal dari Kejaksaan Agung mengakui, ada jaksa yang menjadi komisaris di badan usaha milik negara (BUMN) pada 2020. Ia mengambil jabatan tersebut setelah melepas sementara jabatannya sebagai jaksa dan PNS. Ia tidak mendapatkan hak-hak sebagai PNS maupun jaksa. Alhasil, ia hanya menjabat sebagai komisaris di BUMN.
Begitu juga dunia pendidikan yang merupakan bagian dari pelayanan publik. Chatarina mengatakan, rektor adalah tugas tambahan dosen yang merupakan jabatan fungsional. Karena itu, dosen yang merangkap jabatan lain di luar perguruan tingginya harus melepas statusnya sebagai dosen tetap. Hal tersebut dilakukan beberapa pejabat di Kemendikbud Ristek. Chatarina menegaskan, ketentuan itu sesuai dengan aturan komitmen PNS.
Ia menambahkan, Peraturan Menteri BUMN No 2/2021 juga mengatur PNS bisa menjabat komisaris sepanjang dia melepas status PNS-nya. Hal itu sama dengan ketika PNS menjadi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau komisioner lainnya.
Meski demikian, Chatarina mengakui, saat ini banyak pejabat struktural PNS yang masih merangkap jabatan komisaris. Bahkan, ironisnya, ada satu kementerian jumlah orang yang merangkap jabatan lebih dari 40 orang.
Secara terpisah, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan dan RB) Tjahjo Kumolo mengatakan, saat ini timbul polemik di masyarakat atas posisi rangkap jabatan rektor UI sebagai komisaris BUMN.
Ia menjelaskan, rangkap jabatan yang dilakukan rektor UI dengan menjadi komisaris yang tidak dilarang oleh Pasal 39 Peraturan Pemerintah No 75/2001 tentang Statuta UI sesungguhnya tidak bertentangan dengan Pasal 33 UU BUMN sepanjang tidak menimbulkan konflik kepentingan dan diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan lainnya.
Pada Pasal 5 UU 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) mengatur dan menjabarkan kode etik serta kode perilaku yang wajib ditaati ASN. Sejalan dengan UU BUMN, ASN menjaga agar tidak terjadi konflik kepentingan dalam melaksanakan tugasnya.
Sosiolog dari Universitas Indonesia, Imam B Prasodjo, menuturkan, konflik kepentingan membuat seseorang dalam mengambil keputusan menjadi tidak jernih.
”Selaras dengan UU BUMN dan UU ASN, rangkap jabatan rektor sebagai komisari BUMN pada intinya tidak dilarang oleh UU AP (Administrasi Pemerintahan) sepanjang tidak menimbulkan benturan dan/atau konflik kepentingan,” kata Tjahjo. Ia menuturkan, ketentuan pada rektor tersebut sama dengan pejabat PNS lainnya.
Sosiolog dari Universitas Indonesia, Imam B Prasodjo, menuturkan, konflik kepentingan membuat seseorang dalam mengambil keputusan menjadi tidak jernih. Konflik tersebut terjadi karena ada uang. Padahal, ia memiliki kewajiban untuk menjalankan tugasnya secara profesional.
Karena itu, kata Imam, dalam UU Pelayanan Publik dan peraturan turunan lainnya tidak diperbolehkan merangkap jabatan. Larangan tersebut memiliki tujuan agar komisaris sungguh-sungguh mencurahkan tenaga dan pikirannya.
Begitu juga pejabat publik lainnya. Mereka dilarang merangkap jabatan agar tidak terganggu. Menurut Imam, saat ini menjadi momentum yang tepat untuk melakukan pembenahan agar tidak terjadi rangkap jabatan lagi.