Uji Materi Pasal Pemblokiran Internet Masuki Babak Akhir
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat berharap Mahkamah Konstitusi dapat mengembangkan pengaturan tata kelola internet yang lebih pasti, bermanfaat, dan adil.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Uji materi pasal yang mengatur tentang kewenangan pemerintah memutus akses internet di Undang-Undang Transaksi dan Informasi Elektronik memasuki babak akhir. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat berharap Mahkamah Konstitusi dapat mengembangkan pengaturan tata kelola internet yang lebih pasti, bermanfaat, dan adil.
Uji materi Pasal 40 Ayat (2b) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) diajukan oleh Pemimpin Redaksi Suarapapua.com dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Para pemohon ingin menguji konstitusionalitas pasal tersebut terutama kewenangan pemerintah dalam memutus akses internet terhadap konten yang memiliki muatan melanggar hukum. Kewenangan tersebut dianggap harus didahului dasar Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).
Selain itu, pembatasan akses konten internet juga merupakan bagian dari pembatasan hak atas informasi, berpendapat, dan berekspresi yang diatur di Pasal 28 J Ayat (2) UUD 1945. Karena itu, ketentuan pembatasannya, termasuk prosedurnya, harus diatur dalam UU.
Pada September 2019, pemerintah memutus akses internet di Papua dan Papua Barat karena demonstrasi dan kerusuhan akibat dampak ujaran bernada suku, agama, ras, dan antargolongan terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur. Dampak dari pemutusan akses internet itu, di antaranya para jurnalis tidak bisa mengirim dan menerbitkan berita. Hak masyarakat untuk mendapatkan informasi juga dilanggar.
Atas kejadian itu, koalisi masyarakat sipil mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta dan dikabulkan. Namun, dalam perkembangannya, putusan kemudian dibatalkan di tingkat banding.
Pembatasan internet kembali terulang di Papua tahun 2021 saat terjadi kerusuhan di Papua akibat penolakan revisi UU Otonomi Khusus Papua.
Berdasarkan pelacakan di laman resmi Mahkamah Konstitusi (MK), mkri.id, pemeriksaan perkara itu sudah dilakukan MK sejak 12 Oktober 2020.
Sidang pemeriksaan perkara terakhir dilakukan pada 23 Agustus 2021 dengan agenda mendengarkan keterangan dari DPR. Karena pemeriksaan telah selesai, selanjutnya perkara akan memasuki tahapan kesimpulan, yaitu penyerahan perbaikan jawaban dan keterangan. Setelah itu, rapat permusyawaratan hakim (RPH) akan mengambil keputusan sebelum putusan diucapkan.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar melalui keterangan tertulis, Kamis (2/9/2021), mengatakan, Elsam telah mengajukan keterangan tertulis sebagai sahabat pengadilan (amicus curiae) kepada MK dalam perkara tersebut. Sebagai sahabat pengadilan, Elsam memberikan pandangan sesuai bidang keahlian dan wujud dukungan masyarakat sipil kepada majelis hakim MK yang memeriksa perkara nomor 81/PUU-XVIII/2020 tersebut.
Elsam berpandangan, internet saat ini telah menjadi sarana kunci dalam pemenuhan hak kebebasan berekspresi dan hak atas informasi. Hal itu sesuai dengan pernyataan Frank La Rue, pelapor khusus PBB untuk Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi pada 2011, bahwa internet adalah sarana utama bagi individu untuk menggunakan hak mereka atas kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Internet menjadi alat yang sangat diperlukan untuk mewujudkan berbagai hak asasi manusia (HAM), memberantas ketidakadilan, dan mempercepat pembangunan serta kemajuan manusia. Warga negara tidak dapat menggunakan haknya untuk berpartisipasi aktif dalam pembuatan kebijakan publik, apabila tidak mendapat kebebasan untuk mendapatkan informasi, mengeluarkan pendapat, dan pandangannya secara bebas.
”Memastikan akses universal terhadap internet harus menjadi prioritas semua negara,” kata Wahyudi.
Oleh karena itu, meskipun pembatasan terhadap kebebasan berekspresi dan hak atas informasi dimungkinkan (derogable rights), pengaturan dan pelaksanaannya harus tunduk pada syarat dan prosedur yang ketat. Pembatasan internet tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang tanpa alasan yang sah.
Hal itu justru akan berdampak pada terjadinya pelanggaran dalam pelaksanaan hak tersebut atau bahkan pelanggaran terhadap HAM lainnya. Mengacu pada pada prinsip dan instrument HAM, setiap tindakan pembatasan terhadap hak, termasuk di dalamnya hak atas informasi, harus memenuhi tiga hal, yaitu diatur oleh hukum, untuk tujuan yang sah, mendesak diperlukan, dan harus proporsional.
”Prinsip-prinsip pembatasan inilah yang semestinya dirumuskan secara baik dan ketat dalam UU ITE untuk menghindari pembatasan akses konten internet yang sewenang-wenang,” imbuh Wahyudi.
Sayangnya, pembatasan konten internet di Pasal 40 Ayat (2b) UU ITE belum secara jelas menyebutkan jenis-jenis konten yang melanggar hukum dan jenis bahaya yang mengancam. Dalam rumusan Pasal 40 Ayat (6) UU ITE hanya dikatakan ketentuan lebih lanjut mengenai wewenang pemerintah untuk melakukan pemutusan akses atau memerintahkan kepada penyelenggara sistem elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang melanggar hukum.
Secara teknis, mekanisme itu diatur di Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik dan Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem dan Transaksi Elektronik Lingkup Privat.
”Permenkominfo Nomor 5/2020 telah menuai banyak polemik karena dinilai tidak mampu menjawab persoalan dalam pembatasan akses konten internet. Implementasinya juga sering kali bermasalah dan tidak menyediakan mekanisme yang transparan dan akuntabel,” kata Wahyudi.
Standar norma
Sebelumnya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengeluarkan Standar Norma dan Pengaturan (SNP) tentang Hak atas Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat. SNP tersebut diharapkan menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum dan peradilan untuk menangani perkara tentang kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Biro Dukungan Pemajuan HAM Komnas HAM Mimin Dwi Hartono mengatakan, di masa pandemi, kebutuhan akan akses internet menjadi hal krusial bagi masyarakat. Internet menjadi sarana untuk mencari informasi, mengkroscek kebenaran data, hingga akses terhadap pelayanan publik. Akses terhadap internet juga menjadi alat untuk meningkatkan transparansi dalam mengawasi pemerintahan, dan memfasilitasi warga untuk membangun masyarakat yang demokratis.
Oleh sebab itu, tindakan apa pun yang membatasi akses internet harus dilandasi dasar hukum, urgensi, agar tidak menjadi kesewenang-wenangan. Selama ini, praktik pembatasan internet di Indonesia berupa penutupan dan perlambatan akses internet, pembatasan penggunaan enkripsi dan anonimitas, dan penyaringan atau penghambatan terhadap konten tertentu.
”Karena pentingnya internet terhadap pemenuhan HAM dan pembangunan, pemutusan akses internet, apa pun justifikasinya, dianggap tidak proporsional dan bertentangan dengan Pasal 19 Ayat (3) Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik,” kata Mimin.