Kebebasan Internet Menurun, Indonesia Mengarah ke Otoritarianisme Digital
Kebebasan berinternet di Indonesia menurun. Serangan terhadap aktivis dan pemblokiran internet serta peretasan terhadap pers menjadi faktor yang berkontribusi pada penurunan kebebasan internet di Indonesia.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebebasan berinternet di Indonesia pada 2020 menurun dibandingkan dengan setahun sebelumnya. Serangan terhadap aktivis dan pemblokiran internet serta peretasan terhadap pers menjadi faktor yang berkontribusi.
Berdasarkan laporan Freedom on The Net 2020 yang diterbitkan oleh think-tank Freedom House pada pekan lalu, tingkat kebebasan internet Indonesia pada 2020 menurun dari posisi 51 menjadi 49 dari tahun 2019. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia yang masih pada kategori partly free atau bebas sebagian, kemerdekaan berinternetnya semakin menurun.
Dalam laporan itu disebutkan bahwa ada sejumlah peristiwa kunci yang berpengaruh signifikan terhadap kebebasan berinternet Indonesia. Insiden pertama adalah upaya pemblokiran jaringan internet pada Agustus dan September 2019 di Papua.
Kedua, hasil laporan Reuters mengenai keterlibatan pendanaan militer terhadap sejumlah media yang mendukung agenda pemerintah sekaligus mengkritik aktivis.
Ketiga, proses kriminal dan pemenjaraan yang dilakukan kepada wartawan. Keempat, intimidasi dan doxing yang dilakukan kepada aktivis. Dan terakhir, adanya peretasan terhadap aktivis dan situs media yang mengkritik penanganan Covid-19 oleh pemerintah.
”Sederet temuan kunci ini yang menyebabkan tingkat kebebasan Indonesia menurun,” kata peneliti Indonesia untuk laporan Freedom on The Net 2020, Sherly Haristya, dalam webinar yang digelar pada Selasa (20/10/2020) malam.
Webinar bertajuk ”Alert in Digital Attacks and Cyber Resilience Within the Civil Society and Media in Indonesia” tersebut digelar atas kerja sama Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet), Indonesia Cyber Security Forum (ICSF), Forum-Asia, Amnesty International Indonesia, dan Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (Mafindo).
Secara umum, artinya dalam lima tahun terakhir, kebebasan internet Indonesia berada pada tren yang menurun. Pada 2016, Indonesia memiliki skor yang lebih tinggi, yakni 56. Pada 2017, skor menurun menjadi 53. Sempat naik satu angka pada 2018 menjadi 54, tetapi turun menjadi 51 pada 2019 dan 49 pada 2020.
Pengajar hukum tata negara Universitas Airlangga, Herlambang P Wiratraman, mengatakan, kondisi ini diperparah dengan sejumlah persoalan.
Pertama, kriminalisasi menggunakan pasal pencemaran nama baik. Kedua, tanggung jawab otoritas yang tidak penuh terhadap pelindungan masyarakat dari serangan digital. Ketiga, penegakan hukum yang tebang pilih. Keempat, teracuninya ruang publik akibat disinformasi dan propaganda.
”Ini mengarah ke digital authoritarianism karena banyak kebebasan masyarakat sipil mengalami serangan tanpa ada tanggung jawab perlindungan dari otoritas, dan sementara itu otoritas sering kali menyalahgunakan wewenangnya utuk menyerang kemerdekaan sipil,” kata Herlambang.
Perwakilan Indonesia di ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR), Yuyun Wahyuningrum, mengatakan, pola ini bukan sesuatu yang unik bagi Indonesia. Menurut dia, pola serangan terhadap aktivis sebetulnya juga terlihat pada negara-negara di Asia Tenggara.
Ini mengarah ke digital authoritarianism karena banyak kebebasan masyarakat sipil mengalami serangan tanpa adanya tanggung jawab perlindungan dari otoritas, dan sementara itu otoritas sering kali menyalahgunakan wewenangnya utuk menyerang kemerdekaan sipil.
Tanpa menyebutkan negaranya, Yuyun membenarkan bahwa banyak insiden serangan digital terhadap aktivis yang kritis melalui soft attack, seperti doxing (pembongkaran data pribadi), pembajakan akun, hingga ujaran kebencian; dan hard attack, seperti peretasan media dan peretasan akun.
”Selain berujung pada pembungkaman, ini juga memunculkan climate of fear atau iklim ketakutan yang membuat publik menjadi takut untuk bersuara apa pun yang bisa dianggap mengritik penguasa,” kata Yuyun.
Efek akhirnya, menurut Yuyun, adalah ancaman terhadap sistem demokrasi di negara tersebut.
Pakar keamanan siber Melissa Hathaway menilai, batasan terhadap internet adalah pelanggan hak asasi manusia. Menurut dia, komunikasi jenis apa pun harus dianggap sebagai ranah privat, termasuk komunikasi secara daring.
”Hak yang dinikmati masyarakat secara offline harus juga dilindungi pada ranah online. Perlindungan hak asasi manusia juga melingkupi privasi dan data pribadi masing-masing,” katanya.
Hathaway pada 2007-2009 bekerja di bawah Presiden AS ke-43 George W Bush dan Presiden AS ke-44 Barack Obama dalam program Cyberspace Policy Review.
Kolaborasi masyarakat sipil
Herlambang mengatakan, pilihan pemerintah untuk menggunakan influencer dan pendengung di ruang publik media sosial pun juga dikhawatirkan telah mengganggu proses demokrasi di Indonesia.
”Saya tidak setuju dengan pernyataan dari Istana bahwa influencer adalah garis depan demokrasi. Ini berbahaya. Seharusnya untuk demokrasi itu kita mengedepankan partisipasi publik,” kata Herlambang.
Saya tidak setuju dengan pernyataan dari Istana bahwa influencer adalah garis depan demokrasi. Ini berbahaya. Seharusnya untuk demokrasi itu kita mengedepankan partisipasi publik.
Peneliti kebijakan publik Ravio Patra memiliki pandangan yang senada. Ia juga meminta kelompok masyarakat sipil untuk lebih kompak dalam berkolaborasi untuk melawan narasi yang dibangun oleh influencer dan pendengung.
”Kita banyak bicara tentang bahaya buzzers. Tetapi, suara kita sendiri tidak terkoordinasi. Kita harus membuat koalisi yang lebih kuat, memperkuat riset untuk menemukan akar masalah dan mengadvokasi masyarakat,” kata Ravio.
Ravio pada April 2020 sempat ditangkap oleh kepolisian atas dasar dugaan penyebaran kasus bernada provokasi melalui layanan pesan singkat Whatsapp. Padahal, akun Whatsapp Ravio telah dibajak orang tidak dikenal sebelum pesan tersebut beredar dari akun miliknya.
Freedom House dalam laporannya secara khusus menggarisbawahi pencapaian gerakan masyarakat sipil di Indonesia untuk membawa kebijakan pembatasan internet oleh Pemerintah Indonesia di Papua ke pengadilan.
Ini adalah bentuk litigasi strategis yang perlu ditiru oleh kelompok masyarakat sipil di seluruh dunia untuk melawan sensor dan pemblokiran internet.