Antara Pembatasan Akses Internet dan Konten Disinformasi
Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi penyebaran disinformasi, hoaks, dan konten propaganda. Namun, kebijakan ”jalan pintas” dengan memblokir akses jaringan internet bukan pilihan tepat.
Oleh
INGKI RINALDI
·5 menit baca
Pembatasan, pemblokiran, dan perpanjangan pemblokiran akses internet oleh pemerintah di Papua dan Papua Barat, selama 19 Agustus-4 September 2019, diputus oleh majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, Rabu (3/6/2020), sebagai perbuatan melawan hukum.
Saat itu, pemerintah memberlakukan pemblokiran internet lantaran terjadi unjuk rasa dan kerusuhan di sejumlah daerah di Papua dan Papua Barat. ”Untuk mempercepat pemulihan situasi keamanan dan ketertiban di Papua dan sekitarnya, setelah berkoordinasi dengan aparat penegak hukum dan instansi terkait, Kementerian Komunikasi dan Informatika RI memutuskan untuk melakukan pemblokiran sementara layanan data telekomunikasi,” demikian disampaikan dalam siaran pers Kemenkominfo pada 21 Agustus 2019.
Pemblokiran internet dalam kadar tertentu dapat dipadankan dengan aksi membakar lumbung padi jika disinformasi dipadankan dengan ”tikus” yang mesti dibasmi. Ini karena demi menghilangkan konten disinformatif, hoaks, dan ataupun konten bersifat propaganda, yang dibatasi justru akses pada jaringan internet.
Padahal, kini jaringan internet telah menjadi tulang punggung hampir seluruh kehidupan manusia. Sebutlah, misalnya, untuk transaksi jual beli lewat platform e-dagang, layanan kesehatan, pendidikan, dan pelayanan publik lainnya.
Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Wahyudi Djafar, saat dihubungi, Jumat (5/6/2020), menyebut Pemerintah Indonesia masih menekankan pendekatan di hilir berupa jerat hukum untuk menghadapi disinformasi atau penyebaran konten-konten yang melanggar ketentuan perundang-undangan. Dalam kasus di Papua dan Papua Barat, yang dipergunakan adalah Pasal 40 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Menariknya, keputusan administratif resmi dari pemerintah untuk melakukan hal tersebut tidak ada. Hanya ada catatan berupa siaran pers atas kebijakan tersebut. Ini tecermin dalam pernyataan Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate (Kompas, 5/6) yang menyebut dirinya belum menemukan dokumen keputusan pemerintah mengenai pemblokiran tersebut. Termasuk rapat-rapat di Kemenkominfo mengenai pemblokiran atau pembatasan akses internet di Papua dan Papua Barat.
Padahal, di siaran pers No 155/HM/KOMINFO/08/2019 yang dikutip dari laman kominfo.go.id, dijelaskan tentang hal tersebut. Siaran pers pada 21 Agustus 2019 itu berjudul ”Pemblokiran Layanan Data di Papua dan Papua Barat”. Siaran pers tersebut disampaikan Plt Kepala Biro Humas Kemenkominfo Ferdinandus Setu.
Wahyudi mengatakan, hal itu tak lepas dari transisi pemerintahan periode 2014-2019 dengan 2019-2024. Pada periode 2014-2019, Menkominfo dijabat Rudiantara dan Menko Polhukam dijabat Wiranto. Sementara periode 2019-2024, Menkominfo dijabat Johnny G Plate dan Menko Polhukam dijabat Mahfud MD.
Kami akan mengajukan banding. Setelah itu diputuskan, selanjutnya kami akan menyiapkan memori banding. Dalam memori banding itu, akan ada argumentasi-argumentasi baru dan landasan UU lain yang jadi acuan payung hukumnya. Selama ini, yang dipakai hanya UU ITE, dan kami akan mengajukan UU lainnya juga sebagai basis argumentasi. (Johnny G Plate)
Menkominfo Johnny G Plate, seperti dikutip dari Kompas.id (7/6), kemudian menegaskan pemerintah yakin tidak melanggar hukum dalam kebijakan itu. Menurut Johnny, pihaknya telah berdiskusi dengan pengacara negara terkait upaya hukum selanjutnya atas putusan PTUN Jakarta. Kemungkinan besar tergugat mengajukan banding.
”Potensinya kami akan mengajukan banding. Setelah itu diputuskan, selanjutnya kami akan menyiapkan memori banding. Dalam memori banding itu, akan ada argumentasi-argumentasi baru dan landasan UU lain yang jadi acuan payung hukumnya. Selama ini, yang dipakai hanya UU ITE, dan kami akan mengajukan UU lainnya juga sebagai basis argumentasi,” katanya.
Dihindari
Penggunaan Pasal 40 UU ITE dikritik karena pasal itu sesungguhnya tidak untuk memutus akses jaringan internet, tetapi mengatur pembatasan konten informasi dan elektronik. Pemblokiran internet, dalam situasi darurat sekalipun, ujar Wahyudi, mestilah dihindari. ”Karena itu adalah tindakan yang disproporsional,” katanya.
Pemerintah semestinya fokus menghilangkan konten-konten disinformatif, hoaks, atau melanggar perundang-undangan. Bukan dengan jalan memblokir aksesnya. (Wahyudi Djafar)
Menurut dia, pemerintah semestinya fokus menghilangkan konten-konten disinformatif, hoaks, atau melanggar perundang-undangan. Bukan dengan jalan memblokir aksesnya. Wahyudi juga mencatat praktik bandwidth throttling atau pelambatan akses internet sudah dilakukan saat demonstrasi di sekitar Gedung Badan Pengawas Pemilu, di Jakarta, setelah penetapan hasil Pemilu 2019 pada 22 Mei 2019.
Padahal, semestinya bisa dilakukan pendekatan lebih komprehensif. Langkah-langkah yang dilakukan seharusnya terukur dan melibatkan banyak pihak. Misalnya dimulai dengan mengidentifikasi pihak-pihak yang menyebarkan konten disinformatif. Selanjutnya mengidentifikasi motif, lalu mengidentifikasi platform.
Hal ini berguna untuk menentukan strategi guna menjadikan platform sebagai senjata memerangi konten disinformasi. Lalu memetakan siapa saja target konten. Terakhir menganalisis dampak guna menentukan apakah diatasi dengan pendekatan hukum, literasi digital, dan lainnya.
”Arsitektur teknologi jalan, arsitektur hukum jalan, arsitektur sosial jalan. Tidak kemudian timpang tindih seperti hari ini,” kata Wahyudi.
Sementara itu, Teddy Affan Purwadi, salah seorang pendiri Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), mengatakan, terdapat sejumlah parameter untuk menjalankan protokol yang disebut sebagai ”perhubungan putus” dalam konteks pemblokiran.
Misalnya saja parameter yang terkait dengan sistem yang down, rencana melakukan perawatan, dan dalam konteks darurat. Ia menyebut internet sebagai produk jasa. Sementara yang dipersoalkan adalah keputusan politik.
Dalam hal keputusan politik, ia mengatakan, dasar hukumnya mesti jelas. Karena itu, penting untuk segera ada UU Keamanan Siber dan UU Perlindungan Data Pribadi.
Teddy menyebutkan, dalam hal menghadapi konten disinformasi, solusinya memang bukan memutus akses. Akan tetapi, harus dilihat terlebih dahulu bagaimana protokol pelaksanaannya. Misalnya, apakah terjadi inferensi spektrum satelit ke kabel jaringan internet atau apakah terjadi serangan DDoS (distributed denial of service/penolakan layanan secara terdistribusi), dan lainnya.
Tata kelola multipihak
Dalam tata kelola internet yang melibatkan pemerintah dan masyarakat, terdapat tiga fase evolusi. Roxana Radu (2019) dalam buku Negotiating Internet Governance menulis di fase pertama (1970-1994), tata kelola internet lebih informal dan fokus pada standar teknis.
Pada fase kedua (1995-2004), terdapat globalisasi internet yang terkait erat dengan peningkatan peran aktor swasta. Di dalamnya juga mengandung arti penting pendekatan yang berorientasi pasar. Fase ketiga (2005-2015) merupakan dekade pengaturan dengan peraturan global, yang mengedepankan konfigurasi hibrida dan mengistimewakan kemitraan lintas sektoral.
Sementara itu, setelah tahun 2015 terdapat tren kekuatan baru yang mengindikasikan posisi lebih kuat sejumlah perusahaan dan negara. Ini membuat adanya perselisihan mengenai dasar pengaturan terhadap bidang tersebut.
Ellen Kusuma dari Divisi Keamanan SAFEnet mengatakan, internet tidak bisa dimonopoli pengaturannya oleh satu pihak. Diperlukan pendekatan multipemangku kepentingan terkait pengaturan internet. Hal ini mendesak agar jalan pintas pemblokiran internet tak terulang lagi.
Untuk itu, harus dilakukan lebih banyak diskusi untuk mencapai kesepakatan tata kelola internet yang multipihak. Hal ini penting agar kebijakan inklusif dengan melibatkan banyak pemangku kepentingan bisa dihasilkan.