KPK Ingatkan Kepala Daerah Jauhi Perbenturan Kepentingan Saat Kelola ASN
Agar korupsi jual beli jabatan tak terulang, Komisi Pemberantasan Korupsi mengingatkan para kepala daerah agar mengedepankan sistem merit dalam manajemen aparatur sipil negara sehingga menjauhi perbenturan kepentingan.
JAKARTA, KOMPAS — Kasus korupsi terkait pengisian jabatan di lingkungan pemerintah daerah terus berulang, terakhir di Pemerintah Kabupaten Problinggo, Jawa Timur. Untuk memitigasi ini, Komisi Pemberantasan Korupsi mengingatkan para kepala daerah agar mengedepankan sistem merit dalam manajemen aparatur sipil negara. Dengan demikian, tak ada lagi potensi benturan kepentingan dan penyalahgunaan wewenang
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ipi Maryati Kuding saat dihubungi di Jakarta, Rabu (1/9/2021), mengatakan, jual beli jabatan menjadi salah satu modus korupsi yang kerap dilakukan kepala daerah. KPK mencatat, sejak 2016-2021, kasus jual beli jabatan telah melibatkan tujuh kepala daerah, termasuk Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari yang ditahan pada Selasa (31/8) kemarin.
”KPK mengingatkan kepada para kepala daerah agar menjauhi potensi benturan kepentingan dan penyalahgunaan wewenang, khususnya dalam proses lelang jabatan, rotasi, mutasi, dan promosi ASN di lingkungan pemerintahannya,” ujar Ipi.
KPK mengingatkan kepada para kepala daerah agar menjauhi potensi benturan kepentingan dan penyalahgunaan wewenang, khususnya dalam proses lelang jabatan, rotasi, mutasi, dan promosi ASN di lingkungan pemerintahannya.
Adapun, enam kepala daerah yang lain adalah Bupati Klaten Sri Hartini, Bupati Nganjuk M Taufiqurrahman, Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra, Bupati Kudus Muhammad Tamzil, Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko, dan Wali Kota Tanjungbalai M Syahrial.
Ipi menjelaskan, untuk mencegah korupsi, KPK telah mendorong pemda agar menerapkan Monitoring Center for Prevention (MCP). Manajamen ASN merupakan salah satu dari delapan fokus area intervensi perbaikan tata kelola pemda, yang terangkum dalam aplikasi tersebut.
Dalam aplikasi MCP, terdapat lima indikator keberhasilan yang disyaratkan bagi pemda untuk dipenuhi, yaitu ketersediaan regulasi manajemen ASN berupa peraturan kepala daerah (perkara) atau surat keputusan kepala daerah; sistem informasi; kepatuhan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dan pengendalian gratifikasi; tata kelola sumber daya manusia; serta pengendalian dan pengawasan.
”Untuk mencegah benturan kepentingan dan penyalahgunaan wewenang kepala daerah dalam pengisian jabatan, KPK mendorong pula diimplementasikannya manajemen ASN berbasis sistem merit,” ucap Ipi.
Ipi mengungkapkan, keberhasilan daerah dalam mewujudkan manajemen ASN yang mengedepankan nilai-nilai profesionalisme dan integritas, sangat tergantung pada komitmen kepala daerah. Kepala daerah harus mampu menerapkan prinsip-prinsip tata kelola SDM yang akuntabel dan bebas kepentingan, termasuk tidak menjadikan proses pengisian jabatan di instansinya sebagai lahan untuk korupsi.
Evaluasi sistem pemilihan
Sementara itu, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo mengatakan, persoalan jual beli jabatan perlu ditangani dengan mengevaluasi sistem seleksi pemilihan atau formasi jabatan di pemerintahan.
Kasus jual-beli jabatan yang berulang, menurut dia, harus dipelajari polanya, khususnya kepada pihak-pihak yang terindikasi ingin memertahankan kekuasaan sebagai dinasti keluarga dalam pemerintahan. Sebab, semestinya, untuk dapat mengisi jabatan atau formasi tertentu, itu sudah terdapat sistem, aturan, dan parameter yang jelas.
”Saya minta Kementerian Dalam Negeri dan aparat pengawas internal pemerintah melakukan pengawasan yang intens terhadap seleksi pemilihan untuk mengisi jabatan atau formasi dalam pemerintahan, dikarenakan seleksi tersebut harus memenuhi standar kompetensi, sistem lelang, serta melibatkan Komisi Aparatur Sipil Negara, sehingga tidak ada pihak-pihak yang menyalahgunakan kekuasaan dan sistem untuk kepentingan tertentu,” ujar Bambang.
Pemerintah pun diharapkan memperbaiki tatanan birokrasi seleksi pemilihan ASN untuk mengisi jabatan atau formasi tertentu dengan memperjelas dan memperketat peraturan terkait. Dengan demikian, tidak ada celah bagi siapa pun untuk melakukan jual beli jabatan. Sebab, jabatan di satu pemerintahan bukan untuk memenuhi kepentingan pribadi, melainkan untuk kepentingan masyarakat.
”Saya meminta KPK menelusuri dan mengusut tuntas kasus dugaan korupsi atau kasus jual beli jabatan tersebut dan meminta KPK menindak tegas sesuai peraturan perundangan yang berlaku apabila oknum-oknum terkait kasus tersebut terbukti melakukan pelanggaran hukum,” tutur Bambang.
Saya meminta KPK menelusuri dan mengusut tuntas kasus dugaan korupsi atau kasus jual beli jabatan tersebut dan meminta KPK menindak tegas sesuai peraturan perundangan yang berlaku apabila oknum-oknum terkait kasus tersebut terbukti melakukan pelanggaran hukum.
Pengawasan ketat
Guru Besar Ilmu Pemerintahan dari Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Djohermansyah Djohan menyampaikan tidak ada kebutuhan dilaksanakan pemilihan kepala desa (pilkades) serentak. Menurut dia, pilkades serentak justru tidak efisien, biaya penyelenggaraan akan lebih mahal, dan risiko keamanan jauh lebih tinggi.
Selain itu, lanjut Djohermansyah, adanya pengangkatan penjabat kepala desa oleh kepala daerah justru mengakibatkan praktik jual beli jabatan dari ASN. Pilkades juga tidak diperlukan karena tidak ada kebutuhan sinkronisasi perencanaan pembangunan desa.
Menurut Djohermansyah, pilkades serentak tidak relevan karena sistem otonomi desa. ”Pilkades tidak dilaksanakan secara serentak, tetapi disesuaikan dengan akhir masa jabatan kepala desa,” katanya.
Oleh karena itu, lanjut Djohermansyah, perlu ada perbaikan pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Ia menjelaskan, pemilihan kepala desa seharusnya dilaksanakan paling lambat dua bulan sebelum berakhirnya masa jabatan yang bersangkutan.
Adapun untuk kepala desa yang berhalangan tetap atau mengundurkan diri, pilkades dilaksanakan paling lambat enam bulan setelah berhalangan tetap atau mengundurkan diri. Untuk mengisi kekosongan jabatan kepala desa tersebut, sekretaris desa diangkat menjadi penjabat kepala desa sampai terpilih kepala desa yang baru.
Perlu pengawasan yang ketat dari inspektorat. Kepala inspektorat tersebut harus diangkat oleh pemerintah pusat untuk mengawasi penyimpangan yang dilakukan kepala daerah.
Menurut Djohermansyah, pengangkatan penjabat kepala desa dari sekretaris desa dapat mencegah terjadinya jual beli jabatan. Sebab, sekretaris desa memperoleh jabatan sebagai penjabat kepala desa secara otomatis ketika terjadi kekosongan jabatan.
Untuk mencegah terjadinya jual beli jabatan, kata Djohermansyah, juga perlu pengawasan yang ketat dari inspektorat. Kepala inspektorat tersebut harus diangkat oleh pemerintah pusat untuk mengawasi penyimpangan yang dilakukan kepala daerah.
Selain itu, ujar Djohermansyah, pejabat pembina kepegawaian (PPK) tidak lagi dilimpahkan presiden kepada kepala daerah, tetapi kepada pejabat karier tertinggi di daerah, yakni sekretaris daerah. Menurut Djohermansyah, sekda merupakan pegawai negeri sipil yang profesional dan tidak ada kepentingan politik untuk mengangkat seseorang dalam mengisi suatu jabatan.