Putusan Dewan Pengawas KPK terkait laporan dugaan pelanggaran kode etik yang diduga melibatkan Wakil Ketua KPK Lili Pintauli dinilai akan menjadi ajang menilai kredibilitas Dewas. Sidang putusan akan digelar Senin.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi akan menggelar sidang putusan dugaan pelanggaran kode etik Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar pada Senin (30/8/2021) mendatang. Putusan ini akan menjadi pertaruhan kredibilitas Dewan Pengawas KPK.
Anggota Dewas KPK, Albertina Ho, saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (28/8/2021), mengatakan, proses pemeriksaan dugaan pelanggaran etik Lili Pintauli Siregar di dalam kasus jual beli perkara yang melibatkan Wali Kota nonaktif Tanjungbalai, Sumatera Utara, M Syahrial telah selesai. Dewan Pengawas KPK akan membacakan putusannya pada Senin (30/8/2021) mendatang.
”Sudah selesai semua, tinggal putusan,” ujar Albertina.
Sebelumnya, dugaan pelanggaran etik Lili dilaporkan oleh Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi nonaktif KPK Sujanarko serta penyidik (nonaktif) KPK, Novel Baswedan dan Rizka Anungnata. Laporan dilayangkan pada 8 Juni 2021.
Ada dua dugaan pelanggaran etik yang dilaporkan. Pertama, dugaan Lili menghubungi dan menginformasikan perkembangan penanganan kasus dugaan jual beli jabatan yang melibatkan Syahrial. Lili diduga melanggar prinsip integritas yang tercantum pada Pasal 4 Ayat (2) Huruf a Peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK.
Kedua, Lili diduga menggunakan posisinya sebagai unsur pimpinan KPK untuk menekan Syahrial demi urusan penyelesaian masalah kepegawaian yang dialami adik iparnya, Ruri Prihatini Lubis, di Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Kualo Tanjungbalai. Terkait hal ini, Lili diduga melanggar prinsip integritas yang diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) Huruf b, Peraturan Dewan Pengawas KPK No 2/2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK.
Albertina menyampaikan, sidang putusan akan dilaksanakan secara terbuka dan bisa diakses publik. Ia juga menegaskan, Dewas KPK akan bekerja sesuai dengan tugasnya, seperti yang diatur di dalam perundang-undangan dalam menangani perkara dugaan pelanggaran etik oleh Lili.
”Kami tetap berkomitmen untuk itu,” ucap Albertina.
Sebelumnya, dalam jumpa pers pada 30 April 2021, Lili menegaskan tak pernah berkomunikasi dengan Syahrial untuk membahas kasus yang dimaksud. Ia menyebut bahwa sebagai pimpinan KPK yang ditugaskan di bidang pencegahan, ia tidak dapat menghindari komunikasi dengan para kepala daerah (Kompas.id, 27/7/2021).
Pertaruhan Dewas KPK
Peneliti Divisi Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, mendorong Dewas KPK agar tidak ragu menjatuhkan sanksi berat kepada Lili jika terbukti menjalin komunikasi dengan Syahrial.
Tak cukup di situ, menurut Kurnia, putusan Dewas juga harus segera ditembuskan ke Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi KPK serta Polri. Pertama, ke Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK untuk menelusuri apakah ada potensi tindak pidana suap.
Kedua, meski seandainya Lili terbukti melanggar etik dan dijatuhi sanksi ringan, putusan itu harus segera dibawa ke kepolisian untuk didalami dugaan pelanggaran tindak pidana berdasarkan Pasal 65 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
”Pasal 65 UU KPK ini melarang bagi pimpinan untuk bertemu, berkomunikasi dengan pihak yang sedang beperkara. Ini pernah dilakukan KPK dulu saat Antasari Azhar dilaporkan ke Polda Metro Jaya,” ucap Kurnia.
Untuk sampai ke sana, Kurnia berpandangan, semua bergantung pada putusan Dewas KPK. Putusan tersebut akan menjadi pertaruhan kredibilitas Dewas di tengah sejumlah putusan Dewas yang belakangan kerap menoleransi pelanggar etik oleh insan KPK.
Jika Lili terbukti menjalin komunikasi dengan pihak yang beperkara dan hanya mendapat sanksi ringan, keraguan publik terhadap independensi Dewas akan semakin besar.
”Jangan sampai justru tindakan bertemu dengan pihak beperkara itu dibenarkan. Itu, kan, salah satu poin krusial. Karena itu, jika seandainya tidak terbukti, maka, ya, memang benar dugaan publik selama ini, Dewas itu seperti kuasa hukum dari pimpinan KPK saja, yang selalu melakukan pembelaan di tengah kemerosotan kinerja dan integritas pimpinan KPK,” kata Kurnia.
Ada dua putusan Dewas KPK yang dinilai kontroversial di publik. Pertama, Dewas KPK hanya memberikan sanksi ringan berupa teguran tertulis dua kepada Ketua KPK Firli Bahuri atas pelanggaran kode etik terkait penggunaan helikopter mewah saat perjalanan di Sumatera Selatan.
Kedua, Dewas KPK memutuskan untuk tidak melanjutkan laporan dugaan pelanggaran etik pimpinan KPK terkait pelaksanaan tes wawasan kebangsaan. Putusan itu bertolak belakang dengan temuan Ombudsman Republik Indonesia yang menemukan malaadministrasi berlapis dalam pelaksanaan tes sebagai syarat alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara tersebut.