Koalisi Parpol Pemerintah Kian Gemuk, Pengawasan Jangan Kendur
Jika PAN betul bergabung dalam koalisi parpol pendukung pemerintah, total akan ada tujuh dari sembilan parpol di DPR yang mendukung pemerintah. Komposisi anggota DPR dari parpol pendukung pemerintah menjadi 81 persen.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kabar bergabungnya Partai Amanat Nasional ke dalam koalisi partai politik pendukung pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wapres Ma’ruf Amin akan membuat dukungan bagi pemerintah dari DPR kian dominan. Dominasi parlemen ini diharapkan tak menjadi pembenaran bahwa mereka telah mewakili seluruh kelompok masyarakat. Setiap kebijakan harus tetap dibicarakan dengan banyak pihak dan berpihak pada publik.
Jika Partai Amanat Nasional (PAN) betul bergabung dalam koalisi partai politik (parpol) pendukung pemerintah, total akan ada tujuh dari sembilan parpol di DPR yang mendukung pemerintah. Komposisi anggota DPR dari parpol pendukung pemerintah yang semula 74 persen meningkat menjadi 81 persen. Adapun dua parpol yang berada di luar pemerintahan adalah Partai Demokrat bersama Partai Keadilan Sejahtera.
Sekalipun mendominasi parlemen, Direktur Pusat Kajian Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Aditya Perdana berharap sistem pengawasan dan keseimbangan (checks and balances) tetap terjaga. Anggota DPR dari koalisi parpol pendukung pemerintah diharapkan tetap optimal menjalankan fungsi pengawasan. Selain itu, tetap kritis dan tidak ragu untuk berseberangan dengan pemerintah.
”Namun, caranya harus menyesuaikan dengan gaya kepemimpinan Presiden,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (27/8/2021).
Menurut dia, Presiden Joko Widodo merupakan pemimpin yang lekat dengan budaya Jawa, salah satunya terkait nilai penghormatan kepada pimpinan. Oleh karena itu, penyampaian kritik hendaknya tidak dilakukan secara eksplisit. ”Mungkin (kritik) harus dilakukan dengan cara yang memutar,” kata Aditya.
Selain itu, parpol dapat memberikan masukan melalui implementasi teknis kebijakan di lapangan. Sebab, Presiden dikenal sebagai pemimpin yang hobi blusukan. Artinya, ia cenderung memperhatikan kebijakan tidak hanya pada saat dibuat, tetapi juga ketika sudah diterapkan.
”Langsung membicarakan hal yang sifatnya teknis bisa menjadi cara yang efektif,” kata Aditya.
Selain di lingkup internal koalisi, tambahnya, upaya menjaga demokratisasi mutlak perlu dilakukan dengan pihak yang berseberangan dan publik. Koalisi yang dominan tidak boleh menjadi pembenaran bahwa mereka sudah mewakili seluruh kelompok masyarakat sehingga kebijakan yang dibuat dirasa tidak perlu dibicarakan dengan banyak pihak. Dominasi itu juga hendaknya tidak membuat koalisi terlalu percaya diri.
Aditya menambahkan, penting bagi koalisi pemerintah untuk terus meningkatkan keterlibatan publik dalam penentuan kebijakan. Apalagi, Jokowi berulang kali menyatakan bahwa dirinya terbuka untuk dikritik.
”Ruang kebebasan untuk siapa pun yang ingin menyampaikan pendapat, meski berbeda dengan pemerintah, harus tetap dibuka. Jika itu dibungkam atau diselewengkan, maka ancaman terhadap demokrasi akan semakin kuat,” katanya.
Jaga demokrasi
Secara terpisah, Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mengatakan, penentuan komposisi koalisi partai pendukung pemerintah merupakan hak prerogatif Presiden. Oleh karena itu, pihaknya menyerahkan sepenuhnya apabila Jokowi ingin menambah anggota koalisi, termasuk Partai Amanat Nasional (PAN). Wacana bergabungnya PAN juga bukan hal baru, melainkan sudah cukup lama menjadi pembicaraan dalam diskusi informal sesama partai koalisi.
”Hanya, kami berharap agar Presiden Jokowi tetap menjaga kehidupan demokrasi yang sehat,” kata anggota Komisi III DPR ini.
Artinya, ruang untuk menyampaikan kritik ataupun memberikan masukan dari anggota DPR yang berasal dari koalisi parpol pendukung pemerintah tetap dibuka dan didengar pemerintah. Apalagi, masukan yang selama ini disampaikan anggota DPR dari koalisi pendukung pemerintah sering kali tidak menyangkut kebijakan dasar yang dibuat pemerintah, tetapi terkait implementasinya.
Contohnya, terkait tenaga kerja asing asal China yang bekerja di Indonesia. Menurut Arsul, selama ini pihaknya tidak menghalangi masuknya investasi dari China, tetapi mengkritisi kebijakan turunannya. ”Saat pandemi, kenapa mereka bisa masuk?” ujar Arsul.