Sepanjang 2020 hingga kini, baru empat RUU dalam Prolegnas Prioritas 2021 yang dituntaskan. Sekalipun dihadapkan pada problem pandemi Covid-19, ada sejumlah solusi untuk memperbaiki produktivitas legislasi.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perbaikan capaian legislasi DPR menjadi salah satu tolok ukur untuk menilai kinerja DPR. Oleh karena itu, lembaga perwakilan itu diharapkan dapat menelurkan kebijakan-kebijakan yang berkualitas bersama pemerintah dan sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat. Optimalisasi waktu reses ataupun rasionalisasi target dalam program legislasi nasional dapat ditempuh sebagai sarana untuk meningkatkan produktivitas legislasi.
Berdasarkan catatan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), sepanjang 2020, baru 13 rancangan undang-undang (RUU) yang disahkan menjadi UU oleh DPR dari 37 RUU yang masuk sebagai Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahunan. Dari jumlah itu, sebenarnya hanya tiga UU yang merupakan usulan pemerintah atau DPR. Adapun sisanya merupakan ratifikasi konvensi, perjanjian kerja sama antarnegara, ataupun tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi.
Kondisi ini, menurut peneliti Forum Masyarakat Pemerhati Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menunjukkan rendahnya komitmen DPR dan pemerintah dalam menuntaskan UU yang menjadi kebutuhan publik sebagaimana tergambar dalam Prolegnas Prioritas tahunan ataupun Prolegnas jangka panjang lima tahunan.
”Dari capaian itu, sampai dengan 2021, sebenarnya total DPR baru menyelesaikan empat UU yang merupakan kumulatif tertutup, yakni rancangan undang-undang (RUU) yang ada di dalam Prolegnas Prioritas tahunan 2020. Satu UU yang disahkan pada 2021 ialah UU Otonomi Khusus Papua. Adapun sisanya, kan, merupakan kumulatif terbuka, yakni yang merupakan ratifikasi, pengesahahan perppu, dan tindak lanjut putusan MK,” katanya saat dihubungi, Rabu (25/8/2021), dari Jakarta.
Minimnya capaian legislasi DPR ini pun dipandang kontradiktif dengan prestasi DPR yang dapat membahas RUU Cipta Kerja hanya dalam waktu enam bulan pada 2020. Padahal, RUU itu terdiri atas ribuan pasal dan melibatkan sedikitnya 76 UU dalam mekanisme omnibus law.
Namun, ketika berhadapan dengan RUU lain, DPR terlihat belum memiliki cukup niatan untuk menyelesaikan legislasi tersebut dengan cepat atau setidaknya mendekati target yang ditetapkan dalam Prolegnas Prioritas tahunan.
”Ketika membahas RUU Cipta Kerja dulu, DPR sampai mengadakan rapat di saat masa reses dan mengabaikan hari libur, Sabtu dan Minggu. Kalau memang DPR ingin menuntaskan RUU lainnya dengan semangat yang sama, tentu upaya semacam itu dapat dipilih. RUU yang ada di dalam Prolegnas Prioritas tahunan itu, kan, juga mencerminkan kebutuhan hukum masyarakat yang semestinya juga dipenuhi oleh DPR,” katanya.
Menurut Lucius, dalam kondisi pandemi, pertemuan dan rapat fisik memang tidak bisa dilakukan dengan optimal. Begitu pula dengan pertemuan fisik di daerah pemilihan (dapil) saat masa reses. Jika masa reses itu dialihkan sebagian waktunya untuk membahas legislasi, sebagaimana dulu pernah dilakukan anggota DPR saat membahas RUU Cipta Kerja, target pencapaian legislasi DPR dalam Prolegnas Prioritas diproyeksikan membaik.
”Kalaupun reses, tentu tidak leluasa bertemu dengan konstituen. Kenapa tidak juga masa reses itu dialihkan untuk menyelesaikan legislasi. Karena dulu, kan, DPR juga pernah melakukan itu saat membahas RUU Cipta Kerja. Jangan karena alasan RUU Cipta Kerja itu ada kepentingan DPR dan pemerintah, maka pembahasannya dipercepat, sedangkan tidak demikian dengan RUU lainnya,” ucap Lucius.
Peneliti PSHK, Fajri Nursyamsi, menilai, jumlah RUU yang diputuskan masuk dalam Prolegnasi perlu jadi salah satu hal yang dipertimbangkan DPR. Sebab, selama ini dalam penetapan Prolegnas, target yang ditetapkan sangat tinggi, bahkan pernah mencapai 50 RUU per tahun.
Target Prolegnas yang masih tinggi dan tidak disesuaikan dengan kemampuan lembaga dalam menuntaskannya menunjukkan bahwa DPR tidak berkaca dari capaian-capaian tahun sebelumnya. Apalagi, pada masa pandemi ditemui sejumlah kendala dalam pembahasan suatu RUU.
”Kalau kami melihat dari dulu memang sebaiknya DPR tidak fokus dalam legislasi di masa pandemi karena yang dibutuhkan masyarakat ialah pengawasan dan penganggaran yang lebih baik dari DPR. Kalau memang betul-betul tidak mendesak dan tidak terkait dengan penanganan pandemi, legislasi itu tidak terlalu menjadi fokus pekerjaan DPR,” katanya.
Hal lain ialah problem dalam penyerapan aspirasi masyarakat pada pembentukan legislasi itu juga membuat kualitas UU yang dihasilkan selama masa pandemi ini menjadi kurang baik dan kurang partisipatif.
Penyerapan aspirasi dalam membentuk UU menjadi suatu hal yang krusial dan itu tidak ideal jika dilakukan pada saat banyak dilakukan pembatasan aktivitas dan mobilitas masyarakat.
Di sisi lain, transparansi informasi dalam pembahasan RUU pada masa pandemi juga belum terlihat di DPR. Laman DPR dan media sosial DPR dinilai belum dimanfaatkan secara optimal dalam menyerap aspirasi publik.
Seizin pimpinan
Anggota Komisi II DPR yang juga anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR, Guspardi Gaus, mengatakan, masa reses pada prinsipnya tidak dapat digunakan untuk rapat dan membahas UU, kecuali ada izin pimpinan. Artinya, sebagai bagian dari kerja dan fungsi DPR untuk menjalin komunikasi dan menyerap aspirasi dari konstituen, reses ke dapil adalah suatu kewajiban.
Ditanyai mengenai pengalaman Baleg DPR saat membahas RUU Cipta Kerja pada masa reses, Guspardi mengatakan, hal itu dilakukan atas izin pimpinan. Pada kondisi tertentu, jika memang ada UU yang sangat mendesak untuk dibahas, dapat saja DPR mengajukan izin pembahasan RUU kepada pimpinan DPR melalui rapat Badan Musyawarah (Bamus).
Namun, reses dengan menemui konstituen adalah sesuatu yang telah diatur dalam Undang-Undang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) sehingga tidak bisa begitu saja dihilangkan atau diabaikan DPR.
”Baleg dalam fungsinya melakukan sinkronisasi dan harmonisasi RUU tentu berharap target Prolegnas itu dapat tercapai. Namun, dalam pembahasannya, itu bergantung pada alat kelengkapan dewan (AKD) yang ditunjuk oleh Bamus DPR dalam membahas RUU itu. Bisa saja itu dibahas dalam panitia kerja (panja) atau panitia khusus (pansus), tetapi itu juga akan sangat tergantung dalam proses di AKD itu sendiri,” katanya.
Saat ini, upaya percepatan pembahasan RUU yang menjadi kewajiban Komisi II, misalnya, yakni lima RUU penetapan provinsi, telah berproses. Demikian pula dengan beberapa RUU dalam pembentukan pengadilan tinggi dan pengadilan tata usaha negara (TUN) di sejumlah daerah yang menjadi kewajiban Komisi III, itu juga sedang berproses. ”Kami tetap berupaya menyelesaikan semua RUU sesuai dengan apa yang tercantum di dalam Prolegnas dan Prolegnas ini pun bisa dievaluasi,” ucapnya.
Dihubungi terpisah, Koordinator Divisi Reformasi Parlemen Indonesian Parliamentary Center (IPC) Muhammad Ichsan mengatakan, sesuai dengan tata tertib DPR dan UU MD3, masa reses disesuaikan dengan masa sidang. Dalam satu tahun ada 4-5 kali masa sidang. Demikian pula jumlah reses akan mengikuti kesepakatan yang dibuat lembaga DPR.
”Untuk meniadakan masa reses tentu tidak mungkin karena itu memang diatur di dalam UU MD3. Hanya saja, memang selama ini yang menjadi sorotan ialah kinerja DPR semasa mereka reses. Sebab, tidak pernah ada laporan jelas apa saja yang dilakukan oleh anggota DPR itu selama mereka reses. Sementara hal itu diperlukan publik sebagai pertanggungjawaban kinerja mereka juga,” kata Ichsan.
Anggota Komisi I DPR yang juga anggota Baleg DPR dari Fraksi Golkar, Christina Aryani, menuturkan, persoalan dalam penyelesaian legislasi memang disadari oleh DPR. Dalam penentuan target Prolegnas pun, Baleg DPR sejak awal sangat selektif. Salah satu upayanya ialah dengan membatasi satu AKD hanya bisa mengusulkan satu RUU setiap tahun.
Praktiknya ternyata tidak sesederhana itu karena muncul usulan lain dari fraksi, anggota, ataupun pemerintah yang juga harus dipertimbangkan. Pembentukan UU itu pun bukan kerja DPR saja, melainkan juga melibatkan peran pemerintah. Sebagai contoh, terkait pembahasan RUU Pelindungan Data Pribadi (PDP), DPR menginginkan ada percepatan. Namun, pada kenyataannya belum ada kesepahaman dengan pemerintah yang membuat RUU itu belum kunjung disahkan.
”Di awal (penetapan Prolegnas) juga sudah dijalankan seperti itu (rasionalisasi target). Setiap komisi hanya akan membahas satu RUU. Jika sudah selesai baru bisa move on ke RUU selanjutnya. Tetapi, ketika penyusunan Prolegnas, jumlahnya akan menjadi bertambah dengan adanya RUU inisiatif anggota, inisiatif Baleg, dan tentunya RUU inisiatif pemerintah,” katanya.