Usut Dugaan Pencucian Uang dalam Kasus Korupsi Bansos
Apabila unsur dugaan tindak pidana pencucian uang terpenuhi, terdakwa kasus korupsi bansos, termasuk bekas Mensos Juliari Batubara, bisa dihukum lebih berat. Kerugian negara akibat kasus korupsi itu pun bisa dipulihkan.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi diminta mengembangkan pengusutan kasus korupsi bantuan sosial Kementerian Sosial. Tidak sebatas tindak pidana suap yang telah terbukti di pengadilan, tetapi juga mengusut dugaan tindak pidana pencucian uang. Pengusutan dugaan tindak pidana pencucian uang bisa jadi solusi untuk memulihkan kerugian negara.
Guru Besar Hukum Acara Pidana Universitas Jenderal Soedirman Hibnu Nugroho saat dihubungi, Selasa (24/8/2021), mengatakan, nilai kerugian negara yang terungkap dalam sidang perkara bansos Kemensos tidak sedikit. Masyarakat di wilayah Jabodetabek pun merasakan dampak langsung dari korupsi tersebut.
Namun, sayangnya, vonis yang dijatuhkan majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta kepada bekas Menteri Sosial Juliari Batubara belum memenuhi rasa keadilan. Masyarakat dinilainya kecewa dan putusan itu berisiko membuat masyarakat tak percaya dengan sistem hukum di Indonesia.
”Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum, KPK bisa menyidik dugaan TPPU (tindak pidana pencucian uang) kasus korupsi bansos. Apalagi KPK pernah sesumbar tidak akan berhenti di pasal penyuapan,” kata Hibnu.
Menurut Hibnu, apabila memang ditemukan unsur-unsur TPPU, bukan tidak mungkin para terdakwa kasus korupsi bansos, termasuk Juliari Batubara, bisa dihukum lebih berat. KPK bisa melibatkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menelusuri dugaan pencucian uang. Fakta-fakta persidangan juga bisa menjadi pegangan bagi KPK.
Pelaku lain
Selain dugaan TPPU, fakta persidangan juga bisa digunakan untuk mengembangkan kasus ke pelaku lain. Misalnya, disebutnya politikus PDI-P, Herman Herry dan Ihsan Yunus, sebagai pemilik perusahaan penerima kuota bansos oleh majelis hakim dalam putusan Juliari. Fakta persidangan itu bisa dikembangkan untuk mencari subyek hukum lain dalam dugaan korupsi bansos.
”KPK harus bisa mengupas tuntas kasus korupsi bansos ini untuk mengembalikan kepercayaan publik. Jika memang ada pihak-pihak lain yang disebutkan di pengadilan, harus didalami,” kata Hibnu.
Peneliti Divisi Hukum Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, mengatakan, pasal TPPU memang bisa diterapkan untuk mengembalikan kerugian negara akibat korupsi bansos Kemensos.
Hal itu bisa dilakukan apabila pimpinan KPK konsisten dan membuktikan janjinya untuk mengembalikan aset negara yang hilang akibat korupsi. Terlebih, dalam korupsi bansos Kemensos, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) belum pernah mengumumkan hasil audit potensi kerugian negara dalam perkara tersebut.
BPKP baru menyampaikan adanya selisih antara biaya sesungguhnya untuk setiap paket bansos dan dana yang dikeluarkan Kemensos. Untuk setiap paket, Kemensos mengeluarkan Rp 300.000. Ini terdiri dari Rp 270.000 untuk isi paket, goodie bag senilai Rp 15.000, dan jasa kurir pengiriman Rp 15.000. Namun, berdasarkan temuan BPKP, biaya sesungguhnya untuk setiap paket hanya Rp 150.000. Maka, jika total paket bansos yang disalurkan Kemensos sebanyak 22,7 juta paket, Kurnia menduga kerugian negara bisa mencapai Rp 2,73 triliun.
”Pasal TPPU bisa diterapkan untuk mengembalikan aset negara yang hilang akibat korupsi. Namun, dengan situasi KPK yang sekarang, kita pesimistis ini bisa dilakukan. Apalagi, sejak awal penyidikan, KPK cenderung ingin melokalisasi kasus berhenti pada Juliari,” terang Kurnia.
Sementara itu, Kepala PPATK Dian Ediana Rae mengatakan, PPATK sudah memeriksa dan menganalisis transaksi keuangan mencurigakan dalam kasus korupsi bansos. Hasil analisis dan pemeriksaan PPATK itu sudah diserahkan kepada KPK sehingga KPK yang bisa membuka detail temuannya.
”Pada saat KPK meminta informasi transaksi keuangan mencurigakan kepada PPATK, kami kebetulan sudah bergerak. PPATK harus bergerak melakukan analisis pemeriksaan tanpa harus diminta oleh aparat penegak hukum kalau ada tindak pidana ekonomi, termasuk korupsi,” terang Dian.