Respons Kesimpulan Komnas HAM, KPK: Tunggu Putusan MA dan MK
Jubir KPK Ali Fikri menyebut KPK masih menunggu proses hukum di MK dan MA terkait alih status pegawai KPK. Karena itu, KPK belum bisa merespons kesimpulan Komnas HAM bahwa ada pelanggaran HAM dalam alih status itu.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyimpulkan ada pelanggaran HAM dalam proses alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi aparatur sipil negara melalui tes wawasan kebangsaan. Terkait hal itu, KPK menyatakan belum dapat menyampaikan sikapnya karena menunggu hasil putusan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung atas sejumlah gugatan terkait peralihan pegawai KPK menjadi ASN.
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri saat dihubungi di Jakarta, Senin (16/8/2021), mengatakan, KPK menghormati hasil pemantauan dan penyelidikan Komnas HAM terkait alih status pegawai KPK. Ia menyampaikan, sejauh ini KPK belum menerima hasil tersebut.
”Segera setelah menerimanya, kami tentu akan mempelajarinya lebih rinci temuan, saran, dan rekomendasi dari Komnas HAM kepada KPK,” ujar Ali.
Sebagaimana diberitakan, Komnas HAM menemukan setidaknya ada 11 bentuk pelanggaran HAM dalam penyelenggaraan asesmen tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai KPK. Atas temuan itu, Komnas HAM akan mengirimkan rekomendasi kepada Presiden Joko Widodo selaku pemegang kekuasaan tertinggi untuk mengabil alih seluruh proses penyeleggaraan TWK pegawai KPK yang menyebabkan 75 pegawai dinonaktifkan akibat tak lolos tes.
Ali menyampaikan, proses alih status pegawai KPK menjadi ASN bukan tanpa dasar, tetapi harus dilihat sebagai amanat peraturan perundang-undangan, yakni Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, Peraturan Pemerintah No 41/2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN, serta Peraturan KPK No 1/2021 tentang Tata Cara Pengailhan Status Pegawai KPK menjadi ASN.
Dalam pelaksanaannya, KPK juga telah mematuhi peraturan perundangan yang berlaku, termasuk putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan amanat Presiden. KPK juga telah melibatkan kementerian/lembaga negara yang mempunyai kewenangan dan kompetensi dalam proses alih status pegawai tersebut.
Ali menambahkan, saat ini, KPK masih menunggu proses hukum di MK dan Mahkamah Agung (MA) terkait proses pengalihan pegawai KPK menjadi ASN. Obyek perkara yang dimaksud adalah perkara uji materi Pasal 69B Ayat (1) dan Pasal 69C UU KPK, yang mengatur pegawai KPK harus menjadi ASN. Perkara itu tengah diuji di MK. Sementara itu, objyk perkara Peraturan KPK No 1/2021 kini tengah diuji di MA.
“Sebagai negara yang menjujung tinggi asas hukum, sepatutnya kita juga menunggu hasil pemeriksaan tersebut, untuk menguji apakah dasar hukum dan pelaksanaan alih status ini telah sesuai sebagaimana mestinya atau belum,” kata Ali.
Mengklaim sudah sesuai aturan
Pelaksana Tugas Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana menyampaikan, rekomendasi Komnas HAM spesifik ditujukan kepada Presiden dan tidak untuk lembaga lain sehingga BKN tidak bisa mengomentarinya. Hal ini berbeda dengan hasil temuan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) kepada BKN, yang kemudian BKN diberikan ruang oleh peraturan perundang-undangan untuk menyampaikan keberatan.
Sebagaimana diketahui, pada Jumat (13/8/2021), BKN menyatakan keberatan atas laporan akhir hasil pemeriksaan ORI terkait pelaksanaan TWK terhadap pegawai KPK. BKN menyatakan pelaksanaan tes tersebut sudah sesuai arahan Presiden.
Bima sulit mengomentari temuan Komnas HAM karena BKN tak mendapat dokumen hasil penyelidikannya. Namun, jika melihat isi dari jumpa pers Komnas HAM pada Jumat siang, menurut Bima, Komnas HAM belum mengungkap secara utuh pihak yang menstigma atau memberi label Taliban.
”Contohnya, yang menstigma atau melabel Taliban itu siapa sih? Satu orang? Satu kelompok orang? Satu institusi? Atau semua institusi yang terlibat TWK? Kalau di BKN, kan, tidak pernah ada pelabelan itu. Mungkin ada di dokumen yang akan disampaikan ke Presiden, siapa yang dituduh melabel itu. Karena (BKN) tidak mendapat dokumennya, untuk saya belum clear betul,” ujarnya.
Menurut Bima, kehadiran BKN dalam proses alih status pegawai KPK ini hanya menjalankan tugas sebagai satu-satunya institusi yang bisa membina dan menyelenggarakan kompetensi ASN. Kewenangan BKN itu juga telah diatur di dalam Pasal 48 Huruf b UU No 5/2014 tentang ASN.
Soal melibatkan asesor dari pihak ketiga, hal itu juga telah diatur dalam Pasal 35 Ayat 1 Huruf a UU Administrasi Pemerintahan, yang menyatakan badan dan/atau pejabat pemerintahan dapat memberikan bantuan kedinasan kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan yang meminta dengan syarat antara lain keputusan atau tindakan tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan yang meminta bantuan. Kemudian, hal tersebut diatur lebih tegas lagi di Peraturan BKN No 26/2019 tentang Pembinaan Penyelenggaraan Kompetensi Pegawai Negeri Sipil.
”Posisi tindakan kami seperti itu dan banyak pakar yang menyampaikan hal yang sama,” kata Bima.
Perkuat temuan
Perwakilan pegawai yang tak memenuhi syarat TWK, Yudi Purnomo, mengapresiasi Komnas HAM atas laporan hasil penyelidikan dan rekomendasi yang dirilis Senin ini. ”Pelanggaran yang ditemukan Komnas HAM tersebut sangat serius, mulai dari perlindungan hak perempuan sampai dengan penghilangan hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan,” ujarnya.
Menurut Yudi, pelanggaran HAM ini merupakan bukti bahwa terdapat permasalahan yang lebih luas dalam pelaksanaan TWK sebagai syarat alih status pegawai KPK menjadi ASN. Apalagi, sebelumnya Ombudsman RI juga menemui ada malaadministrasi berlapis dalam proses tersebut.
”Bukti dan validasi ini menjadikan penggunaan hasil TWK sebagai dasar pengangkatan pegawai KPK menjadi ASN tidak memiliki legitimasi baik dari sisi hukum maupun norma,” ucap Yudi.
Untuk itu, lanjutnya, seluruh pihak sepatutnya menjalankan rekomendasi Komnas HAM. Dengan begitu, pelanggaran HAM yang terjadi tidak berlanjut dan kemudian menimbulkan dampak yang serius.
Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena menambahkan, temuan Komnas HAM semakin membuktikan bahwa proses TWK yang dilakukan oleh KPK dinodai berbagai pelanggaran HAM, termasuk di antaranya pelanggaran hak atas pekerjaan, kebebasan berpendapat, beragama dan berkeyakinan, serta untuk tidak didiskriminasi.
Menurut Wirya, temuan Komnas HAM juga mengindikasikan bahwa proses TWK diduga kuat merupakan bentuk penyingkiran terhadap pegawai dengan latar belakang tertentu dan pegawai tersebut disasar karena aktivitas kerja profesionalnya di KPK.
”Ini menunjukkan bahwa ada upaya untuk melemahkan kerja antikorupsi KPK, yang akan berdampak kepada pemenuhan hak-hak masyarakat,” ujar Wirya.
Oleh karena itu, Amnesty International Indonesia mendesak Presiden Jokowi untuk menjalankan rekomendasi Komnas HAM, terutama dengan memulihkan status pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat TWK untuk dapat diangkat menjadi ASN KPK.
”Kami juga mendesak agar Presiden melakukan evaluasi menyeluruh terhadap proses TWK untuk mencegah pelanggaran HAM lebih lanjut dalam tubuh KPK,” kata Wirya.