KPK Sampaikan Keberatan, Ombudsman Pastikan Proses Tetap Berjalan
Ombudsman akan menjalankan perannya sesuai mekanisme. Jika Pimpinan KPK tak juga melaksanakan keputusan Ombudsman, seperti diatur dalam UU No 37/2008, rekomendasi kepada Presiden akan dikeluarkan.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ombudsman Republik Indonesia telah menerima surat keberatan Komisi Pemberantasan Korupsi atas laporan akhir hasil pemeriksaan Ombudsman terkait tes wawasan kebangsaan pegawai KPK. Meski demikian, Ombudsman memastikan semua proses tetap berjalan sesuai aturan.
Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Robert Na Endi Jaweng, saat dihubungi di Jakarta, Jumat (6/8/2021), mengatakan, surat keberatan KPK telah diterima Jumat ini. Atas surat tersebut, Robert enggan mengomentarinya.
Berjalan sesuai mekanisme di Ombudsman. (Robert, anggota Ombudsman)
Namun, ia mengingatkan, mekanisme kerja ORI telah diatur di Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang ORI. Itu termasuk batas waktu 30 hari bagi KPK dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) dalam menjalankan tindakan korektif, hingga wewenang ORI mengeluarkan rekomendasi kepada Presiden jika tindakan korektif tidak juga dijalankan sampai batas waktu yang tersedia.
”Berjalan sesuai mekanisme di Ombudsman,” ujar Robert.
Sebelumnya, KPK menyatakan keberatan untuk menindaklanjuti tindakan korektif yang disampaikan ORI terkait pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK) KPK. KPK justru menilai Ombudsman melanggar hukum dan melampaui kewenangan. Pimpinan KPK juga menegaskan, dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, KPK tak tunduk kepada lembaga apa pun.
Secara terpisah, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengklaim, pernyataan keberatan KPK ini didasari Pasal 25 Ayat (6b) Peraturan ORI Nomor 48 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penerimaan, Pemeriksaan, dan Penyelesaian Laporan. Dalam aturan itu disebutkan, keberatan dari terlapor atau pelapor terhadap LAHP disampaikan kepada Ketua ORI.
Masyarakat, menurut dia, perlu memahami dan menilai sikap KPK ini sebagai sesuatu yang prosedural dan sesuai hak yang diberikan oleh hukum. Hal ini sama dengan seseorang dalam pengadilan yang tidak menerima putusan hakim lalu bisa meminta banding. Kemudian, orang yang meminta banding tersebut adalah hal yang biasa menggunakan haknya sehingga tidak perlu dipermasalahkan.
”Ini sikap kenegarawanan KPK dengan menaati hukum, dalam Peraturan Ombudsman itu kepada terlapor dimungkinkan untuk keberatan atas LHAP (laporan akhir hasil pemeriksaan) ORI,” ucap Nurul.
Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BKN Bima Haria Wibisana menyampaikan, Jumat ini, merupakan rapat terakhir bagi timnya untuk menyiapkan argumentasi hukum, yang akan dikirim ke ORI. Ia berharap, jawaban atas LAHP ORI tersebut selesai pekan depan.
”Isinya beda tipis dengan (pernyataan keberatan) KPK,” tutur Bima.
Kesadaran bernegara
Guru Besar Administrasi Negara Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia Eko Prasojo berpandangan, relasi antarlembaga adalah bentuk saling mengontrol (check and balances). Ini bertujuan untuk menghindari lembaga dengan kekuatan super dan penyalahgunaan kekuasaan (super power and abuse of power).
Dalam negara demokratis, lanjut Eko, hal itu sudah wajar dan menjadi prinsip dasar keseimbangan kekuasaan. Kekuasaan DPR, misalnya, dibatasi oleh Mahkamah Konstitusi sehingga legislasi sebagai produk DPR bisa ditinjau kembali.
Guru Besar Administrasi Negara Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia Eko Prasojo berpandangan, relasi antarlembaga adalah bentuk saling mengontrol (check and balances). Ini bertujuan untuk menghindari lembaga dengan kekuatan super dan penyalahgunaan kekuasaan.
”Di Indonesia sangat penting karena faktor kesejarahaan kita pernah menjadi negara otoriter dan sentralistik di masa Orde Baru. Pelajaran yang sangat berharga,” ujar Eko.
Hal ini sama dengan kehadiran Ombudsman yang menengahi polemik kepegawaian KPK. Ini juga sebagai bagian dari check and balances.
Terhadap pernyataan keberatan KPK, menurut Eko, perbedaan pendapat merupakan hal yang biasa di negara demokrasi. Namun, ia melihat, konteks ORI pada keputusan administrasi yang sifatnya malaadministrasi, telah sesuai UU ORI.
”Untuk itu, perlu kesadaran bernegara dari semua pihak,” katanya.
Ia juga mengingatkan bahwa Presiden adalah kepala pemerintahan dan kepala negara. Dalam konteks konstitusi Undang-Undang Dasar 1945, Presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan. Karena itu, jika nanti Ombudsman mengeluarkan rekomendasi kepada Presiden, apa pun yang disampaikan Presiden wajib dipatuhi oleh semua pihak.
”Semua hal berkaitan dengan kewenangan pemerintahan (berada) di bawah Presiden, sekalipun tdak diatur secara eksplisit dalam sebuah undang-undang,” ujar Eko.