Optimalkan Tujuan Pembatasan
Pemerintah berkeyakinan PPKM darurat terbukti mengendalikan penularan Covid-19 meski dari sisi epidemiologi, penularan masih tinggi sehingga upaya pengendalian perlu dioptimalkan.
Pada Selasa (20/7/2021) malam, Presiden Joko Widodo mengatakan, penerapan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM darurat yang dimulai 3 Juli 2021 adalah kebijakan yang tidak dapat dihindari. Kebijakan tersebut harus diambil pemerintah meski itu sangat berat.
PPKM darurat dilakukan untuk menurunkan penularan Covid-19 dan mengurangi kebutuhan masyarakat untuk pengobatan di rumah sakit sehingga tidak membuat lumpuhnya rumah sakit lantaran kelebihan kapasitas pasien Covid-19. Selain itu, agar layanan kesehatan untuk pasien dengan penyakit kritis lainnya tidak terganggu dan terancam nyawanya.
Baca juga: PPKM Darurat Dibuka Bertahap Mulai 26 Juli 2021
”Alhamdulillah, kita patut bersyukur, setelah dilaksanakan PPKM darurat, terlihat dari data, penambahan kasus dan kepenuhan bed (tempat tidur) rumah sakit mengalami penurunan. (Oleh) karena itu, jika tren kasus terus mengalami penurunan, tanggal 26 Juli 2021 pemerintah akan melakukan pembukaan secara bertahap,” kata Presiden Joko Widodo.
Setelah dilaksanakan PPKM darurat, penambahan kasus dan kepenuhan bed (tempat tidur) rumah sakit mengalami penurunan. (Oleh) karena itu, jika tren kasus terus mengalami penurunan, tanggal 26 Juli 2021 pemerintah akan melakukan pembukaan secara bertahap.
Pada Rabu, 21 Juli 2021, pemerintah mengumumkan 33.772 kasus terkonfirmasi positif Covid-19 sehingga jumlah total kasus positif di Indonesia sudah mendekati 3 juta orang. Jumlah orang meninggal karena Covid-19 pada Rabu 1.383 orang. PPKM darurat yang diberlakukan sejak 3 Juli 2021 hingga 20 Juli 2021 diperpanjang oleh pemerintah hingga 25 Juli 2021. Namanya bukan lagi PPKM darurat, melainkan PPKM level 4.
Pemerintah pun menerbitkan Instruksi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 22 Tahun 2021 yang mengatur tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Level 4 Corona Virus Disease 2019 di Wilayah Jawa dan Bali. Instruksi Mendagri yang mulai berlaku 21 Juli 2021 hingga 25 Juli 2021 tersebut menindaklanjuti arahan Presiden Republik Indonesia yang menginstruksikan agar melaksanakan PPKM level 4 Covid-19 di wilayah Jawa dan Bali sesuai dengan kriteria level situasi pandemi berdasarkan asesmen.
Menanggapi evaluasi PPKM darurat yang disampaikan Presiden, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dalam acara Satu Meja the Forum bertajuk ”Setelah Darurat, Lalu Apa?” yang disiarkan Kompas TV, Rabu (21/7/2021) malam, menyampaikan, memang benar terjadi penurunan kasus terkonfirmasi Covid-19 di Jateng.
”(Hal) yang disampaikan Presiden di awal tadi (bahwa) ada penurunan, iya. Berangkat dari pengalaman kasus Kudus saja hari ini cukup bisa membaik, termasuk tetangga kiri-kanannya, seperti Demak, Pati, sampai dengan Jepara. Bahkan, tadi siang saya ke Rembang, BOR-nya (tingkat keterisian tempat tidur di rumah sakit) bagus banget, di bawah 50 persen. Tapi, masih ada gejolak-gejolak di wilayah tengah dan selatan, termasuk di sekitar Kota Semarang,” kata Ganjar.
Diskusi yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo itu diikuti sejumlah narasumber lainnya, yakni Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa; mantan Direktur Penyakit Menular WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) Asia Tenggara Tjandra Yoga Aditama; ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Hendri Saparini; dan sosiolog Universitas Indonesia, Imam Prasodjo.
Ganjar menuturkan, pihaknya memperkirakan kalau hal ini diteruskan sedikit dan kita bisa mengelola untuk berkomunikasi dengan masyarakat, akan bisa jauh lebih baik. ”Dan, memang harus ada pengetatan-pengetatan. Maka, harus ada dua syarat, kalau kita mau longgarkan maka kita akan mengalami situasi yang, barangkali, ini tidak bagus di hilirnya, dalam arti di rumah sakit,” katanya.
Apabila pemerintah mau memperketat, akan ada tuntutan masyarakat, seperti bantuan yang mesti turun, yang harus disegerakan. Terkait warga yang menjalani isolasi mandiri di Jawa Tengah, Ganjar menuturkan jumlahnya sekitar 16.000 orang dengan kondisi bervariasi, tetapi relatif tanpa gejala.
”Memang agak membahayakan sebenarnya ketika mereka isolasi di rumah. Kadang-kadang, dalam faktanya, itu cukup sulit untuk dikontrol. Maka, kluster tertinggi kami sekarang di Jawa Tengah itu memang kluster rumah tangga. Mungkin karena mereka tidak melapor atau dia hanya merasa demam, pilek, biasa saja, padahal kemudian sebenarnya dia itu positif,” kata Ganjar.
Dua sisi
Menurut mantan Direktur Penyakit Menular WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) Asia Tenggara Tjandra Yoga Aditama, evaluasi pelaksanaan dan dampak PPKM darurat pada 3-20 Juli 2021 mesti dilihat dari dua sisi. Pertama, sisi epidemiologi atau community transmission (transmisi komunitas). Kedua, sisi respons di pelayanan kesehatan.
Dari sisi epidemiologi, Tjandra mencatat, pada 3 Juli 2021, di awal PPKM darurat, jumlah orang yang diperiksa 110.000 orang, 27.913 orang positif, dan 493 orang meninggal. Puncaknya, pada 15 Juli 2021, diperiksa 185.000 orang, 56.757 kasus baru.
Baca juga: Puncak Baru Covid-19 di Jambi, Kasus Naik Melebihi 200 Persen
Apabila memakai perbandingan dengan jumlah pemeriksaan di tanggal 15 Juli 2021 tersebut, kasus baru yang terjadi kemarin sebanyak 35.000 kasus. ”Sementara (itu) angka kemarin 38.000 (kasus). Jadi, tampaknya, kalau bicara jumlah kasus, (maka) jumlah kasus masih meningkat. (Jumlah kasus) Masih lebih tinggi dari awal PPKM darurat,” ujar Tjandra.
Positivity rate, perbandingan kasus positif Covid-19 terhadap jumlah tes harian, pada awal PPKM darurat 25,2 persen dan sekarang 30 persen lebih. ”Kemarin 33,4 persen. Jadi, penularan di masyarakat masih tinggi. Jumlah tes pernah naik, kemudian turun. Hal yang paling menyedihkan, keluarga atau saudara kita yang wafat sekarang, sudah beberapa hari, lebih dari 1.000 orang (dalam satu hari),” kata Tjandra.
Dari sisi pelayanan kesehatan, lanjut Tjandra, memang terasa bahwa sekarang situasi lebih baik daripada, katakanlah, 2-3 minggu yang lalu. Di sisi lain, jumlah kasus masih tetap banyak karena kasus terus meningkat. ”Jadi, situasi BOR yang lebih baik ini, antara lain, disebabkan karena memang jumlah bed ditambah. Saya tahu di Jakarta, bahkan Wisma Haji dibuka dengan 1.000 tempat tidur, misalnya, sehingga kalau jumlah bed ditambah tentu denominatornya lebih besar, sehingga BOR-nya akan turun,” katanya.
Baca juga: Disiapkan 2.000 Tempat Tidur Tambahan untuk Pasien Covid-19
Penambahan tempat tidur adalah hal bagus. Namun, kalau jumlah kasus Covid-19 terus bertambah, tentu lama-lama upaya menambah tempat tidur juga akan kewalahan. ”Saya mengusulkan ada dua indikator lain, selain BOR. Indikator berikutnya adalah average waiting time di (fasilitas) emergency. Beberapa waktu lalu yang menjadi masalah adalah orang tidak bisa masuk ke IGD (instalasi gawat darurat) karena IGD penuh sehingga orang harus mengantre. Tadinya tidak pernah ada isu seperti ini,” ujar Tjandra.
Apabila average waiting time di IGD juga dihitung atau katakan sekarang sudah tidak ada yang menunggu di IGD, maka itu hal cukup bagus. Indikator lain yang diusulkan adalah jumlah tenaga kesehatan yang terpapar. ”Ini saya pikir penting dijadikan salah satu indikator untuk mem-balance (menyeimbangkan) antara situasi epidemiologi dan bagaimana pelayanan kesehatan merespons situasi epidemiologi yang ada itu,” kata Tjandra.
Ditanya apakah pada situasi seperti ini berarti sebenarnya belum cukup aman dan belum saatnya PPKM darurat direlaksasi, Tjandra mengatakan pihaknya melihat dari sisi positif. ”Jadi, saya usulkan lima hari (perpanjangan PPKM darurat, pada 21-25 Juli 2021) ini, dimanfaatkan secara maksimal,” katanya.
Saya usulkan lima hari (perpanjangan PPKM darurat, pada 21-25 Juli 2021) ini, dimanfaatkan secara maksimal. Ada lima langkah yang bisa dilakukan supaya dapat memperoleh hasil seoptimal mungkin dari kacamata kesehatan masyarakat. (Tjandra Yoga Aditama)
Menurut Tjandra, ada lima langkah yang bisa dilakukan dalam lima hari ini supaya dapat memperoleh hasil seoptimal mungkin dari kacamata kesehatan masyarakat. Pertama, aturan PPKM darurat atau PPKM level 4 betul-betul dilaksanakan dengan ketat. Pembatasan sosial, dalam semua spektrum—termasuk secara individu dengan disiplin memakai masker dan jaga jarak— harus diperketat.
Kedua, meningkatkan tes. Ketiga, meningkatkan tracing atau penelusuran kontak erat. Keempat, (mencermati dan mengelola) indikator epidemiologi dan pelayanan kesehatan masyarakat. Kelima, menggenjot vaksinasi. ”Kelima poin itu kita genjot habis-habisan sampai tanggal 25 Juli ini,” kata Tjandra.
Layanan medis
Terkait informasi atau arahan terbaru dari rapat para gubernur dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menuturkan bahwa mudah-mudahan Menteri Kesehatan akan mengambil keputusan bahwa seluruh swab antigen akan disetarakan dengan swab PCR dalam proses reimburse. Hal ini, dalam artian, untuk menjaga kehati-hatian dan kewaspadaan dalam melakukan tracing (penelusuran kontak erat) dan testing (pengujian) berikutnya.
”Jadi begini, layanan-layanan rumah sakit kita tentu kepinginnya semua bersifat reimbursable. Kalau swab antigen, itu untuk layanan rumah sakit tidak bisa. Untuk layanan rumah sakit darurat juga tidak bisa di-reimburse oleh BPJS Kesehatan. Ini juga yang menjadi catatan kami di lapangan bahwa nakes yang di puskesmas rata-rata sudah overload,” kata Khofifah.
Meskipun daerah punya rumah isolasi dan rumah observasi, kalau gejala sudah ke arah sedang—bukan lagi gejala ringan—pasti mereka yang bergejala tersebut ingin dirawat di rumah sakit. ”Kalau dia dinyatakan reaktif dari swab antigen, dia belum bisa masuk rumah sakit sebelum tes PCR. (Pada rapat) Ini tadi para gubernur berharap bahwa itu akan bisa disetarakan. Jadi, di dalam proses reimburse dari BPJS Kesehatan,” katanya.
Khofifah menuturkan, kalau hal ini bisa dilakukan, pihak rumah sakit akan lebih mudah menerima pasien yang reaktif swab antigen dengan gejala, pasien yang masuk kategori dirilis sebagai positif. ”(Selama ini) rumah sakit darurat dan rumah sakit rujukan tidak bisa menerima swab antigen. Nah, kalau mereka semua menunggu swab PCR, maka daerah-daerah tertentu pasti butuh waktu. Oleh karena itu malam ini tadi, sebetulnya Pak Luhut sudah putuskan, diharapkan nanti Pak Menkes akan melakukan eksekusi bahwa swab antigen yang reaktif sudah boleh mendapatkan layanan di rumah sakit darurat dan rumah sakit rujukan. Dan, reimbursable,” ujarnya.
Rapat merekomendasikan bahwa seseorang yang menjalani swab antigen dan reaktif diharapkan sudah bisa mendapatkan layanan di rumah sakit darurat ataupun rumah sakit rujukan.
”Itu artinya bahwa BPJS Kesehatan sudah harus bisa me-reimburse. Sambil nanti, di rumah sakit darurat atau rumah sakit rujukan, dia (orang yang swab antigen dan reaktif) boleh lagi swab PCR. (Maksud) layanan ini jangan sampai kemudian mereka sudah gagal napas atau telat mendapatkan layanan medis,” ujar Khofifah.
Ekonom CORE Indonesia, Hendri Saparini, mengatakan, PPKM darurat pasti berdampak secara ekonomi. ”Tetapi, menurut saya, dalam kondisi seperti ini, kita tidak bicara tentang pertumbuhan ekonomi. (Hal ini) karena apa pun, bagi ekonomi, menyelesaikan masalah kasus Covid-19 jauh lebih penting dibandingkan dengan kegiatan ekonominya sendiri,” ujarnya.
Inklusif
Menurut Hendri, pada kondisi seperti ini, hal yang perlu dikejar adalah pertumbuhan inklusif. Hal ini juga diamanahkan oleh IMF dan lembaga-lembaga lain. ”Artinya, kalau bagi Indonesia, kita sudah sangat mengenal demokrasi ekonomi, ekonomi Pancasila, ekonomi kerakyatan. Jadi, artinya, kita akan tumbuh berapa—apakah positif atau negatif—yang penting adalah siapa yang akan terkena beban besar dan siapa yang tidak terkena beban,” ujarnya.
Pilihan-pilihan kebijakan mesti adil. Hindari pilihan-pilihan kebijakan yang akan menimbulkan perdebatan dan akan menjadi isu kesenjangan. (Hendri Saparini)
Terkait hal tersebut, lanjut Hendri, pilihan-pilihan kebijakan mesti adil. Semisal, pada kondisi seperti ini tidak perlu ada diskusi tentang isu meningkatkan PPN (Pajak Pertambahan Nilai). Hal tersebut merupakan pilihan kebijakan pajak yang tidak adil karena semua orang akan terkena. ”Jadi, kita hindari pilihan-pilihan kebijakan yang akan menimbulkan perdebatan dan akan menjadi isu kesenjangan,” katanya.
Menurut Hendri, pada kondisi seperti sekarang, stimulus fiskal untuk pemulihan ekonomi nasional bukan semata menyangkut pendanaan, melainkan juga persoalan pemanfaatannya. ”Jadi, kita bisa diskusi, tidak hanya (soal) cepatnya, tetapi juga digunakan untuk apa itu menjadi jauh lebih penting kita bicarakan pada kondisi seperti saat ini,” katanya.
Hendri menegaskan, pada kondisi sekarang, fokus tetap harus diarahkan untuk menyelesaikan masalah penyebaran kasus Covid-19. Semua sumber daya mesti difokuskan ke upaya tersebut. ”Hal yang kedua adalah menghitung berapa untuk bisa menahan agar seluruh rumah tangga bisa terpenuhi kebutuhan dasarnya,” ujarnya.
Menurut Hendri, jangan ada anggapan bahwa kalau menomorsatukan pengendalian Covid-19 berarti mengabaikan ekonomi. ”(Pendapat seperti itu) salah. (Hal ini) karena kalau kita mengabaikan pengendalian (Covid-19), justru kita secara ekonomi ongkosnya jauh lebih mahal. Itu bisa kita hitung. Kita harus ada ketegasan di situ,” katanya.
Baca juga: Penanganan Covid-19 Jadi Faktor Penentu Pemulihan Ekonomi
Sehubungan dengan dampak sosial yang mesti dipertimbangkan seandainya PPKM terus berlanjut, sosiolog UI Imam Prasodjo menuturkan bahwa orang dengan ekonomi lemah, seperti buruh harian dan pedagang di pinggir jalan yang mau tidak mau harus mencari uang, akan sangat terpojok ketika dilakukan pengetatan. ”Itu yang harus menjadi perhatian. Saya setuju harus ada upaya untuk membantu mereka,” kata Imam.
Baca juga: ”Jogo Tonggo”, Seni Perang ala Sun Tzu di Jateng
Permasalahan dalam hal ini adalah menyangkut penyaluran dan kecepatannya. Upaya seperti gerakan Jogo Tonggo dan lainnya mesti difasilitasi. ”Kekuatan model-model empowerment, penguatan masyarakat, sangat tergantung juga dengan bupatinya. Gubernur tanpa bupati yang proaktif sulit sekali. Bupati proaktif (tapi) tanpa dukungan para champion di masyarakat tingkat lokal juga akan sulit. Jadi, ini harus serentak,” kata Imam.
Menurut Imam, untuk mendorong perilaku sosial yang taat terhadap protokol kesehatan, pemerintah tentu tidak mungkin hanya mengandalkan jalur-jalur formal. Oleh karena itu, semua tokoh harus ikut terlibat.