Penanganan Covid-19 Jadi Faktor Penentu Pemulihan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi diperkirakan dapat mencapai 4,1-4,4 persen pada 2021. Namun, pandemi Covid-19 yang kembali meluas menjadi salah satu kendala dalam mencapai batas atas kisaran angka pertumbuhan tersebut.
Oleh
joice tauris santi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan ekonomi diperkirakan dapat mencapai 4,1 hingga 4,4 persen pada 2021. Namun, pandemi Covid-19 yang kembali meluas menjadi salah satu kendala dalam mencapai batas atas kisaran angka pertumbuhan tersebut.
Perkembangan pada triwulan kedua 2021 terus membaik, terlihat dari beberapa indikator, seperti kepercayaan konsumen, penjualan ritel, impor barang konsumsi, juga penjualan mobil yang dipengaruhi oleh pemberian insentif pajak. Pemulihan ekonomi Indonesia pada semester kedua akan bersifat lebih luas, terutama dari sisi konsumsi dan investasi.
”Namun, deviasi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung ke bawah karena adanya risiko Covid-19 pada gelombang kedua,” kata Chief Economist Mandiri Sekuritas Leo Putera Rinaldy dalam keterangan yang disampaikan secara virtual di Jakarta, Selasa (29/6/2021).
Dia menambahkan, pemulihan ekonomi terletak pada kecepatan menekan laju kasus Covid-19 dan proses vaksinasi. Selain itu, realisasi stimulus fiskal di tingkat pemerintah daerah juga harus ditingkatkan.
Leo mencermati, realisasi belanja pemerintah pusat hingga Mei 2021 sudah bertumbuh sebesar 21 persen. Sebaliknya, total pengeluaran pemerintah daerah masih terkontraksi sebesar 7,8 persen dibandingkan dengan tahun lalu.
Faktor luar
Selain dari dalam negeri, faktor kebijakan dari negara lain juga memengaruhi pemulihan ekonomi Indonesia. Misalnya, kebijakan bank sentral AS, Federal Reserve, yang akan mengurangi stimulusnya dan berencana menaikkan suku bunga.
Namun, kebijakan ini diyakini tidak akan berakibat buruk bagi nilai tukar dan pasar finansial seperti yang terjadi ketika bank sentral AS mengurangi stimulus pada tahun 2013.
Ketimpangan pemulihan ekonomi antara negara maju dan negara berkembang membuat kemungkinan terjadi volatilitas portofolio pada 2022 seiring dengan perubahan kebijakan moneter di AS yang dapat terjadi lebih cepat.
Mirae Asset Sekuritas Indonesia bahkan menurunkan target Indeks Harga Saham Gabungan pada akhir tahun dari 6.800 menjadi 6.500, mengantisipasi perkembangan pasar global, termasuk kebijakan moneter dari bank sentral AS.
Kepala Informasi Investasi Mirae Asset Sekuritas Roger MM mengatakan akan terus mencermati potensi kenaikan suku bunga di AS. Apabila hal itu terjadi, mungkin sekali terjadi pergeseran alokasi aset investor global dari negara berkembang ke negara maju, tetapi dampaknya diperkirakan tidak akan sebesar tahun 2013.
Di pasar obligasi, Head of Fixed Income Mandiri Sekuritas Handy Yunianto mengatakan, perubahan kebijakan bank sentral AS belum akan dilakukan pada tahun ini.
”Jika dilihat dari pertemuan Juni, The Fed memang merevisi proyeksi pertumbuhan menjadi lebih baik tahun ini. Namun, proyeksi pertumbuhan pengangguran masih relatif tinggi dan inflasi diperkirakan bersifat sementara sehingga Fed masih memperkirakan suku bunga tetap rendah selama 2021-2022,” kata Handy.
Menurut dia, dampak kebijakan kenaikan suku bunga tidak akan sebesar seperti tahun 2013. Ketika itu, kurs rupiah melemah lebih dari 26 persen, imbal hasil surat utang negara juga naik menjadi 9 persen. Dua faktor yang mendukung pasar obligasi walaupun akan terjadi kenaikan tingkat suku bunga Fed adalah kepemilikan asing yang semakin sedikit dan risiko di negara berkembang seperti defisit neraca berjalan yang menurun.
The Fed diperkirakan akan mengomunikasikan rencananya jauh lebih baik dibandingkan dengan pada 2013 dan para pelaku pasar juga lebih siap menghadapi perubahan kebijakan tersebut.