Asosiasi DPRD se-Kabupaten di Seluruh Indonesia sangat menyesalkan serapan anggaran di APBD yang lambat untuk penanganan Covid-19. Karena itu, ADKASI mendesak kepala daerah segera menyerap lagi dan membelanjakannya.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Asosiasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Seluruh Indonesia atau ADKASI mendesak kepala daerah agar segera membelanjakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, terutama anggaran untuk penanggulangan dan penanganan dampak Covid-19. Pemerintah pusat perlu memberikan sanksi tegas kepada kepala daerah yang tak kunjung menyerap anggaran yang saat ini sangat dibutuhkan masyarakat.
Ketua Umum Asosiasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI) yang juga Ketua DPRD Pasangkayu, Sulawesi Barat, Lukman Said, mengatakan, ADKASI sangat menyesalkan serapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang lambat di sejumlah daerah. Padahal anggaran itu semestinya segera dibelanjakan agar dapat membantu roda perekekonomian masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19.
“DPRD sudah mengesahkan APBD sejak akhir tahun lalu, sedangkan penggunaan dana refocusing tidak membutuhkan persetujuan APBD, jadi semestinya kepala daerah tidak menemui hambatan dalam membelanjakan anggaran,” ujar Lukman saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (22/7/2021).
“DPRD sudah mengesahkan APBD sejak akhir tahun lalu, sedangkan penggunaan dana refocusing tidak membutuhkan persetujuan APBD, jadi semestinya kepala daerah tidak menemui hambatan dalam membelanjakan anggaran” (Ketua Umum Asosiasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Seluruh Indonesia yang juga Ketua DPRD Pasangkayu, Sulawesi Barat, Lukman Said)
Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, realisasi penyerapan anggaran tahun anggaran 2021 hingga 15 Juli 2021 masih rendah. Realisasi belanja APBD provinsi, kabupaten/kota baru 33,08 persen. Sedangkan realisasi belanja dari dana penyesuaian penggunaan atau refocusing yang bersumber dari 8 persen dana bagi hasil atau dana alokasi umum hanya 17,61 persen.
Anggaran refocusing ini digunakan untuk penanganan Covid-19, dukungan vaksinasi, dukungan pada kelurahan, insentif tenaga kesehatan, serta belanja kesehatan lainnya dan kegiatan prioritas. Refocusing anggaran telah diatur melalui surat edaran nomor SE-2/PK/2021 yang ditandatangani Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Astera Primanto Bhakti, 8 Februari 2021.
Lukman menuturkan, kepala daerah semestinya paham dengan kondisi masyarakat yang sangat terdampak pandemi. Realisasi belanja APBD akan memicu pertumbuhan ekonomi, sedangkan bantuan bagi masyarakat terdampak akan sangat meringankan beban masyarakat yang penghasilannya berkurang saat Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat. Dana Desa yang semestinya bisa membantu perekonomian masyarakat desa pun semestinya bisa dicairkan.
“Bahkan anggaran untuk DPRD juga ikut di-refocusing. Maka sebaiknya anggaran-anggaran yang sudah dialokasikan segera dibelanjakan, jangan hanya disimpan. Ini tidak bisa ditawar-tawar karena untuk kepentingan rakyat,” ucapnya.
Menurut dia, kepala daerah yang tidak mampu menyerap atau penyerapannya rendah perlu mendapatkan sanksi tegas dari pemerintah. Sanksi dari Kementerian Dalam Negeri berupa teguran dinilai tidak cukup untuk memberikan efek jera. Kementerian Keuangan juga perlu memberikan sanksi berupa pengurangan alokasi Dana Alokasi Umum karena dana transfer itu tidak bisa dibelanjakan oleh kepala daerah. “Teguran tidak bisa memberikan efek jera,” kata Lukman.
Sebelumnya, Mendagri telah memberikan teguran kepada 19 gubernur dan 410 bupati/wali kota yang realisasi insentif untuk tenaga kesehatan di bawah 25 persen. Seharusnya realisasi pencairan anggaran untuk tenaga kesehatan hingga Juli sudah di atas 50 persen.
Skema tak berjalan maksimal
“Pengawasan anggaran dari pemerintah pusat sangat penting. Kemendagri harus melakukan pembinaan terhadap kepala daerah, sedangkan Kemenkeu memastikan penggunaan APBD” (Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center Roy Salam)
Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center Roy Salam menilai, serapan anggaran rendah menunjukkan skema insentif-disinfektif dari pemerintah pusat tidak berjalan maksimal. Pemda akhirnya mengulangi pola penyerapan anggaran yang hingga pertengahan tahun tetap rendah. Padahal idealnya serapan anggaran minimal 40 persen hingga akhir Juni.
“Pengawasan anggaran dari pemerintah pusat sangat penting. Kemendagri harus melakukan pembinaan terhadap kepala daerah, sedangkan Kemenkeu memastikan penggunaan APBD,” katanya.
Penyerapan anggaran yang rendah, termasuk anggaran penanganan Covid-19, menurut Roy, menunjukkan kepala daerah tidak menganggap krisis di masa pandemi sebagai sebuah masalah besar. Hal itu terlihat dari perencanaan dan penggunaan anggaran yang lambat seperti tahun-tahun biasanya.
Birokrat yang menangani perencanaan APBD pun biasanya juga tidak memiliki kompetensi yang memadai. Mereka cenderung membuat perencanaan sebagai suatu rutinitas, padahal di masa pandemi membutuhkan keberpihakan anggaran penanganan dampak Covid-19 bagi masyarakat.
Hal itu mengakibatkan realisasi belanja menjadi terhambat hanya karena masalah administrasi. Padahal pemerintah pusat sudah memberikan petunjuk-petunjuk yang jelas dalam penggunaan anggaran. “Kepala daerah pun banyak yang tidak menguasai proses penyusunan dan penggunaan APBD,” tutur Roy.