Kebijakan penguncian wilayah ataupun PSBB akan lebih efektif dalam menahan lonjakan kasus Covid-19. Namun, anggaran yang dibutuhkan untuk penerapan PSBB lebih besar ketimbang PPKM Mikro.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Terbatasnya ketersediaan anggaran diperkirakan menjadi pertimbangan di balik keputusan pemerintah menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat berskala mikro. Penerapan pembatasan sosial dengan skala lebih besar punya konsekuensi terhadap menggemuknya anggaran untuk menopang pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat.
Ekonom senior sekaligus co-Founder Narasi Institute Fadhil Hasan menilai kebijakan penguncian wilayah ataupun Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) akan lebih efektif dalam menahan lonjakan kasus Covid-19. Namun, anggaran yang dibutuhkan untuk penerapan PSBB sangat besar.
“Kalau mau penanganan Covid-19 lebih efektif harus lockdown. Tetapi konsekusensinya memang akan memberatkan anggaran pemerintah karena pemerintah berkewajiban menyediakan kebutuhan pokok untuk masyarakat,” ujarnya, Rabu (23/6/2021).
Kalau mau penanganan Covid-19 lebih efektif harus lockdown. Tetapi konsekusensinya memang akan memberatkan anggaran pemerintah karena pemerintah berkewajiban menyediakan kebutuhan pokok untuk masyarakat. (Fadhil Hasan)
Menurut Fadhil, keputusan penerapan PPKM Mikro cukup merefleksikan seberapa besar kemampuan dana pemerintah. Sebagai gambaran, pagu anggaran program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) saat ini sebesar Rp 699,43 triliun, telah meningkat 20,63 persen dari realisasi serapan dana PEN tahun lalu sebesar Rp 579,78 triliun.
Namun, alokasi dana khusus untuk perlindungan sosial dipangkas menjadi hanya Rp 148,27 triliun dari realisasi serapan tahun sebelumnya sebesar Rp 220,39 triliun. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, sejak awal Januari hingga 18 Juni 2021, penyerapan dana PEN untuk kluster perlindungan sosial Rp 64,91 triliun atau 43,8 persen dari pagu Rp 148,27 triliun.
Di luar program PEN, realisasi anggaran belanja negara untuk program perlindungan sosial hingga 31 Mei telah mencapai Rp 172,6 triliun. Ini ditopang realisasi bantuan usaha mikro dan subsidi energi.
Jika kebijakan PPKM Mikro kemudian diubah jadi PSBB, lanjut Fadhil, kebutuhan anggaran terutama untuk perlindungan sosial dipastikan akan melebihi anggaran dana PEN saat ini. Besaran estimasi kebutuhan anggaran akan merujuk pada komponen ekonomi apa saja yang perlu ditanggung pemerintah untuk masyarakat, serta lama durasi dari penetapan kebijakan tersebut.
"Besaran alokasi anggaran juga bergantung dengan seberapa lama kebijakan ini berlangsung, lonjakan kasusnya berlangsung. Ini pun masih perlu kajian mendalam apakah dua minggu saja cukup atau ternyata butuh sebulan bahkan lebih,” ujarnya.
Memberi bantalan
Staf Ahli Bidang Pengeluaran Negara Kementerian Keuangan Kunta Wibawa mengatakan, untuk menjaga perekonomian masyarakat dalam penerapan PPKM mikro, pemerintah berupaya untuk memberikan bantalan baik untuk kelas menengah atas maupun kelas menengah bawah.
Khusus untuk masyarakat kelas menengah bawah, pemerintah melanjutkan berbagai program yang sebenarnya sudah dijalankan sejak tahun lalu. Contohnya, program keluarga harapan (PKH) untuk 10 juta keluarga penerima manfaat (KPM), kartu sembako untuk 18,8 juta KPM, bantuan sosial tunai untuk 10 juta KPM, BLT desa untuk 8 juta KPM, dan kartu pra kerja yang direncanakan untuk 5,6 juta peserta.
“Selain program perlindungan sosial tersebut, pemerintah juga akan terus memperkuat dukungan kepada usaha mikro kecil menengah (UMKM), seperti memberi subsidi bunga UMKM, bantuan pelaku usaha mikro, dan imbal jasa penjaminan UMKM,” ujarnya.
Meski tidak memberikan tanggapan terkait ketersediaan anggaran untuk pemberlakuan PSBB, Kunta menegaskan belanja kementerian/lembaga (K/L) dan program PEN terus didorong untuk mendukung pertumbuhan ekonomi triwulan II-2021 dan triwulan III-2021. Hingga 31 Mei 2021, total belanja K/L telah mencapai Rp 132,4 triliun, tumbuh 91,4 persen dari periode sama tahun sebelumnya. Hal ini dipengaruhi akselerasi program PEN 2021.
Sejumlah manfaat dari akselerasi belanja K/L tahun ini di antaranya bantuan senilai Rp 11,76 triliun untuk 9,8 juta pengusaha mikro, biaya perawatan senilai Rp 11,97 triliun untuk sekitar 177.800 pasien Covid-19, serta pengadaan 37,78 juta dosis vaksin senilai Rp 8,14 triliun.
Sementara itu, Ekonom Center of Reform on Economics Indonesia (Core), Yusuf Rendy Manilet menilai, untuk menjaga perekonomian, di tengah kebijakan pembatasan sosial untuk mengurangi kasus Covid-19, pemerintah harus fokus kepada penyaluran bantuan.
Selain mempercepat penyerapan dan penyaluran anggaran PEN, pemerintah juga disarankan menambah anggaran PEN, khususnya pada pos perlindungan sosial dan kesehatan.
Pada sektor perlindungan sosial, menurut dia, opsi untuk menambah jumlah penerima bantuan sosial tunai bisa dipertimbangkan pemerintah. Adapun pada sisi kesehatan, anggaran bisa dipakai untuk menambah kapasitas uji, lacak, dan isolasi, khususnya pada daerah zona merah.
“Bantuan sosial tunai yang disalurkan kepada lebih banyak orang dapat menjaga daya konsumsi masyarakat kelas menengah bawah, sementara anggaran kesehatan agar kasus Covid-19 bisa tertangani secara cepat,” kata Yusuf.