Tata Kembali Regulasi Pengangkatan Komisaris BUMN
Pejabat negara yang merangkap jabatan sebagai komisaris, misalnya, diminta memilih salah satu posisi. Kalau memang tidak ahli di bidang yang ditunjuk, sebaiknya mundur.
JAKARTA, KOMPAS — Polemik rangkap jabatan yang terjadi pada Rektor Universitas Indonesia Ari Kuncoro berakhir setelah yang bersangkutan akhirnya mengundurkan diri sebagai Wakil Komisaris Utama Bank Rakyat Indonesia, Kamis.
Namun, persoalan serupa belum berakhir karena peristiwa ini menunjukkan ada persoalan dalam regulasi pengangkatan dan pemberhentian komisaris atau dewan pengawas di badan usaha milik negara yang dinilai cenderung politis dan kurang mempertimbangkan kompetensi sosok yang diangkat menjadi komisaris tersebut.
Rangkap jabatan ini pun bukan peristiwa yang terakhir dan berpotensi akan memicu polemik lanjutan. Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indra Iskandar, diketahui, juga ditunjuk sebagai Komisaris BUMN PT Biro Klasifikasi Indonesia (BKI). Namun, penunjukan ini masih bersifat lisan dan belum ada surat resmi yang diterima oleh Indra berkaitan dengan pengangkatannya sebagai salah satu komisaris di PT BKI. PT BKI adalah perusahaan yang memberikan klasifikasi kapal niaga berbendera Indonesia.
Baca juga: Statuta Baru UI Dikritik Tajam, Perubahan Statuta Diinisiasi sejak 2019
Dikonfirmasi mengenai penunjukannya sebagai komisaris, Indra mengatakan, dirinya baru sebatas menerima informasi lisan, tetapi belum ada kepastian tertulis dari BUMN bersangkutan. Namun, ia mengatakan, sebagai aparatur sipil negara (ASN), ia tidak dapat meminta atau menolak penugasan dari negara.
Sesuai Peraturan Menteri BUMN Nomor 10/MBU/10/2020 tentang perubahan atas Permen BUMN No 02/MBU/02/2015 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Dewan Komisaris dan Dewan Pengawas BUMN, ASN diperbolehkan menjadi komisaris.
”Penting untuk dibedakan juga fungsi direksi dan fungsi pengawasan. Posisi komisaris bukan bersifat eksekutor atau direktif yang mengambil keputusan dalam jalannya BUMN, melainkan sebagai pengawas. Komisaris tidak day by day menjalankan BUMN. Yang penting bagi seorang komisaris ialah mereka memiliki visi dan pemahaman,” katanya saat dihubungi, Kamis (22/7/2021), dari Jakarta.
Indra mengatakan, posisi komisaris oleh ASN ini pun bukan hal yang baru karena hampir semua sekjen dan dirjen di kementerian dan lembaga juga dimintai bantuannya oleh lembaga terkait untuk menjadi anggota dewan pengawas atau komisaris di beberapa BUMN. Artinya, praktik rangkap jabatan sebagai ASN ini bukan hal baru karena itu sudah lama terjadi di birokrasi.
”Jadi, sebenarnya kalau ASN di birokrasi negara, walaupun tidak semua, banyak dirjen dan sekjen diminta kementerian terkait untuk bagian pengawasan (komisaris) juga oleh negara. Sebenarnya biasa saja, tidak ada yang istimewa karena sebagai aparatur pemerintah, kalau ada penugasan, harus dilakukan dengan baik. Sejauh itu masih realistis dan bisa dilaksanakan, ya, harus siap. Sesuai doktrin, semua ASN harus mendukung program negara,” katanya.
Baca juga: Setwapres Klarifikasi Tidak Beri Izin Komaruddin Hidayat Menjabat Komisaris Independen BSI
Bukan kali ini saja posisi komisaris BUMN memantik polemik di tengah publik. Sebelumnya, pemilihan Abdi Negara Nurdin (Abdee ”Slank”) sebagai Komisaris Independen PT Telkom juga memantik perdebatan. Ada pula pertanyaan di media sosial (medsos) yang beredar soal pengangkatan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj sebagai Komisaris Utama PT Kereta Api Indonesia (KAI) dan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Pemuda Muhammadiyah Sunanto sebagai Komut PT Istaka Karya.
Sejatinya, komisaris atau dewan pengawas adalah representasi negara dalam mengawasi jalannya usaha dan pengelolaan BUMN.
Bagi-bagi posisi
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Djohermansyah Djohan mengatakan, ada pergeseran tujuan dalam penempatan posisi komisaris di BUMN. Sejatinya, komisaris atau dewan pengawas adalah representasi negara dalam mengawasi jalannya usaha dan pengelolaan BUMN.
Sebagai wakil negara, mereka memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan pelaksanaan usaha BUMN sesuai jalur. ”Oleh karena bisnis itu harus diurus oleh negara, dalam tata kelolanya negara juga ahrus menghadirkan pengawas-pengawas. Itu yang namanya komisaris. Mereka adalah representasi negara,” ucap Djohermansyah yang telah bergelut di birokrasi selama 40 tahun.
Baca juga : Bahaya di Balik Rangkap Jabatan Komisaris BUMN
Mantan Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) ini mengatakan, mulanya mereka yang ditunjuk sebagai pengawas atau komisaris BUMN adalah pejabat-pejabat dan ASN di lingkungan Kementerian Keuangan. Mereka dipilih karena dinilai memiliki pemahaman mendalam soal tata kelola keuangan bisnis perusahaan.
Dalam perkembangannya, penunjukan hanya dari Kemenkeu ini menimbulkan rasa ketidakadilan bagi ASN di lingkungan kementerian dan lembaga lain. Posisi komisaris pun kemudian berkembang, tidak hanya diisi oleh orang-orang dari Kemenkeu, tetapi juga dari kementerian dan lembaga terkait yang bidangnya berhubungan dengan usaha BUMN bersangkutan.
Munculnya tokoh kampus, guru besar, dan orang-orang profesional di luar ASN menjadi komisaris BUMN, menurut Djohermansyah, adalah fenomena baru.
”Misalnya, dulu komisaris BUMN di bidang penerbangan ialah pejabat ASN di Kementerian Perhubungan, dan bidang-bidang lain juga disesuaikan dengan kementerian masing-masing. Yang menjadi komisaris juga bisa mantan pejabat yang ahli di bidangnya,” katanya.
Munculnya tokoh kampus, guru besar, dan orang-orang profesional di luar ASN menjadi komisaris BUMN, menurut Djohermansyah, adalah fenomena baru. Setelah pemilihan umum (pemilu) presiden dilakukan langsung, pelan-pelan muncul kecenderungan baru, yakni menempatkan orang-orang yang dianggap berjasa di dalam pemilu sebagai staf khusus di pemerintahan, hingga komisaris.
”Simpatisan maupun ahli di kampus, yang dinilai memiliki keahlian khusus serta ada akses kepada kekuasaan bisa ditempatkan sebagai stafsus atau komisaris BUMN. Ini suatu kecenderungan yang kurang baik karena pemilihan orang per orangan itu belum tentu sesuai dengan kompetensi yang mereka punyai,” ucap Djohermansyah.
Baca juga : Anggota Direksi Garuda Mundur dari Jabatan di Sriwijaya Air
Ia mengatakan, seharusnya ada perbaikan regulasi yang mengatur soal persyaratan dan kompetensi komisaris di BUMN. Jangan sampai mereka yang terpilih sebagai komisaris adalah orang-orang yang tidak memiliki kompetensi terkait dengan bidang usaha yang harus mereka awasi.
”Jika sebagai pengawas mereka tidak memiliki kompetensi di bidang usaha yang diawasinya, mereka bisa saja dibohongi oleh direksi. Karena komisarisnya tidak paham, dewan komisaris tinggal dikasih fasilitas, disuruh rapat, dan putuskan, serta tidak ada pilihan selain tanda tangan. Ini, kan, menjadi tidak baik bagi BUMN bersangkutan,” katanya.
Djohermansyah mengatakan, fenomena bagi-bagi posisi komisaris itu tidak hanya terjadi di BUMN, tetapi juga di BUMD. Di daerah, fenomena ini terjadi juga untuk mengakomodasi simpatisan dan pendukung kepala daerah dalam pilkada.
Kendati demikian, bukan berarti ASN yang merangkap jabatan menjadi komisaris dapat dibenarkan. Menurut Djohermansyah, sebaiknya orang-orang yang merangkap jabatan itu memilih salah satu posisi, apakah tetap pada posisinya saat ini ataukah menjadi komisaris. ”Sebaiknya kalau memang tidak ahli di bidang yang ditunjuk, mereka sebaiknya mundur saja,” katanya.
Regulasi tumpang tindih
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, mengatakan, sekalipun ASN berdalih mereka dapat merangkap jabatan dengan memakai UU ASN, ada UU lain yang sebenarnya melarang rangkap jabatan, seperti UU Pelayanan Publik dan UU BUMN sendiri. Khusus terkait dengan rangkap jabatan sekjen DPR, keberatan seriusnya tidak cukup hanya soal regulasi yang masih tumpang tindih.
”Kondisi DPR dengan kinerja yang buruk di satu sisi, dan urgensi kesekjenan sebagai supporting system DPR di lain sisi, menjadi alasan kenapa posisi sekjen yang merangkap jabatannya dengan komisaris PT BKI merupakan sesuatu yang tak tepat. Jelas pertimbangan realistis itu tidak terjangkau oleh UU mana pun yang mengatur soal rangkap jabatan sekjen DPR itu,” katanya.
Tuntutan situasi dan kondisi parlemen yang sejauh ini berkinerja buruk, menurut Lucius, membuat sekjen DPR tak seharusnya dibebani dengan tanggung jawab lain sebagai komisaris. DPR membutuhkan sistem pendukung yang kuat dalam rangka mendorong kinerja yang maksimal. Hal ini semestinya menjadi alasan DPR untuk menyatakan sikap penolakan atas keputusan BUMN menunjuk sekjen mereka sebagai komisaris.