Bahaya di Balik Rangkap Jabatan Komisaris BUMN
Rangkap jabatan publik dengan komisaris perusahaan BUMN seperti menjadi hal yang lumrah di negeri ini. Padahal, di baliknya terkandung sederet ancaman mala-administrasi hingga korupsi.
Anwar, hakim ad hoc tindak pidana korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, jadi sorotan. Tak pelak karena salah satu hakim kasus Jiwasraya ini disebut rangkap jabatan sebagai komisaris di anak perusahaan PT Pertamina, yaitu PT Pertamina Patra Niaga. Rangkap jabatan publik dengan komisaris perusahaan badan usaha milik negara, seperti Anwar, menjadi hal yang lumrah di negeri ini. Padahal, ada bahaya konflik kepentingan di baliknya.
Pada tahun terakhir masa jabatan Anwar sebagai hakim ad hoc, ia terpilih sebagai salah satu komisaris PT Pertamina Patra Niaga dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT Pertamina, awal bulan lalu.
Sebagai hakim tindak pidana korupsi, ia tercatat pernah menangani kasus-kasus besar. Salah satunya, pada 2017, Anwar termasuk di antara majelis hakim yang memvonis bersalah Setya Novanto dalam kasus korupsi proyek KTP elektronik. Ketika tak sedikit yang khawatir Novanto dengan pengaruhnya saat itu, sebagai bekas Ketua Umum Partai Golkar dan Ketua DPR, bakal melenggang bebas, Anwar beserta hakim lainnya memvonis Novanto 15 tahun penjara.
Sebelumnya, ia tercatat sebagai majelis hakim yang menangani kasus cek perjalanan dalam pemilihan Gubernur Bank Indonesia, penyalahgunaan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) dan akuisisi Blok Basker Manta Gummy (BMG) oleh PT Pertamina. Awal bulan lalu, ia sebenarnya turut di antara majelis hakim yang menangani kasus Jiwasraya.
Tak semua terdakwa dalam kasus-kasus yang ditanganinya, dinilainya, bersalah. Dalam kasus akuisisi Blok BMG oleh Pertamina, pertengahan 2019, misalnya, ia berbeda pendapat dengan empat hakim lainnya. Menurut dia, mantan Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina Karen Agustiawan yang jadi terdakwa dalam kasus itu tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi, Kompas (11/6/2019).
Sekalipun Anwar ”kalah suara”, pada awal Maret 2020, majelis kasasi Mahkamah Agung melepaskan mantan Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan dari segala tuntutan kasus korupsi. MA menilai perbuatan Karen bukan merupakan tindak pidana, melainkan putusan bisnis yang akibatnya tak dapat ditentukan untung ruginya bagi perseroan, Kompas (10/3/2020).
Baca juga: MA Bebaskan Karen Agustiawan
Dari sisi rekam jejak sebagai hakim ad hoc tindak pidana korupsi, kapasitas Anwar bisa jadi tak perlu diragukan untuk menjabat komisaris di PT Pertamina Patra Niaga.
Namun, yang kemudian jadi sorotan, rangkap jabatannya dengan posisinya sebagai hakim. Apalagi rangkap jabatan jelas-jelas dilarang oleh peraturan perundang-undangan soal hakim dan pengadilan tindak pidana korupsi, plus telah ditegaskan pula dalam kode etik hakim.
Mengundurkan diri
Menanggapi sorotan publik tersebut, Bambang Nurcahyono dari Humas Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat mengatakan, Anwar telah mengajukan permohonan surat pengunduran diri sebagai hakim ad hoc tanggal 12 Juni 2020 atau sejak ditetapkan sebagai komisaris.
Setelah pengunduran diri itu, Anwar tidak lagi memegang perkara. Perkara yang sebelumnya dia tangani, termasuk kasus Jiwasraya, dilimpahkan kepada Ketua PN Jakpus. Bambang juga menjelaskan bahwa Anwar sudah dua periode menjadi hakim ad hoc atau sejak 2010. Artinya, Anwar sudah tidak bisa mengajukan diri lagi sebagai hakim ad hoc untuk ketiga kali.
”Sekarang, pengunduran diri itu sedang diproses dan menunggu surat keputusan (SK) dari Ketua Mahkamah Agung,” ujar Bambang saat dikonfirmasi, Kamis (2/7/2020).
Menurut Bambang, Anwar memang masih kerap datang ke PN Jakpus. Hal itu terkait dengan beberapa berkas yang harus diselesaikannya. Namun, hal itu hanya berkaitan dengan administrasi, tak ada lagi urusan dengan penanganan perkara korupsi. Dengan demikian, menurut dia, tak perlu lagi mengkhawatirkan soal independensi atau adanya potensi konflik kepentingan.
”Pengunduran diri sudah sesuai prosedur, yaitu sejak ditetapkan komisaris atau jabatan publik, sehingga beliau tidak ada rangkap jabatan untuk menghindari konflik kepentingan,” ucap Bambang.
Sekalipun proses pengunduran diri telah diajukan ke Mahkamah Agung (MA), juru bicara MA, Andi Samsan Nganro, mengatakan, prosesnya bisa memakan waktu lama. Sebab, MA harus terlebih dulu melaporkan permohonan itu kepada Presiden. Ini karena hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
Ditanyakan apakah betul sudah ada surat permohonan pengunduran diri Anwar ke MA, Andi belum bisa memastikannya. ”Saya baru mendengar informasi tersebut, saya belum tahu pasti kebenarannya (pengunduran diri Anwar). Nanti saya cek dulu,” tambahnya.
Sesuai kode etik hakim, ia menekankan, hakim memang tidak boleh merangkap jabatan karena berpotensi konflik kepentingan. Rangkap jabatan juga berpotensi memengaruhi independensi hakim dalam memutus perkara.
Perlu masa tunggu
Namun, tak cukup hanya itu. Menurut ahli hukum Bivitri Susanti, seharusnya ada aturan yang mewajibkan masa tunggu bagi hakim yang ingin menjadi komisaris di perusahaan atau menduduki jabatan-jabatan publik. Sebagai contoh, pejabat di Bank Indonesia harus menunggu satu tahun setelah tak lagi menjadi pejabat untuk bisa menduduki posisi jabatan publik dan komisaris perusahaan.
Pengaturan masa tunggu ini penting untuk mencegah konflik kepentingan. Selain itu, mencegah dikaitkannya jabatan baru tersebut dengan perkara yang pernah ditangani.
Sebab, bisa jadi muncul anggapan publik bahwa jabatan tersebut adalah hadiah atas perkara yang dia tangani atau putuskan.
”Hakim seharusnya juga tidak boleh langsung praktik menjadi advokat setelah pensiun/mengundurkan diri. Bahkan, juga tidak boleh jadi saksi ahli di pengadilan karena akan memengaruhi mantan koleganya. Kalau hal itu terjadi, biaya jasa dia bisa sangat besar dan diperjualbelikan karena punya pengaruh besar,” tambahnya.
Menurut Bivitri, masa tunggu tersebut juga belum diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2011 tentang Jabatan yang Tidak Boleh Dirangkap oleh Hakim Agung dan Hakim seta Undang Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Rangkap jabatan
Anwar hanya satu contoh di antara ratusan komisaris perusahaan badan usaha milik negara (BUMN) yang rangkap jabatan. Berdasarkan temuan Ombudsman Republik Indonesia (ORI), pada 2019 ada 397 komisaris BUMN yang terindikasi merangkap jabatan.
Dari 397 orang tersebut, yang terindikasi rangkap jabatan dari kementerian mencapai 254 orang (64 persen), lembaga non-kementerian 112 orang (28 persen), dan perguruan tinggi 31 orang (8 persen).
Untuk instansi kementerian, ada lima kementerian yang mendominasi hingga mencapai 58 persen, yaitu Kementerian BUMN (55 orang), Kementerian Keuangan (42 orang), Kementerian Perhubungan (17 orang), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (17 orang), serta Kementerian Sekretaris Negara (16 orang).
Adapun untuk instansi asal lembaga non-kementerian, 65 persen didominasi dari lima instansi, yaitu TNI 27 orang, Polri 13 orang, kejaksaan 12 orang, pemerintah daerah 11 orang, Badan Intelijen Negara (BIN) 10 orang, seta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) 10 orang.
Untuk instansi asal perguruan tinggi, tercatat semuanya berasal dari 16 perguruan tinggi dengan terbanyak dari Universitas Indonesia 9 orang, disusul 5 orang dari Universitas Gadjah Mada.
Anggota ORI, Alamsyah Saragih, menilai, banyaknya rangkap jabatan tersebut dipicu longgarnya regulasi.
Baca juga: Kelabakan Melayani Publik Saat Pandemi Covid-19
Sebagai contoh, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin PNS sebenarnya telah melarang PNS merangkap jabatan menjadi direksi dan komisaris perusahaan swasta. Akan tetapi, setelah PP tersebut direvisi menjadi PP No 53/2010 tentang Disiplin PNS, tidak ada lagi larangan PNS merangkap jabatan.
PP itu selalu dijadikan rujukan walaupun aturan yang lebih tinggi, yaitu Undang-Undang (UU) Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, telah melarang pelaksana pelayanan publik merangkap jabatan sebagai komisaris atau pengurus organisasi badan usaha.
Aturan di UU ini dengan mudahnya dikesampingkan dengan dalih ada perbedaan istilah jabatan dengan yang tertera dalam PP. Hal yang lebih besar dari persoalan rangkap jabatan, yaitu etika atau kepatutan, sama sekali tak dilihat.
Pembiaran benturan regulasi tersebut telah menghasilkan ketidakpastian dalam proses perekrutan, pengabaian etika, konflik kepentingan, diskriminasi, dan akuntabilitas yang buruk.
”Ombudsman berpendapat bahwa pembiaran benturan regulasi tersebut telah menghasilkan ketidakpastian dalam proses perekrutan, pengabaian etika, konflik kepentingan, diskriminasi, dan akuntabilitas yang buruk,” kata Alamsyah.
Selain itu, ada sederet potensi mala-administrasi hingga korupsi. Di antaranya, konflik kepentingan, penghasilan ganda, masalah kompetensi, jual beli pengaruh, proses yang diskriminatif, transparansi penilaian, hingga akuntabilitas kinerja komisaris. Semua potensi mala-administrasi itu dapat berakibat pada buruknya tata kelola BUMN sehingga dapat mengganggu pelayanan publik dan menurunkan kepercayaan masyarakat.
Atas dasar itu, Ombudsman mendorong adanya perbaikan fundamental dalam proses perekrutan komisaris BUMN. Regulasi yang masih membuka peluang rangkap jabatan juga harus direvisi.
Apalagi Ombudsman menemukan tak hanya persoalan rangkap jabatan, sejumlah jabatan komisaris BUMN justru ”dibagikan” kepada sukarelawan politik hingga pengurus partai politik.
”Ombudsman akan menyampaikan saran secara tertulis kepada Presiden dan Menteri BUMN. Pemerintah melalui Kantor Staf Presiden juga sudah menyampaikan akan memberikan opsi pengaturan kepada Presiden,” tutur Alamsyah.
Baca juga: Rangkap Jabatan Menteri Ancam Fokus Kerja
Dengan potensi konflik kepentingan dan ancaman bahaya lain di balik rangkap jabatan, memang sepatutnya aturan diperketat. Biarkan mereka yang menduduki jabatan publik hingga TNI/Polri fokus pada tugasnya. Apalagi, tugas yang mereka emban bukan perkara ringan di negara yang luas dan banyak penduduknya ini. Juga biarkan para komisaris BUMN fokus dengan tugasnya di tengah persoalan banyaknya BUMN yang masih merugi.