Rektor UI Rangkap Komisaris BUMN Jadi Preseden Buruk Akademik
Rektor yang bisa menjabat komisaris badan usaha milik negara identik dengan kepentingan politik. Karena itu, PP Nomor 75 Tahun 2021 tentang Statuta Universitas Indonesia dinilai menjadi preseden buruk dunia akademik.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2021 tentang Statuta Universitas Indonesia dinilai menjadi preseden buruk bagi dunia akademik. Rektor yang bisa menjabat komisaris badan usaha milik negara identik dengan kepentingan politik.
Di tengah polemik rangkap jabatan rektor Universitas Indonesia sebagai Wakil Komisaris Utama Bank Rakyat Indonesia, pemerintah justru mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 75 Tahun 2021 tentang Statuta Universitas Indonesia. PP tersebut ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 2 Juli 2021.
PP tersebut menghilangkan ketentuan sebelumnya yang ada pada PP No 68/2013, yakni rektor dan wakil rektor dilarang merangkap sebagai pejabat pada badan usaha milik negara/daerah (BUMN/D) ataupun swasta. Pada PP No 75/2021, rektor dan wakil rektor hanya dilarang merangkap sebagai direksi pada BUMN/D ataupun swasta.
Selain itu, larangan rangkap jabatan pada jabatan lain yang bertentangan dengan kepentingan UI juga dihilangkan. Larangan rangkap jabatan di instansi pemerintah pusat dan daerah serta perguruan tinggi lain juga sebatas pada jabatan struktural. Sebelumnya, mereka dilarang merangkap di jabatan apa pun.
Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera di DPR Jazuli Juwaini mengatakan, perubahan kata pejabat menjadi direksi memiliki arti rektor UI bisa menjabat sebagai komisaris. ”Ini seperti menantang publik yang mengkritik praktik rangkap jabatan rektor UI yang melanggar statuta UI,” kata Jazuli melalui keterangan tertulis, Rabu (21/7/2021).
Menurut Jazuli, PP No 75/2021 menjadi preseden buruk bagi independensi akademik. Rangkap jabatan rektor dengan jabatan yang tidak ada kaitan dengan dunia akademik merusak upaya memajukan pendidikan tinggi.
Ia menegaskan, jabatan komisaris BUMN identik dengan kepentingan politik sebagai politik balas jasa dan oligarki penguasa. Menjadikan rektor atau pejabat kampus sebagai komisaris hanya akan menyeret kampus pada kepentingan politik sempit yang akhirnya bias kepentingan dan sudah pasti mengancam independensi akademik. Mereka tidak bisa leluasa dalam mengkritik pemerintah.
Menurut anggota Komisi III dari Fraksi PDI-P, Arteria Dahlan, Rektor Universitas Indonesia Ari Kuncoro yang bermasalah. Sebab, PP No 75/2021 terbit setelah Ari menduduki jabatan rangkap. Ia menegaskan, rangkap jabatan menjadi komisaris adalah melawan hukum. Penerimaan gaji dari jabatan tersebut berpotensi koruptif. Karena itu, Ari seharusnya diberhentikan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Rangkap jabatan menjadi komisaris adalah melawan hukum. Penerimaan gaji dari jabatan tersebut berpotensi koruptif.
Maladministratif
Anggota Ombudsman RI, Indraza Marzuki Rais, mengatakan, perbuatan rangkap jabatan yang dilakukan Ari termasuk maladministratif. Sebab, Ari melanggar PP No 68/2013. Jika akan menggunakan PP No 75/2021, Ari harus diberhentikan dahulu dari jabatannya sebagai komisaris.
Ia menegaskan, statuta merupakan konstitusi bagi universitas untuk menjalankan dan mengelola kampus tersebut. Salah satu tujuannya adalah menjaga marwah dan independensi kampus serta pejabat di dalamnya.
Penyusunan aturan itu harus melihat pada sisi moral, etik, dan kepatutan.
Ombudsman menyayangkan perubahan pasal mengenai pejabat di BUMN yang hanya terbatas pada direksi dan hilangnya pasal mengenai konflik kepentingan. Karena itu, perlu ada aturan tambahan di internal UI dan BUMN terkait untuk menjaga agar tidak terjadi potensi benturan kepentingan.
Menurut Indraza, PP No 75/2021 seperti hanya memaksakan agar orang tersebut tetap dapat merangkap jabatan. Padahal, seorang rektor sekaligus dosen menjadi teladan. Ia khawatir kejadian ini akan memicu kampus lain untuk memaksa perubahan aturan untuk mengakomodasi suatu kejadian. ”Penyusunan aturan itu harus melihat pada sisi moral, etik, dan kepatutan,” ujarnya.
Kompas sudah meminta tanggapan kepada Ari terkait PP No 75/2021. Namun, tidak direspons. Ketua Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia Saleh Husin juga tidak merespons.
Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra mengatakan, PP No 75/2021 bisa mengakibatkan jabatan rektor dan kampus semakin terpolitisasi untuk kepentingan status quo penguasa.
Menurut Azyumardi, rektor yang mempunyai mandat tidak tertulis untuk mengamankan kepentingan politik penguasa bisa menertibkan lembaga dan sivitas akademika yang kritis. Ia menegaskan, seharusnya PP No 75/2021 dicabut Presiden Joko Widodo.