Nasib RUU PDP Masih Menggantung sampai Agustus 2021
Nasib kelanjutan pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi sepenuhnya bergantung pada evaluasi program legislasi nasional tahunan, Agustus mendatang. Sesuai jadwal, pada 16 Juli-15 Agustus 2021, DPR menjalani masa reses.
JAKARTA, KOMPAS — Nasib Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi kian tidak jelas setelah tidak ada kesepakatan antara pemerintah dan DPR dalam pembahasan RUU tersebut. Dalam penutupan masa sidang DPR, pekan lalu, RUU tersebut juga tidak termasuk yang diputuskan untuk diperpanjang pembahasannya oleh DPR.
Padahal, RUU ini amat dibutuhkan untuk mengisi kekosongan hukum perlindungan data pribadi warga.
Nasib kelanjutan pembahasan RUU PDP itu sepenuhnya bergantung pada evaluasi program legislasi nasional (prolegnas) tahunan, Agustus mendatang. Sesuai jadwal, pada 16 Juli-15 Agustus 2021, DPR menjalani masa reses. Masa sidang pertama 2021-2022 akan dibuka pada 16 Agustus 2021.
Selain pembukaan masa sidang, paripurna tersebut juga akan diisi dengan agenda mendengarkan pidato kenegaraan Presiden menjelang Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2021. Maka, dalam sebulan ini, nasib RUU PDP akan menggantung lantaran belum ada kejelasan tentang kelanjutan pembahasan RUU itu sampai masa sidang berikutnya.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi, Minggu (18/7/2021), di Jakarta, mengatakan, nasib RUU PDP itu akan diputuskan dalam evaluasi Prolegnas Prioritas 2021. Di dalam rapat evaluasi itu, kesepakatan antara pemerintah dan DPR akan menentukan apakah RUU PDP itu akan diteruskan ataukah tidak dalam masa sidang selanjutnya.
RUU PDP itu sendiri telah dibahas dalam lima kali masa sidang. Sesuai aturan tata tertib DPR, sebuah RUU harus tuntas dibahas dalam tiga kali masa sidang. Namun, pimpinan DPR telah memberikan waktu dua kali perpanjangan masa sidang. Terkait kemungkinan perpanjangan pembahasan kembali bagi RUU PDP, Baidowi mengatakan, hal itu kembali pada keputusan pimpinan DPR. ”Itu bukan ranah Baleg. Tetapi, ranah pimpinan DPR yang membatasi masa waktu pembahasan sebuah RUU,” ujarnya.
Baca juga : Utamakan Kepentingan Rakyat dalam Pembahasan RUU PDP
Baidowi mengonfirmasi rencana evaluasi prolegnas tahunan yang akan dilakukan pada masa sidang berikutnya. Setelah masa sidang dibuka, 16 Agustus 2021, barulah Baleg DPR mengagendakan evaluasi prolegnas tahunan itu.
Anggota Panitia Kerja (Panja) RUU PDP yang juga anggota Baleg DPR Christina Aryani mengatakan, suatu RUU dapat diperpanjang jika materi RUU tersebut kompleks, jumlah pasalnya banyak, dan beban tugas komisi tidak berat. Baleg sejak awal telah mengatur setiap alat kelengkapan dewan (AKD) hanya akan membahas satu RUU dalam satu tahun prolegnas. AKD tidak dapat mengajukan usulan pembahasan RUU lain sampai satu RUU yang telah dibahas itu tuntas.
”Ini agar fokus dan capaian bisa optimal. Karena ujungnya akan berdampak pada kinerja legislasi DPR. Dikhawatirkan target banyak tetapi tidak selesai. Baleg berupaya realistis. Saya setuju dengan pendekatan ini,” ucapnya.
Baca juga : Pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi Masih Buntu
Dengan kondisi pembahasan RUU PDP yang buntu, menurut Christina, DPR menanti itikad baik pemerintah untuk menuntaskan RUU ini. Sebab, secara prosedural, substansi RUU itu sebenarnya tidak terlalu kompleks lantaran jumlah pasalnya tidak banyak.
Hanya saja, pemerintah dipandang tidak kooperatif dalam membahas RUU itu. Dalam konsinyering, akhir Juni lalu, terjadi kebuntuan karena perbedaan pendapat antara pemerintah dan DPR menyangkut independensi badan otoritas pengawas perlindungan data pribadi.
”Mandeknya ini di Kominfo. Kecuali ada arahan dari presiden agar Kominfo mau mencari titik temu, maka tidak akan bisa jalan. Konsinyering kemarin, mereka sudah bisa sepakat, lalu beberapa jam kemudian mengingkari. Ini kan tidak ada itikad baik namanya,” ucap Christina.
Secara terpisah, anggota Panja RUU PDP dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Irine Yusiana Roba Putri mengatakan, untuk memastikan kelanjutan pembahasan RUU tersebut harus ada kesepakatan antara pemerintah dan DPR. “Karena pada prinsipnya semua UU kan dibahas berdua antara DPR dan pemerintah. Jadi memang saat ini kami menanti niatan baik dari pemerintah,” ucapnya.
Pangkal perbedaan sikap antara pemerintah dan DPR ialah pada status independensi badan atau otoritas pengawas perlindungan data pribadi. Pemerintah yang diwakili Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menginginkan agar badan atau otoritas itu berada di bawah Kominfo, sementara DPR menginginkan badan itu bertanggung jawab langsung di bawah Presiden.
Baca juga : RUU Perlindungan Data Pribadi dan Komitmen Politik
Pada konsinyering, akhir Juni, sebenarnya pemerintah dan DPR sempat sepakat, badan itu di bawah Presiden. Namun, di hari terakhir konsinyering, pemerintah kembali kepada definisi badan independen di bawah Kominfo, yang berbeda dengan kesepakatan sebelumnya. Dengan demikian, belum ada titik temu yang dapat diambil dalam konsinyering antara pemerintah dan DPR tersebut.
Ketua Panja RUU PDP Abdul Kharis Almasyhari mengatakan, pihaknya ingin memastikan keberadaan lembaga pengawas yang independen dan bertanggung jawab kepada Presiden. ”Panja Komisi I DPR ingin memastikan keberadaan lembaga pengawas yang independen, bertanggung jawab kepada Presiden, yang juga akan mengawasi badan publik dan lembaga pemerintah lainnya sesuai dengan aspirasi publik dan masukan para pakar. Kita saat ini menunggu niat baik pemerintah dalam menyelesaikan RUU PDP demi kedaulatan data segenap rakyat Indonesia,” ucapnya.
Dari seluruh total 371 daftar inventarisasi masalah (DIM), Komisi I DPR dan pemerintah telah menyelesaikan pembahasan sebanyak 143 DIM. Rinciannya, 125 DIM telah disetujui dan disepakati, 10 DIM ditunda, 6 DIM perubahan substansi, dan 2 DIM usulan baru. Sekitar 40 persen DIM tuntas dibahas. Adapun yang belum dibahas berjumlah 228 DIM dan mayoritas berkaitan dengan lembaga pengawas PDP.
Skenario kesepakatan
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar mengatakan, kesepakatan antara pemerintah dan DPR harus dicapai untuk meneruskan pembahasan RUU PDP. Sebab, RUU itu sudah sangat mendesak untuk diselesaikan. Kesepakatan untuk meneruskan pembahasan itu pun sebenarnya dapat dilakukan dalam rapat paripurna pembukaan masa sidang berikutnya.
”Soal politik ini,kan, sebenarnya soal negosiasi saja. Sekalipun batasan masa sidang sudah terlampaui, ketika ada kesepakatan antara pemerintah dan DPR, mungkin saja dibuka kembali pembahasannya,” katanya.
Kalaupun kelanjutan pembahasan RUU itu harus ditentukan di dalam evaluasi prolegnas, menurut Wahyudi, bisa saja RUU inisiatif pemerintah itu dikeluarkan dulu dari prolegnas. Selanjutnya, inisiatif RUU itu diubah menjadi inisiatif DPR. Selanjutnya, RUU itu dimasukkan kembali ke dalam prolegnas tahunan.
”Karena pada dasarnya, fungsi legislasi itu ada di DPR, sekalipun pembahasannya melibatkan Presiden. Ini sebenarnya kemungkinan yang bisa diambil dalam evaluasi prolegnas nanti. Namun, soal inisiatif ini akan sangat tergantung pada sikap masing-masing fraksi,” ujarnya.
Skenario lain, dalam rapat evaluasi prolegnas tahunan, RUU PDP tetap menjadi inisiatif pemerintah, tetapi ada kesepakatan dengan DPR untuk meneruskan pembahasan RUU ini dalam masa sidang selanjutnya.
Wahyudi mengatakan, ketiga skenario itu dapat saja diambil oleh pemerintah dan DPR, tetapi tujuannya sama, yakni meneruskan pembahasan RUU ini. Artinya, RUU PDP ini harus diupayakan untuk tetap disahkan pada 2021. Apa pun skenario kesepakatan yang dapat diambil, publik sangat berharap RUU ini segera diteruskan pembahasannya dan disahkan.
”Kekosongan hukum perlindungan data pribadi yang komprehensif telah memunculkan sejumlah permasalahan dalam tata kelola perlindungan data, baik pada sektor publik, termasuk di dalamnya kementerian/lembaga, maupun sektor privat. Peraturan pelindungan data pribadi saat ini juga belum secara spesifik menjamin hak-hak dari subyek data, termasuk juga langkah-langkah ketika terjadi insiden kebocoran data pribadi,” katanya.