Keputusan Cepat Dibutuhkan untuk Selamatkan Rakyat...
Problem etis masih membayangi pelaksanaan vaksin berbayar. Sebagai barang milik publik yang sifatnya universal, sudah semestinya vaksin dapat diakses rakyat dengan gratis.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
Dalam sepekan terakhir, pengadaan vaksin berbayar untuk individu dalam skema vaksin gotong royong yang diatur oleh pemerintah melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19 Tahun 2021 telah menimbulkan polemik di masyarakat. Kendati kebijakan itu belum jadi dilaksanakan, dan masih sedang disiapkan petunjuk teknisnya, problem etis dalam penerapan kebijakan itu masih membayangi.
Kepastian kebijakan vaksinasi berbayar untuk individu itu menjadi topik yang dibahas dalam acara bincang-bicang Satu Meja: The Forum yang dipandu oleh Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo, Rabu (14/7/2021), di Kompas TV. Hadir sebagai pembicara ialah Deputi II Kantor Staf Presiden (KSP) Abetnego Tarigan, anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Gerindra Sri Meliyana, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani, dan penasihat Centre for Innovation Policy & Governance Yanuar Nugroho.
Inisiatif untuk mengadakan vaksin gotong royong itu mulanya lahir dari pemikiran pengusaha yang melihat akses pada vaksin yang relatif belum merata, dan sulit dilakukan.
Dalam acara bincang-bicang dengan topik ”Maju Mundur Vaksin Berbayar” itu, Hariyadi mengungkapkan, inisiatif untuk mengadakan vaksin gotong royong itu mulanya lahir dari pemikiran pengusaha yang melihat akses pada vaksin yang relatif belum merata, dan sulit dilakukan. Sementara pertimbangan pengusaha ketika itu ialah untuk menyelamatkan karyawan mereka secepat mungkin.
Sebagai contoh, untuk satu pabrik sepatu ada 10.000-20.000 karyawan, dapat dibayangkan kesulitan yang timbul untuk mengakses vaksin ketika itu. Karena itulah, kalangan dunia usaha mengusulkan agar mereka bisa mengakses vaksin tersebut untuk keperluan karyawan.
Akan tetapi, pada kenyataannya, terjadi kelambatan dalam akses vaksin gotong royong itu. Vaksin baru diperoleh pada Mei 2021. Momentum vaksinasi dinilai telah terlambat karena sebagian karyawan telah mengakses vaksin gratis yang diadakan oleh pemerintah.
”Sekarang momentumnya sudah lewat. Mereka (karyawan) mencoba berbagai cara untuk mendapatkan vaksin, dan itu sudah terjadi. Dari 10,5 juta orang yang mendaftar, tinggal separuhnya yang belum mengakses vaksinasi,” ucapnya.
Hariyadi pun menegaskan upaya vaksin gotong royong yang menjadi inisiatif pengusaha itu sama sekali tidak bertujuan untuk memberikan posisi eksklusif kepada kelompok tertentu. Prinsipnya pengusaha ingin akses vaksinasi untuk karyawan mereka dapat difasilitasi. Ketika ternyata hal itu dapat dilakukan dengan vaksinasi gratis yang dapat diakses oleh karyawan, kalangan dunia usaha pun tidak keberatan dengan hal itu.
”Seperti dikatakan, akses kita untuk mendapatkan vaksin itu yang semestinya dipemudah. Ini yang perlu kita lihat kembali. Kalau memang ternyata tidak sesuai rencana, karena lewat momentum, kenapa tidak memakai Kimia Farma dan jalur-jalur distribusi lainnya untuk mempercepat akses, dan kenapa tidak Kimia Farma menjadi kanal percepatan vaksinasi,” katanya.
Dengan vaksin gotong royong yang telanjur dipesan oleh Biofarma, menurut Hariyadi, dapat saja diubah menjadi vaksin booster (penguat) bagi karyawan yang telah divaksin. Artinya, dengan diubah menjadi booster, masih ada momentum bagi dilakukannya vaksinasi dengan skema vaksin gotong royong. Selain itu, Hariyadi juga berharap perusahaan yang telah mendaftar sebaiknya segera memanfaatkan vaksin gotong royong yang sudah tersedia.
Terkait persoalan ini, Abetnego mengatakan, pada prinsipnya pemerintah tetap memberikan vaksin gratis kepada warga. Vaksin berbayar itu hanya opsi, dan sama sekali tidak mengurangi hak warga negara untuk mendapatkan vaksin gratis dari program pemerintah. ”Tidak ada desain dari pemerintah untuk mengarahkan orang ke vaksin berbayar. Namun, itu pilihan individu untuk mengakses hal itu,” katanya.
Mengenai 20 juta dosis vaksin gotong royong yang sudah dialokasikan untuk perusahaan dan individu, dan pengadaannya dilakukan oleh Biofarma, menurut Abetnego, itu di luar skema vaksinasi program pemerintah yang gratis. Sekalipun vaksin gotong royong itu belum bisa sepenuhnya diserap oleh perusahaan, pemerintah juga tidak serta-merta menarik urusan itu sebagai urusan pemerintah.
Pengadaan vaksin gotong royong oleh badan usaha milik negara (BUMN) itu ada di dalam konteks business to business (B to B) yang dijalankan oleh badan usaha. Artinya, tidak serta-merta ini ditarik menjadi urusan negara.
Sebab, pengadaan vaksin gotong royong oleh badan usaha milik negara (BUMN) itu ada di dalam konteks business to business (B to B) yang dijalankan oleh badan usaha. Artinya, tidak serta-merta ini ditarik menjadi urusan negara, sementara pemerintah juga sudah menjalankan vaksinasi gratis sesuai prosedur.
”Analisis problem swasta menjadi problem negara membutuhkan langkah-langkah sebelum ke sana. Namun, bisa kita pecahkan persoalan itu, yakni baik fokus pemerintah maupun swasta tetap dilakukan sesuai prosedur,” ucapnya.
Sementara itu, Sri mengatakan, DPR hanya mau fokus pada pengawasan dan pengawalan program vaksin gratis pemerintah, dan tidak akan mencampuri persoalan vaksin gotong royong. Saat ditanya kenapa DPR hanya fokus pada vaksin program pemerintah, Sri beralasan, vaksin berbayar tidak mengganggu program vaksinasi gratis pemerintah.
”Karena vaksin gotong royong tidak mengambil apa-apa dari vaksinasi program. Mereka cuma ingin percepatan, dan ketika tidak tercapai, toh, kita mempunyai vaksinasi nasional itu, dan kita tetap fokus ke sana,” ujarnya.
Sri pun mengapresiasi ditundanya pelaksanaan vaksin gotong royong itu oleh Kimia Farma. Sebab, program itulah yang selama ini memicu perdebatan dan polemik. DPR ingin kebijakan itu secara intensif dilakukan kajian kembali dengan melibatkan banyak pihak sehingga pelaksanaannya sempurna.
”Bagaimanapun, kita tetap fokus dulu pada vaksin yang gratis. Kita mendukung pemerintah mengakselerasi distribusi vaksin dengan kecepatan yang cukup untuk mencapai herd immunity (kekebalan kelompok),” katanya.
Sementara itu, Yanuar mengatakan, polemik terkait vaksinasi berbayar ini bermuara pada problem komunikasi kebijakan publik. Selain itu, kebijakan vaksinasi berbayar ini memiliki dua persoalan sekaligus, yakni persoalan teknis dan teknokratis, serta problem etis.
Menurut Yanuar, vaksin adalah global public goods. Artinya, vaksin adalah barang milik publik yang sifatnya universal dan mesti dapat diakses secara merata oleh semua orang di dunia. Situasi ini ia analogikan seperti kapal yang sedang tenggelam, dan pada saat yang sama tersedia sekoci-sekoci berbayar. Kondisi ini menimbulkan persoalan etis mendasar dalam program vaksinasi berbayar.
”Di tengah angka kasus yang tinggi, kita harus kejar dulu, digenjot dulu program pemerintah, dan secepat-cepatnya serta sebanyak-banyaknya orang diselamatkan. Yang membedakan nasib suatu negara dalam menghadapi Covid-19 ialah seberapa besar kapasitas negara untuk mengambil keputusan cepat dan menyelamatkan rakyat,” ucapnya.
Vaksin adalah global public goods. Artinya, vaksin adalah barang milik publik yang sifatnya universal dan mesti dapat diakses secara merata oleh semua orang di dunia.
Lalu, bagaimana dengan vaksin gotong royong yang telanjur datang, dan memiliki masa kedaluwarsa? Yanuar mengatakan, sebaiknya vaksin itu diambil alih oleh pemerintah untuk program vaksinasi gratis. Memang, hal ini diakui memiliki pertimbangan teknokratis, dan menjadi suatu keputusan besar dan dilematis.
”Tetapi, kita berkejar-kejaran dengan waktu untuk menyelamatkan nyawa rakyat. Ambil keputusan cepat untuk menyelamatkan rakyat, dan pasti ada konsekuensinya, memang,” kata Yanuar yang juga mantan Deputi II Kantor Staf Presiden.