Polemik Dagang Vaksin
Di tengah kondisi darurat pandemi ini, pemerintah berteriak-teriak di "luar kandang" memperjuangkan akses kesetaraan vaksin global. Namun, di kandang sendiri justru mengaburkan akses kesetaraan vaksin tersebut.
Sepertinya ada yang tidak rela jika vaksin digratiskan bagi semua masyarakat. Sejak awal mula perencanaan program vaksinasi nasional hingga kini, nuansa dagang vaksin terselip di sela-sela guliran vaksin gratis. Begitu ada alasan yang dianggap pas, kebijakan itu tiba-tiba menyeruak muncul diterapkan.
Legalisasinya? Gampang saja. Tinggal diubah atau disesuaikan menurut kemauan para pengambil kebijakan. Kemudian narasinya, bahkan nama programnya, dibangun sebaik mungkin untuk meyakinkan berbagai kalangan.
Tahun lalu, pemerintah menyiapkan dua program vaksinasi, yakni vaksin bantuan pemerintah yang disediakan gratis dan vaksin mandiri atau berbayar. Dari target 107 juta orang yang akan diimunisasi, 30 persen atau 32 juta orang diberikan vaksin gratis dan 70 persen atau 75 juta orang mengakses skema mandiri atau berbayar.
Kebijakan vaksin mandiri tersebut menuai kritik dari berbagai kalangan. Ada yang berpendapat bahwa vaksin Covid-19 merupakan barang publik yang bisa diakses semua orang dan ini menyangkut keadilan dalam kesehatan masyarakat. Ada juga yang mengatakan, jika vaksin mandiri diterapkan dikhawatirkan menimbulkan ketimpangan akses terhadap vaksin yang ditentukan oleh kemampuan ekonomi.
Vaksin Covid-19 merupakan barang publik yang bisa diakses semua orang dan ini menyangkut keadilan dalam kesehatan masyarakat.
Selang tak lama polemik itu berembus, pada 16 Desember 2020, Presiden Joko Widodo menegaskan, vaksin Covid-19 diberikan secara gratis. Pemberian vaksin gratis ini diputuskan setelah menerima banyak masukan dari masyarakat dan mengalkulasi ulang keuangan negara. Presiden juga menginstruksikan semua jajarannya di kabinet, seperti kementerian dan lembaga, serta pemerintah daerah memprioritaskan program vaksinasi tahun anggaran 2021 (Kompas, 17 Desember 2020).
Lihat juga: Video Berita: Presiden Jokowi: Vaksin Covid-19 Gratis untuk Seluruh Masyarakat
Namun, kendati Presiden sudah mengambil keputusan untuk menggratiskan vaksin bagi masyarakat, pemerintah masih berkeinginan menggelar vaksin mandiri. Strateginya juga telah disiapkan. Pertama, jika program vaksin mandiri dibuka, mereknya harus berbeda jenis dengan vaksin yang dibagikan gratis. Kedua, vaksinasi mandiri harus dilakukan belakangan setelah pelaksanaan vaksinasi gratis.
Pada Mei 2021, muncullah program vaksinasi gotong royong. Setiap badan usaha atau perusahaan bisa membeli vaksin untuk diberikan kepada karyawannya secara gratis. Program ini muncul untuk meringankan beban pemerintah sekaligus dalam rangka mengakselerasi vaksinasi. Tak mengherankan jika program tersebut terselip frasa ”gotong royong”.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/4643/2021 tentang Penetapan Besaran Harga Pembelian Vaksin Produksi Sinopharm melalui Penunjukan PT Bio Farma (Persero) dan Tarif Maksimal Pelayanan untuk Pelaksanaan Vaksinasi Gotong Royong, harga pembelian vaksin tertinggi Rp 321.660 per dosis, sedangkan tarif maksimal pelayanan vaksinasi sebesar Rp 117.910 per dosis. Harga ini sudah termasuk keuntungan 20 persen serta biaya distribusi yang akan diperoleh PT Bio Farma dan 15 persen keuntungan fasilitas kesehatan yang melayani vaksinasi.
Belum tuntas program tersebut, pada Juli ini, muncul program vaksinasi gotong royong berbayar bagi individu atau perseorangsan di tengah kondisi darurat pandemi Covid-19. Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 19 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Permenkes 10/2021 tentang Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19 pada 6 Juli 2021.
Alasannya, untuk mempercepat membangun herd immunity atau kekebalan komunal di tengah lonjakan kasus Covid-19 akibat varian baru virus korona. Angka kematian juga terus meningkat hingga totalnya sebanyak 66.464 jiwa per 11 Juli 2021, dengan tingkat fatalitas kasus (fatality rate) sebesar 2,63 persen, melebihi tingkat global yang sebesar 2,16 persen.
Alasan lain yang bergulir adalah agar perusahaan-perusahaan yang sebelumnya tidak bisa mengakses vaksin gotong royong badan usaha yang dikoordinasi oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia dapat mengakses vaksin. Tentu saja kebijakan ini menuai kritik dari berbagai kalangan dengan alasan yang kurang lebih sama dengan awal rencana vaksin mandiri digulirkan. Kritik ini menuai penundaan program vaksin individu berbayar itu.
Baca juga: Skema Vaksin Berbayar Tidak Bisa Dijadikan Solusi pada Masalah Distribusi Vaksin
”Memainkan” regulasi
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mencatat, dalam kurun tujuh bulan terakhir, ada tiga kali perubahan permenkes yang mengatur tentang vaksinasi. Pertama, pemerintah mengeluarkan Permenkes 84/2020 tentang Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19 yang menjamin penerima vaksin Covid-19 tidak dipungut biaya atau gratis.
Kedua, peraturan tersebut diubah menjadi Permenkes 10/2021 yang mengatur vaksinasi gotong royong yang digelar dan dibeli oleh badan hukum/badan usaha untuk diberikan kepada karyawannya secara gratis. Kemudian ketiga, diterbitkan Permenkes 19/2021 yang membolehkan vaksinasi gotong royong berbayar terhadap individu.
PSHK menilai, perubahan-perubahan dengan cara ”memainkan” regulasi ini mengindikasikan pemerintah tidak memiliki perencanaan program vaksinasi yang matang. Seharusnya sejak awal pemerintah menerapkan program vaksinasi gratis saja dan membenahi berbagai kekurangannya, bukan malah mengambil keuntungan dengan dalih percepatan vaksinasi dan mengantisipasi kerumunan antrean vaksin (Kompas, 13/7/2021).
Perubahan-perubahan dengan cara ”memainkan” regulasi ini mengindikasikan pemerintah tidak memiliki perencanaan program vaksinasi yang matang.
Baca juga:
- Cabut Kebijakan Vaksinasi Individu Berbayar
- Vaksin Jangan Sampai Dikomersialisasikan
- Bisnis dan Kemanusiaan
Bisnis obat-obatan dan vaksin di tengah pandemi Covid-19 ini memang menggiurkan. Untuk vaksin saja, misalnya, pada Juli 2020, Fortune Business Insight menyebutkan, pada 2019, nilai bisnis vaksin pasar global 46,88 miliar dollar AS. Pada 2023 dan 2027, nilai bisnis vaksin ini diperkirakan melonjak masing-masing menjadi 65,1 miliar dollar AS dan 104,87 miliar dollar AS.
Di tengah masyarakat membutuhkan obat, oksigen, vitamin, dan vaksin, negara harusnya hadir secara optimal untuk menyediakan berbagai kebutuhan kesehatan tersebut secara terjangkau dan gratis khusus untuk vaksin. Tidak etis rasanya jika menjual dan berdagang vaksin meskipun bagi kalangan ekonomi mampu di tengah kondisi ini.
Di tengah kondisi darurat pandemi ini, pemerintah berteriak-teriak di luar kandang memperjuangkan akses kesetaraan vaksin global. Namun, di kandang sendiri justru mengaburkan akses kesetaraan vaksin tersebut.
Masih ada jalan lain yang bisa ditempuh untuk mengakselerasi vaksinasi. Dalam hal distribusi, pemerintah dapat menggandeng swasta untuk menggelar vaksinasi gratis baik bagi karyawan maupun masyarakat di sekitar perusahaan tersebut berada.
Di sisi lain, perkuat permodalan Holding BUMN Farmasi agar bisa memenuhi kebutuhan vaksin, obat, vitamin, dan fasilitas kesehatan yang lain yang tengah dibutuhkan masyarakat. Atau jika memang ada penugasan bagi Holding BUMN Farmasi untuk vaksinasi, beri kompensiasi, seperti reimburse kepada pemerintah. Bukannya malah menggunakan anggaran negara guna menyuntik BUMN-BUMN lain yang sebenarnya masih bisa menyelesaikan persoalannya sendiri.
Di tengah kondisi darurat pandemi ini, pemerintah berteriak-teriak di luar kandang memperjuangkan akses kesetaraan vaksin global. Namun, di kandang sendiri justru mengaburkan akses kesetaraan vaksin tersebut.
Baca juga: