Cabut Kebijakan Vaksinasi Individu Berbayar
Vaksinasi gotong royong berbayar bagi individu dinilai tidak etis diterapkan dan melanggar konstitusi. Pemerintah diharapkan mencabut kebijakan itu dan lebih fokus menangani kondisi darurat.
JAKARTA, KOMPAS — Koalisi Warga untuk Keadilan Akses Kesehatan meminta pemerintah tidak hanya menunda, tetapi juga mencabut kebijakan vaksinasi gotong royong berbayar bagi individu. Kebijakan ini dinilai tidak etis dilakukan di tengah kondisi darurat Covid-19 dan bisa menyebabkan ketimpangan sosial.
Koalisi Warga untuk Keadilan Akses Kesehatan merupakan gabungan dari 18 elemen masyarakat, seperti lembaga swadaya masyarakat, akademisi, dan wartawan. Beberapa di antaranya adalah LaporCovid19, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Indonesia Global Justice, Aliansi Jurnalis Independen, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, dan Covid Survivor Indonesia.
Juru bicara Koalisi Warga untuk Keadilan Akses Amanda Tan, Senin (12/7/2021), mengatakan, vaksin Covid-19 merupakan barang publik yang tidak boleh diperjualbelikan, apalagi di tengah kondisi darurat pandemi Covid-19 saat ini. Setiap warga negara seharusnya memiliki hak yang sama untuk mendapatkan vaksin virus korona secara gratis melalui subsidi penuh dari pemerintah.
Hal itu diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pasal 28H Ayat (1) dan Pasal 34 Ayat (3) UUD tersebut menyatakan, setiap orang berhak sehat dan memperoleh pelayanan kesehatan, sementara negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
”Oleh karena itu, kebijakan vaksin gotong royong berbayar bagi individu atau perseorangan ini tidak etis diterapkan dan melanggar konstitusi. Kami berharap agar pemerintah tidak hanya menunda, tetapi mencabut kebijakan itu dan lebih fokus pada penanganan kondisi darurat Covid-19,” ujar Amanda dalam telekonferensi pers di Jakarta.
Kebijakan vaksin gotong royong berbayar bagi individu atau perseorangan ini tidak etis diterapkan dan melanggar konstitusi. Kami berharap agar pemerintah tidak hanya menunda, tetapi mencabut kebijakan itu dan lebih fokus pada penanganan kondisi darurat Covid-19.
Sebelumnya, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 19 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19 pada 6 Juli 2021. Dalam regulasi itu disebutkan, vaksinasi gotong royong juga mencakup pelaksanaan vaksinasi Covid-19 kepada individu atau perseorangan yang pendanaannya dibebankan kepada yang bersangkutan.
Vaksinasi Covid-19 berbayar bagi individu akan dilakukan di delapan Kimia Farma di Jawa dan Bali mulai 12 Juli 2021. Vaksin yang digunakan dalam program tersebut adalah Sinopharm yang dijual dengan harga Rp 879.140 untuk dua dosis. Namun, PT Kimia Farma (Persero) Tbk menunda vaksinasi tersebut untuk sementara waktu dengan alasan memperpanjang masa sosialisasi di tengah berbagai respons yang muncul terkait pelaksanaan vaksinasi individu.
Peneliti PSHK Rizky Argama menilai, dalam kurun tujuh bulan terakhir, Permenkes ini telah tiga kali berubah. Pertama, pemerintah mengeluarkan Permenkes No 84/2020 tentang Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19 yang menjamin penerima vaksin Covid-19 tidak dipungut biaya atau gratis.
Kemudian, peraturan tersebut diubah menjadi Permenkes No 10/2021 yang mengatur vaksinasi gotong royong yang digelar dan dibeli oleh badan hukum/badan usaha untuk diberikan kepada karyawannya secara gratis.
Setelah itu, lanjut Rizky, diterbitkan Permenkes No 19/2021 yang membolehkan vaksinasi gotong royong berbayar terhadap individu. Perubahan-perubahan dengan cara memainkan regulasi ini mengindikasikan pemerintah tidak memiliki perencanaan program vaksinasi yang matang.
”Seharusnya sejak awal pemerintah menerapkan program vaksinasi gratis saja dan membenahi berbagai kekurangannya, bukan malah mengambil keuntungan dengan dalih percepatan vaksinasi dan mengantisipasi kerumunan antrean vaksin,” katanya.
Perubahan-perubahan dengan cara memainkan regulasi ini mengindikasikan pemerintah tidak memiliki perencanaan program vaksinasi yang matang.
Baca juga: Vaksinasi Individu Tak Boleh Ambil Untung
Prioritaskan masyarakat
Secara terpisah, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra PG Talattov, mengemukakan, di tengah masih rendahnya cakupan vaksinasi Covid-19 di Indonesia yang baru 19,5 persen per 6 Juli untuk dosis pertama, menggambarkan bahwa pemerintah harusnya fokus untuk memperluas dan mempercepat layanan vaksinasi ke mayoritas masyarakat. Percepatan layanan vaksinasi ini tidak boleh dilakukan dengan cara inkonstitusional atau dengan memungut biaya ke masyarakat.
Terlebih lagi pemerintah sudah mendapat kepercayaan untuk menambah defisit APBN hingga Rp 1.039 triliun pada 2020 dan Rp 1.006 triliun pada 2021. Harusnya dengan pelebaran defisit itu, dana negara atau rakyat utamanya digunakan untuk penangangan Covid-19, salah satunya melalui vaksinasi.
”Apabila pemerintah tetap memaksakan adanya vaksinasi gotong royong berbayar bagi individu, sangat jelas tidak konsisten dengan motif awal kebijakan pelebaran defisit fiskal,” ujarnya.
Menurut Abra, melihat besarnya tekanan publik yang menolak rencana vaksinasi individual berbayar tersebut, maka ada dua opsi yang bisa diambil pemerintah. Pertama, membatalkan rencana tersebut dan fokus pada vaksinasi gratis. Kedua, melibatkan BUMN Farmasi dan pelaku usaha swata lainnya untuk pelayanan vaksin, tetapi seluruh biayanya ditanggung pemerintah, konsumen tidak boleh dipungut biaya sepeser pun.
”Dalam opsi kedua tersebut, BUMN Farmasi dalam hal ini Kimia Farma diberi penugasan pemerintah untuk melayani vaksinasi kepada masyarakat umum dan disiapkan juga dana kompensasinya. Kimia Farma nantinya bisa melakukan reimburse kepada pemerintah karena anggarannya sudah tersedia dan sangat cukup sebagai implikasi dari defisit APBN yang melebar untuk penangangan Covid-19,” katanya.
Baca juga :
Dinaungi badan usaha
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir memastikan, vaksin gotong royong, baik bagi individu maupun badan usaha, tidak menggunakan vaksin yang dialokasikan untuk program vaksinasi nasional secara gratis. Vaksin gotong royong itu juga tidak menggunakan vaksin yang berasal dari sumbangan atau hibah dari kerja sama bilateral dan multilateral, seperti dari Uni Emirat Arab dan Global Alliance for Vaccine and Immunization (GAVI) melalui programnya, Covid-19 Vaccines Global Access (Covax).
Vaksin gotong royong berbayar bagi individu dan badan usaha ini tidak pernah menggunakan dana APBN. Pengadaan vaksin dan pelaksanaan vaksinasinya menggunakan keuangan korporasi maupun pinjaman korporasi yang dilakukan oleh Holding BUMN Farmasi.
”Adapun biaya vaksinasi gotong royong individu menggunakan kewajaran harga vaksinasi yang akan dikaji oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP),” ujar Erick dalam siaran pers, Senin.
Erick menekankan, pentingnya saling gotong royong dalam kondisi pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat yang tengah berlangsung. Saat ini angka kematian terus meningkat hingga totalnya 66.464 jiwa per 11 Juli 2021, dengan tingkat fatalitas kasus (fatality rate) 2,63 persen, melebihi tingkat global yang sebesar 2,16 persen.
Pelaksanaan Permenkes No 19/2021, terutama menyangkut vaksinasi gotong royong individu, merupakan dukungan untuk percepatan vaksinasi guna herd immunity atau kekebalan komunal.
”Masyarakat pun kini memiliki opsi tambahan untuk mengakses vaksinasi. Ini salah satu bentuk gotong royong yang bisa dilakukan masyarakat di momen penuh tantangan ini,” katanya.
Dalam rapat koordinasi Senin sore, imbuh Erick, telah disepakati bahwa semua penerima vaksinasi gotong royong individu harus dinaungi badan usaha atau lembaga tempat calon penerima vaksin bekerja. Tentu data yang akan digunakan adalah data badan usaha atau lembaga yang telah terdaftar untuk vaksinasi gotong royong melalui Kamar Dagang dan Industri (Kadin) dan divalidasi oleh Kementerian Kesehatan. Hal ini akan dirinci lebih lanjut dalam sosialisasi vaksinasi gotong royong individu.
Telah disepakati bahwa semua penerima vaksinasi gotong royong individu harus dinaungi badan usaha atau lembaga tempat calon penerima vaksin bekerja.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan juga Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Airlangga Hartarto mengatakan, tujuan utama vaksinasi gotong royong itu adalah mengakselerasi Program Vaksinasi Nasional untuk mencapai kekebalan komunal (herd immunity). Vaksinasi gotong royong bagi individu ini merupakan opsi bagi bagi individu yang ingin berpartisipasi dalam percepatan vaksinasi itu.
”Hal ini sangat penting dan kontekstual, mengingat kondisi pandemi yang sedang memburuk di mana vaksinasi merupakan upaya terpenting untuk menguatkan ketahanan kesehatan masyarakat dan sejalan dengan PPKM Darurat,” ujarnya melalui siaran pers, Senin.
Program Vaksinasi Gratis dari pemerintah akan menggunakan vaksin Sinovac, AstraZeneca, dan Moderna. Adapun vaksinasi gotong royong akan menggunakan vaksin Sinopharm. Hingga 11 Juli 2021, sekitar 51 juta dosis vaksin telah digulirkan.
Airlangga menambahkan, dengan ketersediaan 95 juta dosis vaksin pada Juli 2021 untuk Program Vaksinasi Gratis, maka vaksinasi gotong royong tidak akan mengganggu akses publik terhadap vaksinasi. Program tersebut justri dapat mempercepat pelaksanaanya.
”Dalam waktu sekitar dua minggu terakhir ini, kecepatan vaksinasi nasional rata-rata sekitar 812.000 dosis vaksin per hari. Hal ini akan terus diakselerasi hingga 1,5 juta dosis vaksin per hari. Salah satunya melalui Program Vaksinasi Gotong Royong, baik individu maupun badan usaha,” katanya.
Baca juga :