Vaksin Covid-19 rawan dikomersialisasikan di tengah krisis kesehatan saat ini. Hal itu berpotensi menghambat upaya vaksinasi untuk mengatasi pandemi penyakit yang disebabkan virus SARS-CoV-2 ini.
Oleh
TIm Kompas
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemerintah mengadakan program vaksinasi mandiri membuat vaksin Covid-19 rentan dijadikan komoditas. Di tengah krisis kesehatan seperti ini, vaksin seharusnya menjadi barang publik yang bisa diakses semua lapisan masyarakat. Program vaksinasi yang inklusif dan teruji efektif bisa lebih cepat memulihkan perekonomian.
Direktur Eksekutif Institute for Development on Economics and Finance Tauhid Ahmad, Senin (14/12/2020), mengatakan, di tengah krisis kesehatan saat ini dan buruknya pendataan di Indonesia, vaksin seharusnya diberikan secara gratis dan merata agar tidak memicu masalah sosial-ekonomi yang baru.
Sebagaimana diberitakan, pemerintah menyiapkan dua program vaksinasi, yakni vaksin bantuan pemerintah yang disediakan gratis dan vaksin mandiri atau berbayar. Dari target 107 juta orang yang akan diimunisasi, 30 persen atau 32 juta orang diberikan vaksin gratis dan 70 persen atau 75 juta orang mengakses skema mandiri atau berbayar.
Pandemi Covid-19 telah memperparah kesenjangan sosial di masyarakat. Program vaksinasi berbayar berpotensi memperlebar ketimpangan itu. ”Kini semua lapisan masyarakat senasib sepenanggungan. Jika tidak digratiskan, akan memicu kecemburuan sosial antara yang mampu dan tidak serta pemulihan akan lebih lama karena ada warga terlewat divaksin,” kata Tauhid.
Pengalaman selama 10 bulan terakhir menghadapi Covid-19 memberi banyak pelajaran. Pendataan yang karut-marut membuat penyaluran program bantuan sosial kerap tak optimal. Mereka yang paling terdampak dan membutuhkan ada yang tak tersentuh.
Di sisi lain, perputaran uang yang besar di program-program itu ditengarai ada yang dimanfaatkan pejabat publik untuk korupsi. Jika vaksin dikomersialisasikan, Tauhid khawatir masalah yang sama akan kembali muncul dengan risiko lebih besar. Penyaluran vaksin gratis ke masyarakat tidak tepat sasaran, sedangkan pemburu rente merajalela dari proyek-proyek pembelian vaksin.
”Vaksin-vaksin palsu berpotensi muncul di pasar. Masyarakat tidak mampu yang tidak tersentuh bantuan pemerintah dan tidak mampu membeli vaksin bisa nekat mencari karena butuh cepat. Dampaknya lebih berbahaya,” ujarnya.
Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri menilai, vaksin seharusnya dijadikan barang publik. Apalagi, hanya ada satu jenis tersedia, yakni vaksin dari Sinovac Biotec, sehingga logika bisnis untuk mematok harga pada vaksin pun menjadi kurang masuk akal.
Vaksin Sinovac sebanyak 3 juta dosis jadi serta 45 juta dosis curah yang semuanya akan tiba awal tahun depan akan sama-sama dipakai untuk program vaksin gratis ataupun vaksin mandiri. ”Setidaknya, mayoritas dari vaksin itu harus gratis dan aksesnya tidak sulit bagi masyarakat. Di sisi lain, kalau memang yang mampu mau membayar, silakan saja, tetapi tidak bisa dimonopoli hanya oleh satu jenis vaksin,” kata Yose.
Pemulihan ekonomi
Pemulihan ekonomi diyakini lebih cepat tercapai jika akses terhadap vaksin diberikan secara merata dan efektivitasnya terbukti ketimbang mengadakan program vaksin berbayar yang hanya bisa diakses sebagian orang, dengan tingkat kemanjuran yang belum teruji.
Vaksin-vaksin palsu berpotensi muncul di pasar. Masyarakat tidak mampu yang tidak tersentuh bantuan pemerintah dan tidak mampu membeli vaksin bisa nekat mencari karena butuh cepat.
”Efektivitas vaksin yang dibeli harus teruji karena kalau tidak, akan lebih berbahaya. Masyarakat yang tidak percaya bisa menolak divaksin karena efektivitasnya belum terbukti. Apalagi kalau harus membayar sendiri untuk vaksin yang belum tentu manjur,” katanya.
Tauhid menambahkan, kapasitas fiskal pemerintah seharusnya cukup untuk menggratiskan biaya vaksin untuk masyarakat jika pemerintah mau memberi prioritas. Anggaran penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional pada 2020 yang belum terserap bisa dialokasikan untuk pengadaan, distribusi, dan vaksinasi.
Pada APBN 2021, pemerintah mengalokasikan anggaran kesehatan Rp 169,7 triliun dengan Rp 60,5 triliun di antaranya untuk pengadaan vaksin. Sebagai perbandingan, alokasi anggaran kesehatan lebih kecil daripada anggaran infrastruktur yang naik drastis 47,2 persen jadi Rp 417,4 triliun.
Dengan asumsi harga satu dosis vaksin Rp 450.000, dibutuhkan Rp 144 triliun untuk membeli 320 juta dosis vaksin (dua kali vaksinasi) untuk 160 juta orang. ”Jadi, kapasitas fiskal kita masih bisa menanggung vaksinasi gratis,” katanya.
Produksi vaksin pada 2021 diperkirakan hanya akan terpenuhi separuh dari kebutuhan global dan sebagian besar sudah dipesan negara maju. ”Kapasitas produksi vaksin global tahun depan maksimal 2 miliar dosis, padahal penduduk Bumi yang butuh vaksin 4 miliar. Kita harus lebih realistis, belum lagi ada banyak tantangan lain infrastruktur di Indonesia,” papar pakar biologi molekuler Ahmad Rusdan Handoyo Utomo.
Tantangan infrastruktur kesehatan dalam pemberian vaksin itu, di antaranya, adalah penentuan prioritas, pilihan vaksin, tantangan pendataan, pemalsuan identitas dan pemalsuan vaksin, serta rantai dingin untuk penyimpanan dan distribusi.
Sementara Singapura menyetujui vaksin virus korona Pfizer-BioNTech, Perdana Menteri Lee Hsien Loong, seperti dikutip asia.nikkei.com, mengatakan, dosis pertama akan tiba pada akhir Desember dan vaksin lain akan datang beberapa bulan mendatang. (AGNES THEODORA/AHMAD ARIF/DEONISIA ARLINTA)