Tujuan pemerintah memberlakukan vaksinasi individu berbayar untuk mempercepat terbentuknya ”herd immunity” relatif bisa dipahami. Namun, vaksinasi berbayar justru dinilai akan membuka peluang penyelewengan.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi mengingatkan adanya potensi penyelewengan dalam penjualan vaksin gotong royong untuk individu. Untuk mencegah hal itu, sistem perencanaan, pelaksanaan, serta pengawasan pelaksanaan vaksin harus dibangun secara transparan dan akuntabel.
Ketua KPK Firli Bahuri saat dihubungi di Jakarta, Rabu (14/7/2021), mengatakan, potensi penyelewengan (fraud) dalam pelaksanaan vaksinasi gotong royong telah disampaikan dalam rapat koordinasi yang dihadiri sejumlah menteri dan kepala lembaga. Mereka yang hadir di antaranya Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, dan Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir. Selain itu, ada juga Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Muhammad Yusuf Ateh serta Jaksa Agung Sianitar Burhanuddin.
”Saya menyampaikan saran langkah-langkah strategis menyikapi potensi fraud jika vaksin mandiri dilaksanakan berbayar ke masyarakat serta vaksinasi selanjutnya. Saya tentu tidak memiliki kapasitas untuk membuat keputusan. Saya ingin tidak ada korupsi,” ujar Firli.
Sebelumnya diberitakan, pemerintah memberlakukan vaksinasi berbayar untuk individu. Vaksinasi orang per orang itu diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 19 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Permemkes Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19. Dalam permenkes baru itu diatur, vaksinasi gotong royong terdiri dari vaksinasi yang dilakukan oleh lembaga atau perusahaan untuk para karyawan serta vaksinasi individu atau orang per orang yang pendaanannya dibebankan kepada yang bersangkutan (Pasal 1 Angka 5).
Vaksin yang diberikan pada vaksinasi individu berbayar sama dengan vaksin gotong royong bagi badan usaha atau perusahaan, seperti Sinopharm. Bukan vaksin yang digunakan dalam vaksinasi massal gratis untuk rakyat.
Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) Nomor HK.01.07/Menkes/4643/2021 tentang Penetapan Besaran Harga Pembelian Vaksin Produksi Sinopharm melalui Penunjukan PT Bio Farma (Persero) dalam Pelaksanaan Pengadaan Vaksin Covid-19 dan Tarif Maksimal Pelayanan Vaksinasi Gotong Royong, pemerintah memperbolehkan vaksin Covid-19 dijual dengan harga Rp 879.140 lewat klinik Kimia Farma dan fasilitas kesehatan swasta lainnya.
Firli menyampaikan, KPK sangat memahami permasalahan implementasi vaksinasi saat ini. Pihaknya pun mendukung upaya percepatan vaksinasi.
KPK sebenarnya tidak mendukung pola vaksin gotong royong melalui Kimia Farma karena efektivitasnya rendah, sementara tata kelolanya berisiko. KPK dorong transparansi logistik dan distribusi vaksin yang lebih besar.
Namun, menurut dia, meski penjualan vaksin gotong royong individu melalui Kimia Farma sudah dilengkapi dengan permenkes, pelaksanaannya tetap berisiko tinggi dari sisi medis dan kontrol vaksin. Begitu vaksinasi individu berbayar dibuka, kemungkinan besar akan muncul pengecer atau reseller.
Transparansi
Untuk itu, pemerintah diminta memastikan pelaksanaan vaksinasi berbayar tidak boleh tercampur dengan vaksin hibah, baik bilateral maupun skema Covid-19 Vaccines Global Acces (Covax). KPK juga meminta pemerintah membuka transparansi alokasi dan penggunaan vaksinasi berbayar oleh perusahaan penyedia.
”Pelaksanaan hanya melalui lembaga atau institusi yang menjangkau kabupaten dan kota. Misalnya, rumah sakit swasta seluruh Indonesia atau kantor pelayanan pajak,” ucap Firli.
Firli pun menyarankan pemerintah untuk menentukan jumlah, jenis, dan harga vaksin yang boleh berbayar. Pemerintah juga wajib membuat mekanisme pembayaran vaksin untuk mencegah kecurangan.
”Perlu dibangun sistem perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan monitoring pelaksanaan vaksin gotong rotong secara transparan, akuntabel, dan pastikan tidak ada terjadi praktik fraud. Jangan ada niat jahat untuk melakukan korupsi,” katanya.
Lebih jauh, ia mengingatkan, data menjadi kunci dalam pelaksnaan vaksinasi berbayar. Karena itu, Kementerian Kesehatan harus menyiapkan data calon peserta vaksin gotong royong sebelum dilakukan vaksinasi. Data itu berbasis data karyawan yang akuntabel dari badan usaha, swasta, instansi, lembaga organisasi pengusaha, atau asosiasi.
”KPK sebenarnya tidak mendukung pola vaksin gotong royong melalui Kimia Farma karena efektivitasnya rendah, sementara tata kelolanya berisiko. KPK dorong transparansi logistik dan distribusi vaksin yang lebih besar,” kata Firli.
Sebelumnya, Sekretaris Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) DPR Achmad Baidowi juga mengkhawatirkan vaksinasi gotong royong ini berujung pada komersialisasi di bidang kesehatan. Meski demikian, menurut dia, langkah Kimia Farma patut diapresiasi untuk membantu terbentuknya kekebalan komunal (herd immunity) dan membantu pemerintah dalam program vaksinasi.
”Masalahnya, ini bisa ditafsirkan bagian dari memanfaatkan situasi. Jangan sampai dikesankan ada komersialisasi di bidang kesehatan,” ucap Baidowi.