Vaksin Covid-19 Berbayar, Perusahaan Jangan Ambil Untung
Vaksin tidak pantas dijadikan komoditas dagang di tengah eskalasi krisis kesehatan seperti sekarang. Pemerintah harus konsisten dengan komitmen awal untuk memberi vaksin secara gratis bagi seluruh lapisan masyarakat.
Oleh
Agnes Theodora/Benediktus Krisna Yogatama
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah sempat melarang vaksin diperjualbelikan, pemerintah kini memperbolehkan vaksin Covid-19 dijual dengan harga Rp 879.140 lewat klinik Kimia Farma dan fasilitas kesehatan swasta lainnya. Perusahaan jangan mengambil keuntungan di tengah eskalasi krisis kesehatan dan ekonomi.
Harga vaksin Covid-19 itu mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) Nomor HK.01.07/Menkes/4643/2021 tentang Penetapan Besaran Harga Pembelian Vaksin Produksi Sinopharm Melalui Penunjukan PT Bio Farma (Persero) dalam Pelaksanaan Pengadaan Vaksin Covid-19 dan Tarif Maksimal Pelayanan Vaksinasi Gotong Royong.
Kepmenkes itu semula dibuat untuk mengatur tarif vaksinasi gotong royong oleh perusahaan untuk para karyawannya. Kini, ketentuan tarif yang sama akan diberlakukan untuk pelaksanaan vaksinasi individu yang berbayar.
Harga pembelian vaksin adalah Rp 321.660 dengan tarif maksimal pelayanan vaksinasi Rp 117.910. Di dalamnya sudah termasuk pungutan margin atau keuntungan dan biaya distribusi (franco/ditanggung penjual) kabupaten/kota, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh).
Besar pungutan margin dari tarif pembelian vaksin adalah 20 persen, sementara besar pungutan margin untuk tarif pelayanan vaksinasi 15 persen.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal, Minggu (11/7/2021), mengatakan, di tengah eskalasi krisis Covid-19 belakangan ini, vaksin semakin menjadi barang publik (public goods) yang menentukan nasib warga.
Menurut dia, tidak layak jika badan usaha milik negara (BUMN) menjadikan vaksin sebagai barang niaga atau komoditas, lalu menarik keuntungan di tengah krisis. Apalagi, perseroan farmasi seperti PT Kimia Farma Tbk sebenarnya telah berhasil mengeruk laba dari pandemi Covid-19 selama tahun 2020.
Dikutip dari Laporan Tahunan 2020 PT Kimia Farma Tbk, perseroan itu membukukan penjualan Rp 10 triliun, tumbuh 6,4 persen dari tahun 2019 sebesar Rp 9,4 triliun. Perseroan juga membukukan laba usaha Rp 669,7 miliar, meningkat dari tahun 2019 dengan laba Rp 536,2 miliar. Dengan capaian itu, laba bersih yang didapat PT Kimia Farma selama tahun 2020 adalah Rp 20,4 miliar, meningkat 28,5 persen dari realisasi tahun 2019 sebesar Rp 15,9 miliar.
”Seharusnya ruang keuangan BUMN farmasi itu cukup untuk menjalankan tanggung jawab sosial dan memperluas akses vaksinasi bagi masyarakat. Bentuknya bisa semacam CSR (corporate social responsibility) karena sebenarnya toh mereka sedang mengeruk keuntungan yang banyak juga dari pandemi ini,” kata Faisal.
Di sisi lain, pungutan harga Rp 879.140 itu dinilai terlalu mahal. Kalaupun vaksin pada akhirnya tetap diperjualbelikan, harganya harus rendah dan bisa diakses masyarakat banyak. Dengan harga nyaris Rp 900.000 seperti sekarang, masyarakat yang bisa mengakses vaksinasi otomatis hanya yang berkecukupan.
Sementara masyarakat kecil yang tidak bisa mengakses program vaksinasi gratis, tetap tidak bisa mendapat jatah karena harga vaksin individu terlalu mahal. Apalagi mengingat patokan harga di Kepmenkes itu awalnya ditujukan untuk daya beli perusahaan.
”Ujung-ujungnya, program vaksin individu akan memperparah ketimpangan sosial-ekonomi di masyarakat yang saat ini sudah diperparah oleh pandemi,” ujarnya.
Tak ada unsur komersial
Sekretaris Perusahaan PT Kimia Farma Tbk Ganti Winarno mengatakan, tidak ada unsur komersialisasi dalam vaksinasi gotong royong individu. Menurut dia, ada permintaan dari kelompok masyarakat tertentu terhadap jalur vaksinasi tersebut.
Selain itu, dia menyatakan, vaksinasi gotong royong individu yang diprioritaskan di wilayah Jawa-Bali dijalankan untuk memperluas akses vaksin dalam rangka membangun kekebalan komunitas (herd community). Kanal vaksinasi tersebut tidak mengambil jatah dari jalur lainnya. Hingga saat ini, terdapat 40.000 dosis vaksin yang siap digelontorkan lewat vaksinasi gotong royong individu.
Pelaksana Tugas Direktur Utama PT Kimia Farma Diagnostika Agus Chandra mengatakan, perlu ada pembukaan kanal vaksinasi gotong royong individu karena ada kewajiban vaksinasi bagi masyarakat. Dia menjamin penyimpanan vaksin serta pelaksanaannya mematuhi protokol dan prosedur standar operasional yang berlaku.
Secara terpisah, anggota Komisi IX DPR, Saleh Daulay, juga mempertanyakan kemunculan program vaksinasi individu yang berbayar itu. Ia mengatakan, pemerintah selama ini belum pernah membicarakan program tersebut dengan DPR.
Penerbitan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19 Tahun 2021 sebagai revisi terhadap Peraturan Menkes Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Vaksinasi Covid-19 juga belum pernah dibahas dengan DPR. Peraturan itu diteken pada 5 Juli 2021 dan baru diunggah di laman resmi Kemenkes, Minggu (11/7/2021).
Saleh menilai program tersebut bertentangan dengan komitmen awal pemerintah dan prinsip dasar vaksinasi yang seharusnya diberikan gratis. ”Dasar dari pelaksanaan vaksinasi adalah gratis. Orang tidak boleh dipungut biaya untuk mendapat vaksin. Kalau dijual bebas seperti itu, apakah tidak akan terjadi komersialisasi vaksin? Lagipula, siapa yang akan memonitor dan mengevaluasi mereka yang telah divaksin?” ujarnya.
Vaksinasi perusahaan
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani berharap, keberadaan program vaksin individu yang berbayar tidak sampai mengganggu kuota vaksinasi gotong royong bagi dunia usaha yang sudah mengantre untuk vaksin karyawannya.
Dalam skema vaksinasi gotong royong badan usaha yang dikelola melalui Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia itu, perusahaan membeli vaksin dari Biofarma untuk memvaksinasi karyawannya. Namun, pekerja tidak boleh dipungut biaya.
”Perlu diverifikasi ulang ke perusahaan-perusahaan yang sekarang sudah mengantre untuk vaksinasi gotong royong. Setelah ada vaksin individu ini, apakah mereka masih tetap mau menunggu giliran atau mundur?” kata Hariyadi.
Ia meminta pemerintah untuk tidak meninggalkan kewajiban menjalankan vaksinasi gratis untuk masyarakat. ”Biarkan saja orang yang punya uang membeli, tetapi negara jangan lupa tugasnya untuk mengejar target vaksinasi ratusan juta orang masyarakat yang jumlahnya lebih banyak. Jangan sampai kuota vaksin untuk mereka kekurangan,” katanya.
Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengatakan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bekerja sama dengan industri jasa keuangan (IJK) dan Kementerian Kesehatan akan menyalurkan vaksinasi kepada 10 juta masyarakat hingga akhir Desember 2021.
”Sejak Juni lalu kita telah membantu penyaluran vaksinasi Covid 19 sebanyak 480.000 untuk pegawai dan keluarga industri jasa keuangan serta para konsumennya. Kita usahakan bisa 10 juta sampai akhir tahun,” kata Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso.
Angka tersebut, menurut dia, diharapkan dapat dicapai karena selain target vaksinasi kepada pegawai dan keluarga pegawai, vaksinasi juga akan diberikan kepada nasabah baik individu dan korporasi serta keluarga dan masyarakat umum dalam bentuk CSR.
Wimboh menjelaskan, pelaksanaan vaksinasi Covid 19 melalui industri jasa keuangan di seluruh Indonesia ini diharapkan bisa mempercepat target pembentukan kekebalan komunitas di seluruh lapisan masyarakat.