Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua tidak memiliki legitimasi yang kuat karena hasil negosiasi antarelite. Akibatnya, tak bisa menyelesaikan problem di Papua.
Oleh
Edna C Pattisina
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendekatan penyelesaian masalah di Papua yang menggunakan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua sebagai kerangka dianggap tidak efektif. Pasalnya, undang-undang tersebut dinilai tidak memiliki legitimasi di mata masyarakat Papua.
Hal ini disampaikan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cahyo Pamungkas dalam diskusi bertajuk ”Dengarkan Papua: Catatan-catatan Politik dan Hak Asasi Manusia”, Rabu (7/7/2021).
Cahyo mengatakan, sejak awal, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua tidak ada legitimasi yang kuat karena UU ini hanya merupakan negosiasi antarelite. UU Otsus bukan merupakan hasil kesepakatan dari pihak-pihak yang bertikai. Akibatnya, UU Otsus itu tidak mengikat komitmen para pihak.
”Otsus ini hanya jadi tulisan di atas kertas. Sebagus apa pun isinya, kalau tidak ada legitimasi dan komitmen, ya tidak akan berhasil,” kata Cahyo.
Dalam pelaksanaannya, UU ini juga tidak berjalan karena banyak kewenangannya direduksi oleh undang-undang sektoral. Adanya 22 kewenangan khusus dalam UU, hanya empat yang betul-betul diberikan. Yang lain terbentur aturan lain. Akibatnya, walaupun, misalnya, ada program afirmasi pendidikan, usia belajar masih rendah, demikian juga indeks pembangunan manusia yang rendah.
Amiruddin al-Rahab yang merupakan penulis buku Dengarkan Papua sekaligus Wakil Ketua Eksternal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengatakan, revisi UU Otsus Papua yang dilakukan saat ini tidak akan mengubah kondisi kalau tidak belajar dari pengalaman 20 tahun Otsus. Ia mengatakan, kerap kali elite-elite di Jakarta yang membuat kebijakan tentang Papua tidak mengerti Papua, bahkan tidak pernah ke Papua. Akibatnya, banyak masalah yang tidak selesai, terutama lingkaran kekerasan yang berlangsung berpuluh-puluh tahun.
Masalah legitimasi juga digarisbawahi oleh Arie Ruhyanto, dosen FISIP Universitas Gadjah Mada. Arie menilai, legitimasi tidak hanya dari sisi keberhasilan institusi negara secara material, tetapi juga hal-hal nonmaterial, seperti identitas, memori kolektif, dan persepsi negara terhadap masyarakat.
Adanya penolakan masyarakat, bahkan ekspresi kekerasan, adalah bukti dari krisis legitimasi di Papua. Misalnya, masyarakat membakar gedung yang dibuat oleh pemerintah, perlu ditelusuri kenapa dibakar. Bisa jadi karena ada krisis kepercayaan karena kurangnya partisipasi masyarakat yang merasa dilibatkan.
Politik SDA
Arie juga menyoroti politik pengelolaan sumber daya alam (SDA). Ia menyoroti tidak saja jumlah lahan kelapa sawit yang jauh meningkat, tetapi juga banyak investor asing yang tidak peduli pada sumber daya manusia (SDM) Papua. Kepentingan untuk mengeksploitasi SDA Papua tanpa memedulikan rakyatnya bukan hanya ulah elite internasional, tetapi juga elite lokal yang bekerja sama dengan elite nasional.
Wakil Ketua Komnas Perempuan Mariana Amiruddin juga menyoroti hal yang sama. Ia mengatakan, banyak pihak dari luar Papua memandang Papua hanya dengan keinginan untuk mengeksploitasi. Padahal, seharusnya pembangunan Papua juga membuat orang-orang asli Papua menikmati kekayaan sumber daya alamnya. Masalahnya, banyak kebijakan yang dibuat tanpa mengerti secara rinci tentang Papua.
”HAM itu hak dasar kelangsungan hidup, jadi dimulai dari memetakan kebutuhan yang harus dipenuhi,” katanya.